Rabu, 06 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-10

Adhy M. Nuur

SIANG rumah sepi, Eman pulas di kursi ruang depan. Dengkurannya membahana. Kalau sudah begitu, hanya gempa bumi dahsyat atau kebakaran yang dapat membangunkan manusia srigala itu.

Asih kembali ke rumah Eman, menyelinap menuju kamarnya, segera memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas beludru abu-abu kusam pemberian Ema, lalu mengambil beberapa uang yang disembunyikan di bawah kasur kapuk. Tak ada yang ditunggu, Asih bersegera mengendap-endap keluar, meninggalkan rumah Eman untuk selamanya. Tak ada ritual pamit atau salam perpisahan. Tak juga terlintas niat kembali. Ini akan menjadi penutup kisah di rumah itu, rumah yang dia sebut penjara dengan ketidakbebasan dan penindasan Eman. ***


TEPIAN sungai itu menariknya untuk kembali. Cukup sepi, berjam-jam Asih tercenung menatapi riak air. Pandangan kosong dengan lamunan berseliweran tak tentu. Angin menyapu wajah membuat rambut Asih berderak, terasa sejuk, menguapkan peluh yang berceceran di kening. Berbagai kemungkinan dan kebingungan bertarung dalam arena pikiran, semakin semrawut.

Asih beralih mencari perlindungan di balik dinding rumah tua tak berpenghuni. Dia memejamkan mata, menikmati udara sejuk dalam setiap tarikan dan embusan nafasnya, memompa sisa-sisa optimis untuk menguatkan tekadnya. Lelah tubuh dan lelah hati mengundang kantuk datang menyergap hingga lelap.

Menjelang magrib seorang perempuan tua mendapati Asih tertidur bersandar di tunggul pohon setinggi pinggang. "Neng! Neng, ayo bangun, pamali, sareupna[1]," Perempuan tua itu menepuk-nepuk pundak Asih.

"Neng, kenapa tidur di sini?"

Asih terkesiap, membuka mata perlahan. Dia menatap lekat perempuan tua itu. Beberapa helai rambut memutih berurai tak tertutupi ciput[2]. Keriput wajah nampak kentara pertanda usia sudah setengah abad lebih. Beberapa ranting pohon dan balok kayu kecil, sedikit berlumur semen mengeras, diikat tali rami warna-warni bersambungan menyelendang di pundak perempuan tua itu.

"Neng, kenapa tidur disini?" untuk kedua kali perempuan tua itu bertanya, tapi Asih masih tak segera menjawab.

Perempuan tua itu mengingatkan Asih pada sang ibu. Serentak, kerinduan dan pilu merasakan beban berat membuncah. Seperti letusan merapi mengalirkan lahar tanpa ada yang mampu menghalangi, air mata Asih tak terbendung.

"Kenapa menangis Neng? Rumahnya dimana?" tanya perempuan tua itu lagi.

Asih lagi-lagi tak menjawab. Isakannya kian melantunkan melodi kepiluan yang menyayat. Seperti sudah memahami apa yang terjadi pada Asih, perempuan tua itu tak bertanya lagi.

"Ayo Neng ikut saja sama Ema!" Perempuan tua itu meraih pundak dan membantu Asih untuk bangkit berdiri. Asih manut saja tanpa bertanya. Dia percaya perempuan tua itu akan menolongnya lepas dari situasi tak pasti itu. Merasa iba, perempuan tua itu membawa Asih, mengajak tinggal di rumahnya yang berada tak jauh dari pasar Cicadas. Dialah Mak Acem, perempuan tua itu janda sebatang kara. Suaminya meninggal enam tahun lalu. Anak laki-laki satu-satunya merantau ke seberang pulau membawa serta menantunya. Hingga kini dia tak tahu bagaimana nasib mereka, lama tiada kabar.




[1] Senja menjelang magrib.
[2] Penutup kepala yang lajim digunakan kaum perempuan. Biasa dikombinasikan dengan jilbab/kerudung.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates