Sabtu, 23 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-23

Adhy M. Nuur
MINGGU sore, kepala desa dan seorang tokoh menemui keluarga Asih. Abah anggap kedatangan mereka lumrah saja, sebab Abah salah satu pengurus pemerintahan desa. Sedikit basa-basi mengawali pertemuan, disambung obrolan seputar desa, keadaan sawah, pengairan dan topik lain yang umum dibahas sesama tetua desa.

"Sebelumnya kami mohon maaf. Sebetulnya ada hal serius yang akan kami sampaikan kepada keluarga Pak Acim," kepala desa mengarahkan topik pembicaraan ke arah serius. Abah masih santai, dugaan pembicaraan serius, kalau bukan urusan pemerintahan desa atau paling-paling masalah pengairan, sawah, atau segala pernak-pernik kehidupan desa.

"Apa itu Pak Kades? Tampaknya serius sekali ya?"

"Ini mengenai kejadian di hajatan keluarga Sukanta seminggu yang lalu."

"Oh, masalah itu pak kades. Saya mohon maaf atas keributan yang ditimbulkan cucu saya." Abah menerka akan kemana lagi larinya pembicaraan. Abah berusaha mengalihkan.

"Bukan hanya itu Pak Acim. Ini mengenai Asih dan cucu Pak Acim."

"Ya Pak Kades, ada apa dengan anak dan cucu saya?" Hidung Abah mulai yakin mencium gelagat buruk lagi yang akan menimpa Asih dan cucunya.

"Pak Acim tahu, kondisi desa sekarang ini relatif aman tentram. Ketentraman desa tentu menjadi tugas kita untuk menjaganya. Pak Acim juga sebagai pengurus pemerintahan desa pastilah tahu dan berkewajiban mendukung terciptanya ketentraman desa," kepala desa diplomatis. Abah serius memperhatikan. "Sebenarnya secara pribadi saya tak tega, apalagi menginginkan itu terjadi. Tapi, demi kepentingan desa, saya dan tokoh yang datang ini terpaksa menyampaikannya kepada Pak Acim."

"Oh ya silahkan Pak Kades, demi kepentingan desa kita, saya dan keluarga siap menerimanya."

"Langsung saja pada pokok permasalahannya Pak Kades, supaya jelas," cetus seorang tokoh yang ikut serta.

"Intinya, setelah kejadian di hajatan itu, masyarakat menjadi resah. Katanya ada yang tahu cucu Pak Acim mengidap epilepsi, penyakit yang kabarnya tak bisa disembuhkan. Dengan cepat berita itu menyebar dan langsung menimbulkan keresahan di desa kita. Warga ketakutan tertular penyakit cucu Pak Acim. Malah beberapa warga menganggap penyakit cucu Pak Acim itu kutukan, kalau dibiarkan bisa-bisa desa tertimpa bencana lagi. Tentu Pak Acim masih ingat kejadian dahulu, ketika Asih terpaksa meninggalkan desa."

"Betul, demi kebaikan desa, dan tentunya ini juga demi kebaikan keluarga Pak Acim sendiri, sebaiknya Asih dan cucu Pak Acim meninggalkan desa ini, secepatnya. Itu agar ketentraman desa tidak terganggu. Kalau tidak, khawatirnya, warga terpancing kembali melakukan tindakan yang tidak diharapkan, seperti kekerasan misalnya," seorang tokoh menambahi.

Abah terhenyak, tapi itu sudah diperkirakan, ujung-ujungnya ke sana lagi. Kalaupun suatu saat epilepsi Koma diketahui warga dan itu dikaitkan lagi dengan berbagai bencana desa, Abah sudah siap menerima segala kemungkinan. Abah mengurut kening, sejenak terdiam gagu.

"Saya mengerti Pak Kades! Saya dan keluarga akan menerima dengan lapang dada. Kami segera mempertimbangkan saran Pak Kades dan bapak-bapak. Besok pagi saya akan mengantar Asih untuk meninggalkan desa ini, supaya tidak ada hal buruk yang akan menimpa Asih dan cucu saya," Abah mengiyakan.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates