Rabu, 05 Agustus 2009

Warisan Dari Bapak

Adhy M. Nuur
Cerpen Adhy M. Nuur




Pagi yang seperti biasanya. Kusibak selimut biru peninggalan ibu yang menutupi sebagian tubuhku. Aku belum segera melangkahkan kaki dari dipan tua tak berkasur. Aku masih duduk termenung. Rasanya malas untuk menjejakkan kaki di atas lantai tanah yang masih lembab terkena embun. Selintas aku teringat wanita separuh baya dengan cerlang senyum yang tak henti menghiasi hari-hari. Walau susah atau senang, senyumnya ranum bermekaran tak mengenal musim. Dialah ibu. Biasanya, ibulah yang pertama kali bangun. Dan hingga saat ini, entahlah, setiap kali aku bangun, wajah ibulah yang pertama melintas diingatanku.

“Nak, kau harus bisa menjadi pengganti ibu,” begitulah kata-kata ibu yang selalu terngiang di telingaku. Kata-kata itulah yang selalu menjadi suluh, menjadi alasan mengapa setiap hari aku terbiasa bangun shubuh.

Aku biarkan diriku dipermak oleh keadaan. Memang tubuhku seorang lelaki, namun hati dan otakku seorang wanita yang lembut dan penuh tanggungjawab. Jujur saja, aku merasa agak risih melakukan banyak pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh seorang wanita. Mencuci, memasak, bahkan melayani semua keperluan bapak dan adikku. Aku hanya bisa menyerah dengan kata terpaksa, lantaran tak ada wanita di rumah ini. Dan aku tak tahu, mengapa sampai saat ini bapak memilih tak mencari ibu baru bagi aku dan adikku. Mungkin bapak terlalu cinta sama ibu, atau bapak takut tidak bisa memberikan kebahagiaan baik pada ibu maupun pada kami anak-anaknya.

Setelah puas aku mengenang ibu, aku langsung menimba air, memenuhi bak dan semua ember untuk keperluan kami semua hari ini. Adzan belum lagi tiba menyapa telinga. Namun, sudah terbiasa, bunyi kerekan timba air di sumur belakang rumah kami yang pertama kali memecah sunyi. Setelah adzan tiba, aku bergegas ke mushola menunaikan sholat shubuh. Sehabis itu, seperti biasa, bercengkerama dengan tungku perapian, apalagi kalau bukan memasak. Aku, bapak dan adikku, seperti biasanya, terpaksa melakoni drama hidup berjudul 'keprihatinan'.

***

Agak miris jika aku bercerita keadaan diriku. Hampir sudah dua tahun ibu meninggal. Harta yang kami miliki hanyalah sebuah gubuk kecil untuk berlindung dari hujan dan terik mentari. Sedangkan bapak, hanyalah seorang kuli dan kerjaannya serabutan. Adikku masih kecil, sekarang duduk di kelas lima SD. Sebenarnya aku ingin melanjutkan sekolah ke SMA, namun terlalu berat bagi bapak membiayainya. Akhirnya aku hanya bisa menamatkan sekolah sampai SMP. Itupun ijazahku belum ditebus, dan kini masih disita sekolah karena belum membayar tunggakan SPP dan uang ujian. Untuk membantu biaya sekolah dan keperluan sehari-hari, aku juga menjadi kuli angkut di pasar, kadang menyemir sepatu, walau penghasilannya acapkali tidak sebanding dengan tenaga yang kukeluarkan. Kesimpulannya, aku hidup serba kekurangan.

Walau bapak seorang kuli, tapi aku bangga dengannya. Bapak hanya tamatan SD, namun semangat belajarnya tak kalah dengan mahasiswa. Selain sholat, membaca adalah kegiatan bapak yang tak pernah terlewatkan setiap harinya. Bahkan bukan hanya buku atau majalah-majalah lusuh yang dibacanya, malah koran bekas bungkus kacangpun tak dilewatkannya untuk dibaca. Bapak orangnya tak pernah mau diam. Selalu ada saja yang dikerjakannya.

Yang tak bisa kulupakan dari bapak, setiap malam sehabis pulang bekerja, hampir tak pernah dilewatkannya untuk membaca. Duduk bersandar di kursi goyang tua, disinari temaram lampu lima watt, bapak tak tergoyahkan. Ditemani segelas seduhan air asam kandis dan sedikit gula Jawa. Kata bapak, air itu dapat membantu meningkatkan konsentrasi. Bagaikan seorang resi yang sedang bertapa, tak satupun diantara kami yang berani mengganggunya. Bahkan manakala aku terjaga dari tidurku, bapak masih asyik membaca. Saking asyiknya membaca bahkan lewat tengah malam bapak baru beranjak.

Selalu saja ada buku atau majalah walaupun terbitan lima tahun lalu yang bapak bawa untuk dibaca dirumah. Kebanyakan buku yang bapak bawa ke rumah didapatnya dari pak Halim, seorang mantri desa yang tak pernah keberatan buku-bukunya dipinjam bapak. Selain buku-buku umum, juga buku-buku kedokteran pun tak segan dipinjamkan pak Halim kepada bapak. Bahkan bagi pak Halim, bapak menjadi teman yang enak untuk berdiskusi.

***


Lagi-lagi aku merasa ini tak adil bagiku. Setelah dua minggu lamanya bapak terbaring sakit, akhirnya bapak meninggalkan kami selamanya. Seharusnya bapak dirawat di rumah sakit, tapi mau bagaimana lagi, untuk makan dan biaya sekolah adikku saja sudah sulit, apalagi biaya berobat ke rumah sakit. Sebenarnya, saat itu aku menyesal, kami membiarkan Tuhan menentukan takdir bapak. Usahaku, hanya mampu membelikan bapak obat warung dan membuatkannya jamu.

Nasib adikku, sama denganku, hanya sampai tamat SMP. Dibanding diriku, adikku lebih beruntung, ijazahnya tak disita sekolah, karena kepala sekolah berbaik hati membebaskan semua tunggakan. Sebagai keluarga miskin, tentu saja bapak tak mewariskan apa apa, hanya sebuah buku lusuh berjilid merah tua. Kata bapak, buku itu adalah warisan satu-satunya dari kakek. Kakekku adalah seorang bekas kepala sekolah SR, namun kehidupannya tak jauh beda dengan bapakku. Tak punya apa-apa, selain rumah sederhana, bahkan gubuk, yang kami punya.

Saat menerima warisan dari bapak itu, aku sangat heran. Untuk apa bapak mewariskanku buku tua dengan jilid belakang yang tinggal separuh habis dimakan rayap. Hanya mewariskan buku tua dengan ejaan baku zaman dahulu, pikirku, dijual saja harganya tidak cukup untuk membeli sekilo beras. Namun dengan bangganya sebelum bapak meninggal, bapak berpesan bahwa buku itu warisan yang tak ternilai, sangat berharga. “Jika kau menemukan rahasianya di dalam buku itu, kelak buku itu akan mengantarkanmu kepada kesuksesan,” begitu kata bapak.

Kata bapak lagi, “Sesuai amanat kakek, buku itu tidak akan diberikan kepada sembarang orang. Buku itu juga tidak akan diwariskan di sembarang waktu, tunggu saat yang tepat.” Saat yang tepat, apalagi kalau bukan saat mejelang kematian bapak. Seperti pusaka saja, mesti diturunkan kepada orang yang terpilih dan pada waktu yang tepat. Ada-ada saja. Bagi keluarga kami, mungkin hanya itulah yang kami punya dan bisa kami banggakan.

Selain mewariskan sebuah buku tua, bapak juga banyak mewariskan kami dengan segudang amanat, yang mungkin sulit kuhafalkan. Kata bapak, “Meskipun sekolah kalian tidak setinggi mereka, namun kalian jangan mau kalah dari mereka, kalian mesti terus belajar dan belajar tak melulu harus di sekolah, bla bla bla.”

Sebagian nasehat bapak, aku sudah lupa. Hanya dua yang tak bisa kulupakan. Pertama, jangan pernah berhenti membaca. Dan, kedua, cintailah buku. Ada-ada saja bapak, aku kira bapak mengamanatkan aku, “Nak, jika kau ingin dapat pekerjaan yang layak, tuh temui si anu. Atau, jika kau sangat membutuhkan pertolongan, tuh kepada si anu.”

Ada lagi amanat bapak yang, kira-kira, agak lucu. Kata bapak, “Nak, jika kau punya uang berlebih dan hendak piknik, jangan lupa piknik ke Palasari.” Aku pikir, apakah Palasari tempat keramat, tempat yang banyak dituju orang biar gampang dapat uang. Sebelum aku tahu Palasari itu tempat seperti apa, aku mengamini saja perkataan bapak.

Dengan warisan dan amanat-amanatnya, yang cukup aneh, aku pikir bapak punya selera humor juga. Maklum, bapak tipikal orang yang seriusan, sangat jarang sekali tersenyum atau bercanda. Terakhir aku ingat bapak tertawa manakala kami berlibur ke Kebun Binatang Bandung, itupun ketika ibu masih ada. Mungkin, pahitnya kehidupan yang bapak jalani membuatnya lupa bagaimana caranya untuk tertawa. Atau barangkali, akibat bapak banyak melahap tulisan-tulisan yang serius, dengan tema politik, hukum dan sosial. Tak pernah sekalipun aku menjumpai bapak membaca komik atau tulisan-tulisan anekdot. Bahkan ketika membaca Majalah Mangle pun, bapak selalu melewatkan membaca cerita humornya. Mungkin bagi bapak, pamali untuk menyelipkan tawa diantara pahit kehidupan yang dihadapinya.

***

Awalnya aku tidak terlalu ngeh dengan apa yang diwariskan bapak. Namun, pikirku, tak ada salahnya jika aku menerima dan menjaga semua warisan bapak. Selepas adikku lulus, aku langsung beranjak ke Kota Bandung dengan bekal beberapa uang dari menjual rumah peninggalan bapak, satu-satunya yang kami miliki. Awalnya terlalu sulit untuk memutuskan menjual rumah tua nan reyot itu. Bangunannya memang tidak berharga sama sekali, paling banter berguna buat kayu bakar, tapi tanahnya lumayan ada harganya.

Amanat kakek dan bapak juga yang awalnya menghalangi kami untuk menjual rumah itu. Tapi bukan itu saja, terlalu banyak kenangan yang kami lewatkan dari sana, terutama kebanyakannya kenangan pahit. Tapi justeru karena pertimbangan banyaknya kenangan pahit yang kami lalui di rumah itu, aku dan adikku memutuskan untuk menjualnya.

Apa yang dahulu bapak berikan, aku jadikan pegangan hidupku. Pikirku, selain kejujuran dan tekad yang keras aku tidak punya apa-apa, yang dapat kujadikan modal dan kebanggaan. Buku warisan bapak, benar-benar aku baca dan telaah. Aku ingat ucapan bapak agar menemukan rahasia yang ada di buku itu. Setelah benar-benar aku mendapati apa dibalik buku yang bapak wariskan dengan penuh bangganya, kuralat lagi anggapanku yang dulu. Ternyata kebanggaan bapak terhadap buku ini benar-benar menyentuh tekad dan semangatku dalam menghadapi hari-hari kerasku.

Buku berjilid merah tua yang diterbitkan penerbit Tjaringin, Bandung, tahun 1969 itu berisi pepatah-pepatah lama, bagi orang lain memang tidak terlalu istimewa. Toh sangat banyak buku-buku berisi pepatah-pepatah dengan kemasan dan isi yang lebih bagus dan lebih kekini-kinian. Tapi bagiku buku tua ini istimewa. Buku merah tua itu, bagiku, senantiasa menjelma menjadi sosok ibu dengan senyumnya yang terus mengingatkanku untuk dapat menggantikan peran ibu bagi adikku. Buku itu juga menjelma menjadi sosok bapak yang bagaikan jam weker tak henti-hentinya mengingatkanku dengan rupa-rupa wejangannya. Bahkan, buku itu seperti buku strategi perangnya Sun Tzu.

Namun, yang paling aku ingat, adalah amanat bapak untuk terus membaca dan jangan berhenti mencintai buku. Amanat bapak itu kujadikan mantra yang selalu aku lafalkan menjelang tidur dan acapkali bangun tidur. Hingga amanat dari bapak itu merasuk ke dalam darahku. Tiap menit yang tersisa dari hidupku aku habiskan untuk melahap lembar demi lembar buku apapun. Dan aku benar-benar mewarisi darah dan sifat bapak, kertas koran bungkus bala-bala pun tak mau kulewatkan. Perpustakaan benar-benar menjadi tempat paling favoritku bertirakat.

Padahal, ketika pertama kali menjejakkan kaki di Kota Kembang ini, sebenarnya aku tidak menentukan cita-citaku akan menjadi apa nantinya. Sebelumnya akupun tidak terlalu memikirkan untuk bekerja di bidang apa. Yang aku bawa dan menjadi pegangan, selain bekal dari menjual rumah tua kami, hanyalah buku berjilid merah tua itu beserta amanat-amanat bapak. Bekalku, karena hanya tamatan SMP dan juga tidak mempunyai kemampuan apapun, hanya berbekal tekad yang keras untuk bisa menaklukan Parijs van Java.

Kali ini aku tak berani menvonis apakah Tuhan adil atau tidak padaku. Tak pernah terpikirkan kalau aku akan terjerumus dalam profesi bertitel penulis. Bertahun -tahun aku mengecap manis dan pahitnya karya, jerih payahku, ditolak berbagai penerbit dan media massa. Yang aku jadikan pegangan hanyalah warisan dari bapak. Dan wejangan-wejangan bapak untuk tidak gampang menyerah melawan kerasnya kehidupan yang kami jalani. Bersyukur, semua warisan bapak ternyata sangat bertuah. Aku boleh berbangga sekarang, aku menjadi sedikit orang yang sukses menghasilkan banyak uang dari menulis, dengan latar belakang hanya tamatan SMP. Kini, hampir semua buku-buku karyaku yang diterbitkan menjadi best seller di pasaran. Novel-novelku yang diterbitkan dapat menggilas Supernovanya Dee' Lestari. Cita-citaku kini, aku ingin memecahkan rekor, menjadi editor handal berlatar belakang lulusan SMP, bahkan mampu mensejajarkan diri dengan Bambang Trim.***

1 komentar:

  1. gak salah emang mas Obet Tasaro memilih karyamu menjadi salah satu pemenang beasiswa KMKT Salamadani.

    copy to my blog ya...
    gak..gak...gak..
    setelah jeda dari koma berharap titik menuntaskan segalanya

    BalasHapus

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates