Sabtu, 23 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-23

Adhy M. Nuur
MINGGU sore, kepala desa dan seorang tokoh menemui keluarga Asih. Abah anggap kedatangan mereka lumrah saja, sebab Abah salah satu pengurus pemerintahan desa. Sedikit basa-basi mengawali pertemuan, disambung obrolan seputar desa, keadaan sawah, pengairan dan topik lain yang umum dibahas sesama tetua desa.

"Sebelumnya kami mohon maaf. Sebetulnya ada hal serius yang akan kami sampaikan kepada keluarga Pak Acim," kepala desa mengarahkan topik pembicaraan ke arah serius. Abah masih santai, dugaan pembicaraan serius, kalau bukan urusan pemerintahan desa atau paling-paling masalah pengairan, sawah, atau segala pernak-pernik kehidupan desa.

"Apa itu Pak Kades? Tampaknya serius sekali ya?"

"Ini mengenai kejadian di hajatan keluarga Sukanta seminggu yang lalu."

"Oh, masalah itu pak kades. Saya mohon maaf atas keributan yang ditimbulkan cucu saya." Abah menerka akan kemana lagi larinya pembicaraan. Abah berusaha mengalihkan.

"Bukan hanya itu Pak Acim. Ini mengenai Asih dan cucu Pak Acim."

"Ya Pak Kades, ada apa dengan anak dan cucu saya?" Hidung Abah mulai yakin mencium gelagat buruk lagi yang akan menimpa Asih dan cucunya.

"Pak Acim tahu, kondisi desa sekarang ini relatif aman tentram. Ketentraman desa tentu menjadi tugas kita untuk menjaganya. Pak Acim juga sebagai pengurus pemerintahan desa pastilah tahu dan berkewajiban mendukung terciptanya ketentraman desa," kepala desa diplomatis. Abah serius memperhatikan. "Sebenarnya secara pribadi saya tak tega, apalagi menginginkan itu terjadi. Tapi, demi kepentingan desa, saya dan tokoh yang datang ini terpaksa menyampaikannya kepada Pak Acim."

"Oh ya silahkan Pak Kades, demi kepentingan desa kita, saya dan keluarga siap menerimanya."

"Langsung saja pada pokok permasalahannya Pak Kades, supaya jelas," cetus seorang tokoh yang ikut serta.

"Intinya, setelah kejadian di hajatan itu, masyarakat menjadi resah. Katanya ada yang tahu cucu Pak Acim mengidap epilepsi, penyakit yang kabarnya tak bisa disembuhkan. Dengan cepat berita itu menyebar dan langsung menimbulkan keresahan di desa kita. Warga ketakutan tertular penyakit cucu Pak Acim. Malah beberapa warga menganggap penyakit cucu Pak Acim itu kutukan, kalau dibiarkan bisa-bisa desa tertimpa bencana lagi. Tentu Pak Acim masih ingat kejadian dahulu, ketika Asih terpaksa meninggalkan desa."

"Betul, demi kebaikan desa, dan tentunya ini juga demi kebaikan keluarga Pak Acim sendiri, sebaiknya Asih dan cucu Pak Acim meninggalkan desa ini, secepatnya. Itu agar ketentraman desa tidak terganggu. Kalau tidak, khawatirnya, warga terpancing kembali melakukan tindakan yang tidak diharapkan, seperti kekerasan misalnya," seorang tokoh menambahi.

Abah terhenyak, tapi itu sudah diperkirakan, ujung-ujungnya ke sana lagi. Kalaupun suatu saat epilepsi Koma diketahui warga dan itu dikaitkan lagi dengan berbagai bencana desa, Abah sudah siap menerima segala kemungkinan. Abah mengurut kening, sejenak terdiam gagu.

"Saya mengerti Pak Kades! Saya dan keluarga akan menerima dengan lapang dada. Kami segera mempertimbangkan saran Pak Kades dan bapak-bapak. Besok pagi saya akan mengantar Asih untuk meninggalkan desa ini, supaya tidak ada hal buruk yang akan menimpa Asih dan cucu saya," Abah mengiyakan.

Jumat, 22 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-22

Adhy M. Nuur
SUATU sore cerah, saat paling mengasyikan bagi Koma untuk bermain di pematang sawah depan rumah. Koma kecil bermain di sungai kecil pematang, airnya tak begitu dalam, biasa dipakai saluran irigasi. Saat berjalan menyusuri bibir sungai kecil itu, tiba-tiba Koma terhuyung-huyung lalu roboh. Badan kejang-kejang disertai buih meluncur deras di mulutnya. Seorang petani mendapati Koma hampir tenggelam menolong dan berteriak memanggil ibunya. Sang ibu panik luar biasa. Selain panik dengan keadaan anaknya, dia takut epilepsi Koma terendus sang petani.

Asih segera membawa Koma masuk dan membaringkannya di kursi, segera memberikan pertolongan sesuai petunjuk Dokter Budi yang masih dia ingat. Awalnya petani itu menganggap Koma terjatuh membentur sesuatu hingga pingsan dan hampir tenggelam, tapi melihat kejang-kejang Koma, sang petani memberondong Asih dengan banyak tanya. Asih tak mampu segera menjawab, yang ada hanya panik bercampur bingung. Entah benar-benar bingung, atau sebuah akting yang ditunjukkan untuk menyembunyikan epilepsi Koma, atau entah keduanya.

Kebetulan sekali Karman berada di rumah. Biasanya dia sukar tinggal berlama-lama di rumah. Hobinya keluyuran tak karuan. Meski kakak lelaki Asih itu tak acuh, seringkali tidak peduli dengan keadaan keluarganya di rumah, tetapi dia masih punya sisi baik, sisi kepedulian yang tercetus lantaran menyaksikan sesuatu yang menuntut nurani bertindak sesuai dengan keharusannya sebagai manusia. Karman ikut memberikan pertolongan pada kemenakannya, walau dia sendiri salah tingkah. Untung, Karman masih bisa tenang. karman teringat anjuran Abah agar merahasiakan epilepsi Koma. Mengikuti anjuran Abah memang tak ada untung atau ruginya, tetapi sisi baiknya sedang muncul.

Sang petani tak berhenti bertanya apa, mengapa dan kenapa dengan Koma. Karman mewakili sang adik menjawabnya. Dia mendadak cerdas mengarang cerita, memberikan penjelasan pada sang petani kalau kejang-kejang bocah itu akibat digigit ular. Untuk lebih meyakinkan, Karman berpura-pura tahu apa yang seharusnya dilakukan. Dia berakting melakukan pertolongan pada Koma. Cukup berhasil, sang petani dibuat percaya, tak lagi banyak bertanya, lalu pamit setelah yakin anak itu ditangani dengan layak.

Sebetulnya bukan akting Karman semata yang berhasil menyembunyikan epilepsi Koma dari si petani, mereka patut berterimakasih pada lumpur. Lumuran lumpur menyamarkan busa yang berhamburan dari mulut Koma manakala epilepsinya kambuh. Untuk sementara, tak ada orang luar yang tahu epilepsi Koma. ***



KEDUA kalinya, di suatu siang, bocah-bocah desa menemukan Koma kejang-kejang di bawah pohon rambutan. Sekujur tangan Koma dikerubungi semut merah. Koma bermain terlalu jauh dari jangkauan pengamatan Asih. Beruntung anak-anak desa belum mengerti yang sebenarnya menimpa Koma. Asih mudah saja mengarang cerita lagi, dan begitu gampangnya bocah-bocah desa itu percaya kejang-kejang Koma disebabkan alergi gigitan semut. ***



SABTU malam, Asih membawa serta Koma pada kenduri di rumah kerabatnya. Di tengah keramaian hajat, epilepsi Koma mendadak kambuh. Bukan saja Asih yang panik, Ema, warga yang hadir dan sang empunya hajat dibuat kalang kabut. Akhirnya semua mata di sana menyaksikan langsung kekambuhan epilepsi Koma.

Asih mencari-cari alasan lagi, kejang-kejang Koma mungkin disebabkan keracunan makanan. Tapi, kali ini Asih salah langkah, cerita itu memancing tanya besar, sekaligus menimbulkan sangkaan pada sang empunya hajat. Kalaupun makanan di hajatan yang disuguhkan itu mengandung racun, mengapa warga atau anak-anak lain tidak keracunan juga. Perdebatan kecil dan saling sangka pecah dalam keramaian kenduri. Bahkan ada di antara tamu yang hadir menduga Koma kerasukan jin. Itu diiyakan saja oleh Asih dan keluarga sebagai bumbu yang dapat menutupi epilepsi Koma.

Kamis, 21 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-21

Adhy M. Nuur
LANGKAH kaki Asih gontai menyusuri trotoar jalan. Peluh bercucur bercampur debu jalanan yang lalu-lalang diterpa angin. Terik menyengat. Koma kecil merengek memberi tanda jika dia kepanasan. Asih menutupi Koma dengan ujung sinjang kebat[1] cokelat dengan warna yang memudar. Koma kecil tak berhenti merengek, seakan dia bertanya; apa yang terjadi dan mengapa?

Halte bus ramai calon penumpang, Asih berhenti sekadar berteduh dari terik siang yang semakin menyengat. Dia menaruh tas berisi beberapa potong pakaian. Itulah harta berharga yang mereka punya.

Asih duduk di kursi tembok halte. Sebelah kiri, seorang perempuan tua mengemis. Pengemis tua itu mengingatkan Asih pada sosok ibunya. Lalu tercetus, mungkin pulang saja ke desa, kampung halamannya. Tapi dia sangsi. Orang desa sudah jelas-jelas tak menginginkan kehadirannya. Asih dianggap membawa petaka bagi desa. Tapi kerinduan pada Abah dan Ema semakin mencuat. Asih tak begitu tahu angkutan apa saja yang dapat ditumpangi menuju desa, tapi dia masih ingat jalan pulang dari terminal Singaparna menuju rumahnya.

Asih yakin, Abah dan Ema sudah sangat ingin bertemu dia. Bertahun-tahun Asih tak bertemu keluarganya. Terlebih, dia bersama Koma, tentu mereka ingin sekali melihat cucunya. Orang-orang di desa mungkin juga takkan tega menghakimi anak tak berdosa itu. Dengan kehadiran Koma, Asih berharap warga di desa akan terbuka menerima kembali untuk memperbaiki semuanya. Dan lagi, pikir Asih, kehidupan desa lebih cocok untuk Koma, akan membantu kestabilan kesehatannya. ***



BUS Damri jurusan terminal Cicaheum berhenti di hadapan Asih untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Tak pikir panjang lagi, Asih segera meraih tas yang diletakkan di bawah. Dia melangkah mantap menuju pintu bus dan naik, berjejalan dengan penumpang lain yang berdiri di pintu bus, lalu berdesakan untuk mencari tempat berpegangan. Aroma peluh berterbangan menghiasi seisi bus yang sesak penumpang. Tak tersisa satu pun bangku kosong. Seorang pemuda baik hati mempersilahkan Asih duduk di kursinya.

Bus yang ditumpangi Asih melewati Cicadas, daerah yang pernah dia tinggali dengan segala romantikanya. Serentak, Asih terbayang sosok perempuan tua yang telah tulus menyayanginya, dengan terbuka menerima dan menganggapnya sebagai bagian utuh dari ikatan kekeluargaan, dialah Mak Acem. Dia juga teringat pasar dengan suasana dan baunya. Dalam hati, suatu hari Asih akan mengunjungi Mak Acem, entah kapan, belum pasti, suatu hari nanti, dia berjanji. Karena begitu sulit melupakan sosok orang yang banyak berjasa kepadanya. Tak mudah melepaskan orang yang sangat berarti, yang dengan tulus mencintai dan menerima apa adanya.

Beberapa menit, bus sampai di pintu gerbang Terminal Cicaheum. Begitu turun dari bus, Asih bertanya pada orang-orang di terminal angkutan apa yang mesti dia tumpangi untuk menuju kampung halamannya. Tak menunggu lagi, Asih segera menuju bus yang akan membawa ke tujuannya, Terminal Singaparna. Dari sana, Asih dapat menyambung angkutan desa menuju kampung halaman yang sekian lama ditinggalkannya.

Sebentar saja bus mengetem di terminal. Ada rasa ragu bersemayam dalam diri, mungkinkah ini langkah tepat. Tapi, tak ada pilihan lain yang lebih baik bagi Asih. Sebagai seorang wanita, atau tepatnya seorang ibu, ini sebuah keberanian besar menempuh segala resiko untuk mencoba memulai kembali dari awal, memperbaiki semuanya, di desa, bersama orang-orang yang pernah tega membuangnya jauh dari keluarga. ***



DUA setengah jam perjalanan cukup melelahkan. Bus melaju dengan lancar, tak ada kemacetan yang menghambat, hanya sekali singgah untuk beristirahat di sebuah tempat makan, sekadar meredakan lelah supir dan penumpang lain. Bus sampai di perhentian Terminal Singaparna, satu kali lagi menumpang angkutan umum, angkutan pedesaan atau ojek sepeda motor, akan sampai di kampung halamannya. Asih melangkah turun dari bus. Ketakutan hal buruk kembali terjadi pada diri dan anaknya di desanya nanti, menyeruak, membuat pijakan langkah oleng, ragu berjalan.

“Sudahlah kembali saja, atau pergi ke tempat lain, selain ke rumah, selain ke desa. Mungkin akan ada sesuatu yang lebih buruk dari sebelumnya,” celoteh ragu kata hati Asih. Tapi, Asih pikir itu juga bukan pilihan tepat. Sisa uang takkan cukup. Lagi pula Asih tak tahu ke mana lagi harus pergi. Asih putuskan meneruskan tujuannya dengan segala resiko yang siap dihadapi. Koma kecil menjadi penguat langkahnya. Khawatir keraguan itu akan menjegal, Asih segera mempercepat langkah.

Lama sekali Asih meninggalkan desa, banyak yang berubah. Bangunan-bangunan baru, banyak di antaranya persawahan disulap jadi perkampungan. Desa menjadi lebih ramai. Bayangan wajah Abah dengan jenggot tipisnya kembali terlintas, mungkin saat ini sudah panjang atau sudah habis dicukurnya. Benjolan kecil di sudut kening kiri Ema mungkin saat ini sudah membesar atau hilang sama sekali. ***



MOBIL berhenti tepat di depan gapura, tiga ratus meter menuju rumah. Sudah lama Asih tak pernah menaiki angkutan pedesaan itu. Mobil tua dengan bising knalpotnya, lebih tua dibanding usia Asih, tapi masih gesit melahap kelokan dan tanjakan-tanjakan pedesaan. Kerinduan tak terbendung lagi, Asih semakin mempercepat langkah.

Gapura itu tampak baru direnovasi. Dulu, sudah condong dan hampir ambruk. Seingat Asih, dulu tak ada tulisan selamat datang. Asih menghela nafas, dapat lagi menikmati sejuk udara dan bau desa. Bau desa yang lebih lugas dan lebih ramah. Berbeda dengan bau di pasar, yang aneka ragam campuran bau menyatu membuat semakin bias, sulit dipilah dan dijelaskan jenis baunya.

Beberapa orang masih ingat Asih, kembang desa ternoda yang sempat menghebohkan desa. Mereka melihat kedatangan Asih menunjukkan rasa sinisnya. Berpapasan, membuang pandangan, bahkan membalas sapaan Asih pun tidak. Seolah dalam hati mereka berkata, "Tuh si pembawa bencana kembali lagi ke desa." Beberapa lainnya acuh tak menghiraukan. Ada pula yang hanya melemparkan senyum sekadar basa basi.

Saat kedatangan Asih, Ceu Iroh kebetulan sedang di rumah, menyambut penuh kerinduan pada adiknya yang sekian lama tak dijumpai. Sebuah pelukan hangat dari Ceu Iroh, walau seringkali kakak adik itu tak akur lantaran kecemburuan sebab seringkali si bungsu paling dimanja dari anak-anak lain

Asih lekas duduk di kursi kayu beralas jok kulit imitasi yang cukup keras. Kursi itu tak banyak berubah, hanya kayunya yang merapuh. Di kursi itu mereka sering menghabiskan waktu sore untuk berbincang tentang apa saja. Ema muncul dari balik tirai dapur. Asih segera bangkit menuju sang ibu, lalu bersimpuh di kakinya. Kerinduan segera tertumpah ruah. Hampir dua tahun lebih Ema kehilangan jejak, bahkan Ema telah mengikhlaskan, hidup atau mati sang anak yang paling dibanggakan karena penurut, rajin dan sangat jarang membantah. Tak seperti Ceu Iroh yang berjiwa pemberontak lantaran cemburu karena Ema sering memanjakan Asih dari pada dirinya. Tak juga seperti Kang Karman, kakak lelaki Asih, yang walaupun sangat jarang menunjukkan pemberontakannya, tapi sangat tak acuh pada apa pun yang berhubungan dengan keluarga. Seperti manakala Asih diusir dari desa, Karman tak berbuat banyak, apalagi membela, dan seolah merestui hal itu terjadi.

Sesungguhnya Ema berusaha tidak membeda-bedakan memperlakukan anak-anaknya. Tapi, kadang lebih mengutamakan Asih, sebab itu amanat ibunya Ema yang berpesan supaya memberikan perhatian lebih pada Asih. Si bungsu punya keistimewaan dan kelemahan lebih dibanding saudara-saudaranya. Entah apa keistimewaan dan kelemahan itu, Ema tak tahu, yang terpenting memenuhi amanat.

Ema menyambut Koma kecil, yang menjadi cucu pertamanya, karena baik Ceu Iroh maupun Kang Karman, belum juga menikah. Entah serupa kutukan yang menimpa keluarga itu, hampir semua anak Ema selalu menemukan kesulitan dan kegagalan dalam urusan jodoh. Itu terjadi pada Asih, yang seringkali gagal di tengah jalan. Juga terjadi pada Ceu Iroh yang hampir menikah dengan lelaki pilihannya, tapi dua minggu sebelum pertunangan, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Ceu Iroh membatalkan pertunangannya. Padahal, tak ada alasan kuat yang memaksa mereka berpisah.

Ema menjelma wartawan yang haus berita, sangat antusias menggali seluruh informasi apa pun dari narasumbernya, Asih. Banyak tanya terlontar dari Ema, kenapa, dimana dan sederet kata tanya lain. Seperti dulu, Ema adalah muara kasih sayang, muara segalanya bagi Asih. Apa pun yang terjadi, bahkan apa saja yang melintas di benak, Asih selalu bercerita dan bertanya pada sang ibu. Kedekatan yang umum terjadi di antara anak perempuan dan ibunya.

Berkali-kali Ema mengelus dada. Tersirat kesedihan di mata sang ibu saat mendengar kisah perjalanan Asih selama jauh dari desa. Sungguh tragis, saat itu Ema pun tak dapat berbuat apa-apa selain berdoa.

Asih berniat tinggal di desa lagi. Baginya, tiada perlindungan yang lebih aman dan nyaman selain keluarga sendiri. Tidak ada sosok malaikat pelindung yang paling telaten selain Ema. Tak ada sosok pembela yang lebih kuat selain Abah. Dan, tak ada lingkungan yang lebih nyaman selain di desa, lebih sehat dan lebih sesuai untuk pertumbuhan Koma kecil. Ema menyambut senang, dia tak mau terpisah jauh dari Asih lagi. Tapi tidak bagi sebagian warga yang masih belum bisa menerima Asih. Mereka masih terlalu takut untuk mengulang beberapa peristiwa janggal, dan kejadian-kejadian buruk yang menimpa desa. Mereka skeptis dengan kehadiran Asih. Tapi tak sedikit pula yang berbelas kasihan dengan tulus menerima Asih kembali. Sebagian lagi, tak peduli, mereka tak merasa untung atau dirugikan dengan kehadiran Asih kembali.

Asih bercerita kondisi Koma kecil. Ema kaget dan begitu sedihnya mendengar itu, begitupun Abah. Mereka berinisiatif merahasiakan epilepsi cucunya itu, agar penyakit Koma tak dijadikan alasan untuk kembali menjauhkan Asih dari keluarga. Abah juga menyarankan agar Asih mengarang cerita siapa ayah si Koma yang sekarang. Asih mengamininya, itu jalan terbaik untuk membuatnya bertahan di desa. ***



KOMA kecil akan tumbuh menjadi anak desa. Lingkungan desa akan lebih mendukung kestabilan kesehatannya. Koma kecil senang bermain di sawah. Meski belum punya teman akrab anak seusianya, dia cenderung anteng bermain sendiri, dan malah merasa tak nyaman bila berinteraksi dengan anak-anak lain, apalagi dengan orang-orang baru. Pematang sawah dan halaman depan berumput menjadi tempat kesukaannya bermain. Asih tak khawatir membiarkan Koma bermain sendirian, dia dapat mengawasi dari beranda rumah.

Koma kecil mendapat pengawasan ekstra ketat dari sang ibu, terutama saat berada di luar rumah. Asih dan keluarga terpaksa membatasi gerak-gerik Koma untuk keluar rumah dan bergaul dengan orang-orang.

Insting Asih terhadap gejala kekambuhan penyakit Koma semakin lama semakin terasah. Dia dapat merasakan gejala kekambuhan penyakit anaknya. Bila gejala itu muncul, Asih bersegera membawa Koma masuk dan menyembunyikannya dari pandangan siapa pun, termasuk dari tetangga yang sekaligus masih kerabat. Hingga beberapa bulan berlalu, tak ada satu pun tetangga dan warga desa yang tahu epilepsi Koma.




[1] Kain Batik panjang, biasa digunakan pakaian bagian bawah kaum perempuan Sunda.

Rabu, 20 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-20

Adhy M. Nuur
PAGI hari, seseorang mengetuk pintu kamar. Asih pungkas dzikir selepas Duhanya dengan hamdalah dan menyapukan dua tangan ke wajah. Segera dia lucuti mukena yang membungkus tubuh dan merapikan sajadah yang menghampar di depannya. Asih mempercepatnya ketika ketukan itu semakin cepat dan keras.

"Asih! Sedang apa kau? Apa kau masih tidur?" seorang pria di luar kamar, suaranya cukup Asih kenal.

"Ya, tunggu sebentar Pak!"

Asih mendapati pria yang mengetuk pintu kamarnya adalah Herman, anak tertua mendiang Mak Anih. Pria yang jika hatinya sedang halus dia akan selembut salju, namun bila sedang buas maka dia akan seganas singa kelaparan, apa pun dapat diterkamnya. Terbukti ketika Asih menyaksikan sendiri, Herman membuat terkapar seorang pria yang diketahui mengganggu istrinya.

Pada dasarnya Herman baik, tapi tak punya cukup kekuatan untuk meneguhkan pendiriannya. Tidak ada siapa pun yang dia percayai dan dituruti kata-katanya selain dua orang wanita paling berpengaruh, ibu dan istrinya. Herman sangat mencintai dan teramat takut kehilangan istrinya itu. Seakan Herman berada dalam jajahan istri, dan seperti kerbau dicucuk hidung, apa pun yang dikatakan sang istri, dia akan menurut saja.

"Mari silahkan Pak!" Asih mempersilahkan Herman masuk. Laki-laki itu duduk di kursi kayu bercat hijau yang sudah memudar. Asih duduk di atas dipan di samping Koma kecil yang masih pulas.

"Ada yang harus aku sampaikan," Herman mengawali percakapan. Asih merasa tak enak hati manakala mendapati mimik wajah Herman yang nampak kaku tanpa ekspresi.

"Ada masalah apa Pak?" Asih penasaran, mencium firasat buruk akan menimpa dirinya lagi. Namun, dalam kondisi ketegaran yang semakin mumpuni, Asih bersiap menerima berbagai kemungkinan, yang terburuk sekalipun.

"Apa benar anakmu epilepsi?"

"Seminggu yang lalu saya memeriksakan anak saya ke Rancabadak.[1] Betul Pak! Anak saya sakit epilepsi," Asih menjawab dengan mantap.

"Bagaimana kondisinya sekarang? Apakah epilepsinya sering kambuh?"

"Alhamdulillah lumayan baik! Kemarin kambuh, tapi tidak terlalu parah Pak!"

"Hmm…" Ada kebimbangan dalam gurat wajah Herman yang kaku tanpa senyum ramah. Herman sebenarnya tak tega, tapi entah sayang atau mungkin rasa takut yang lebih besar pada istrinya, membuat dia terpaksa melakukannya.

Asih terdiam menunggu apa lagi yang akan disampaikan Herman selanjutnya. Asih merasa ada yang berbeda dalam sikap lelaki itu. Biasanya Herman cukup bersahabat, dan biasanya juga acuh tak acuh, karena pembawaannya memang begitu.

"Sebenarnya aku tak tega, tapi terpaksa harus kulakukan demi keluarga," Herman menjadi sedikit ragu, dia membetulkan posisi duduknya agar kursi yang sudah reyot itu tidak semakin rusak.

"Ya Pak, kalau ada masalah sampaikan saja. Saya siap!"

"Maaf ya Asih! Karena penyakit anakmu itu berbahaya, kami takut tertular. Apalagi tetangga dan orang-orang yang mengontrak di rumah kami juga ketakutan. Kalau mereka ketakutan lantas pindah, kan kami yang rugi. Kalau sampai warga di sini ketakutan, dan berita ini sampai menyebar, bisa-bisa tak ada yang mau menyewa kontrakan kami lagi. Jadi…"

Belum lagi Herman menyelesaikan ucapannya, Asih lalu memotong, "Cukup Pak! Ya, saya tahu apa yang harus saya lakukan."

Asih ingin menyanggah Herman, kalau kenyataannya tidak seperti yang ditakutkan tetangga dan orang-orang. Kenyataannya adalah seperti yang dikatakan Dokter Budi bahwa epilepsi tidaklah menular. Tapi Asih pikir percuma, bahkan dia takut Herman menjadi emosi.

"Siang ini juga kami akan pergi. Terima kasih Pak Herman dan keluarga sudah bersedia menampung kami. Saya minta maaf karena sudah merepotkan, dan belum bisa membalas kebaikan keluarga Pak Herman."

Asih tahu Herman sudah terpengaruh sang istri sehingga lelaki itu mengusir Asih secara halus dari rumah kontrakannya. Kamar yang ditempati Asih berada tepat di belakang, temboknya menyatu dengan rumah keluarga Herman. Sejak awal kedatangan di rumah itu, Asih merasa istri Herman tidak menyukainya. Tak ada sedikit pun simpati untuk bersikap ramah dan terbuka. Asih menumpang di rumah kontrakan dengan gratis. Seharusnya kamar itu diisi penyewa dengan bayaran beberapa rupiah, yang berarti sebuah kerugian bagi Herman dan istrinya. Dan, yang paling membuat tak suka, karena seringkali istri Herman ketakutan suaminya akan tergoda dan berpaling pada Asih yang lebih muda dan lebih cantik.

"Baiklah kalau kau sudah mengerti. Sebaiknya secepatnya kau pergi dari sini!" Herman menengok ke luar, memastikan tak ada siapa pun menyaksikan. Pintu kontrakan tak tertutup, sengaja dibiarkan Asih terbuka sedikit untuk menghindarkan kecurigaan tetangga. Herman bangkit dari kursinya, berjalan pelan menuju Asih, menengok sekali lagi untuk memastikan tak ada yang melihatnya.

"Ini, bawalah untuk kalian berdua! Jangan bilang-bilang siapa pun!" bisik Herman, mengeluarkan beberapa lembar rupiah dan memberikannya kepada Asih lalu bergegas keluar.

"Terima kasih banyak! Bapak baik sekali! Semoga Allah membalas dengan balasan yang berlipat," kata Asih. Herman beranjak keluar, tak menjawab, bahkan sekadar menoleh pada Asih pun tidak. Asih terdiam memegangi beberapa lembar uang pemberian Herman. Dia menatap Koma kecil yang pulas tertidur diselimuti kain tipis bermotif bunga matahari. Berarti, ini yang ketiga kalinya Asih terusir. Asih memandangi uang itu, nilai yang cukup untuk biaya hidup beberapa hari ke depan bersama Koma. Uang itu serupa tanda kasihan, atau lebih tepat sebagai uang pengusiran. Kompensasi untuk segera pergi secepatnya, supaya rumah Herman lepas dari bayang-bayang ketakutan epilepsi si Koma kecil.




[1] Sebutan populer beberapa dekade ke belakang untuk RS Hasan Sadikin, Bandung.

Selasa, 19 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-19

Adhy M. Nuur
SAMPAI di rumah, Koma kecil masih lelap tak terganggu. Asih membaringkan tubuh mungil anaknya di atas dipan kayu. Dipan beralas kasur kecil cukup keras yang hanya cukup untuk seorang dewasa dan bayinya. Asih menatap Koma, lalu mengecup keningnya. Beberapa titik air meluncur di sudut mata. Asih memalingkan pandangan dari bocah lugu itu dan menjauh dari dipan. Isaknya pelan. Asih tak ingin Koma terbangun dan menyaksikan ibunya menangis.

"Ya Allah, kasihan sekali nasibmu Nak! Harus menanggung cobaan yang berat seperti ini," ratap Asih dalam hati.

Satu sisi, dalam rasa kemanusiaan yang melemah, yang terkadang ada saat-saat berkeluh, Asih merasa hidupnya selalu dibayangi kesedihan. Pertanyaan yang selalu terbetik di hati manakala berkeluh kesah sendiri, mengapa Allah juga menimpakan ujian berat itu pada anaknya. Asih ikhlas menerima, ujian, cobaan atau hukuman sekalipun, tapi dia tak cukup rela jika Koma kecil harus ikut menanggungnya.

Kalaupun sebuah karma, balasan atas kesalahan yang pernah diperbuat, sengaja atau tidak sengaja, Asih hanya ingin menanggungnya sendirian. Anaknya tak berdosa sama sekali. Koma kecil hanya bayi yang bersih, belum sekalipun mengerti dosa dan nista. Asih merasa sangat bersalah, bocah malang itu ikut menanggung derita.

Dosa berzina sangat besar, tidak saja di akhirat, di dunia pun akan diganjar hukuman berat, Asih teringat kata-kata itu. Kata-kata yang dia dengar dulu saat mengaji dari salah seorang ustadz di masjid desa.

"Zina, apakah itu berzina? Jangankan menginginkan, bermimpi pun tidak," rutuk Asih dalam hati. Rekaman adegan pemerkosaan itu terputar kembali di ingatannya. Sedih, dan ketakberdayaan yang terbeberkan dalam benak.

Saat semakin dalam mengenang peristiwa itu, penyesalan kian menggunung, mengapa pada saat itu tak ada siapa pun atau apa pun yang dapat menolong. Misalkan, ada seseorang memergoki lelaki itu akan berniat jahat pada Asih lalu berusaha menghentikannya. Atau misalkan pula, ada kekuatan merasuk yang membuat Asih dapat menandingi kekuatan lelaki itu, dan dapat menghindarkannya. Apa daya, sudah terlanjur. Waktu tak mungkin bisa diputar balik.

"Ya Allah, aku sudah berusaha menghindari. Aku sudah berusaha sekuat tenaga menolaknya. Aku, sama sekali, tak mengharapkannya!" Kesedihan dan penyesalan semakin terasa begitu deras meluap.

"Kalaupun itu karma atas dosa keluarga atau leluhurku, ini tidak adil. Kenapa aku yang harus menanggungnya. Aku tidak menanam, kenapa justru aku dan anakku yang menuainya. Tapi, aku akan berusaha menerima. Kupaksakan ikhlas, tapi tidak pada anakku," keluh Asih, berlumur airmata.

Asih merunut dalam pikiran, berbagai peristiwa janggal yang menimpanya. Cinta yang bersemi kepada Warya adalah janggal. Cinta yang akan menemui berbagai rintangan kesulitan bila tetap dilanjutkan dalam kondisi keluarga yang tidak mempersilahkan. Lelaki yang telah menanam benih anak di rahim Asih, menghilang seolah ditelan bumi. Asih harus bertanggungjawab, membesarkan anaknya, sendirian. Tak ada yang dapat melacak jejak keberadaan si pemerkosa itu, dan itu pun dia rasa begitu janggal.

Meski beberapa kali gagal, namun Asih belum menutup hati untuk siapapun lelaki yang ingin serius menikahinya. Jika kelak menyatu dalam ikatan pernikahan, alasan utama Asih karena anaknya. Itu keharusan, agar jangan sampai Koma terus-terusan hidup dengan ketidakjelasan siapa bapaknya, dan agar anak belajar menjadi lelaki sejati pada ayahnya. Bagaimanapun buruknya, dan siapa pun, lelaki yang menjadi ayah dapat belajar menjadi lelaki sejati yang manis manakala bersama anaknya, dan lupa bahwa di luar rumah dia adalah macan buas.

Asih pikir, mungkin, bapak asli si Koma juga menanggung hukuman yang tak jauh beda dengan dirinya, di tempat lain, di tempat yang tak diketahui dan tak bisa dikunjungi siapa pun, atau lebih tepatnya mungkin sudah mati.

Bahkan terlintas di diri Asih, mungkin pula itu kutukan. Kutukan-kutukan yang merintangi Asih untuk memperbaiki semuanya. Kutukan itu membuat Kosim jatuh sakit, membuat Dadang terkena cacar, dan telah membunuh Mardi. Kutukan itu membuat warga terhasut Darman, lalu mengusir Asih, menjauhkan dia dari perlindungan yang paling aman, keluarga dan rumahnya. Kutukan yang membuat anaknya lahir lebih cepat dengan persalinan dramatis, di waktu dan tempat yang kurang pas. Kutukan itu juga yang memisahkannya dari manusia jelmaan malaikat penolong yang telah menyayanginya dengan luar biasa, dialah Mak Acem.

Tapi, kutukan itu membuat kehamilan Asih terjaga. Tak ada sesuatu pun yang menghalangi pertumbuhan janin di rahimnya. Tidak ada apa pun yang menggagalkan kelahiran bayinya. Kutukan itu membuat Koma kecil bertahan hidup dengan tubuh yang bersemayam epilepsi. Dan, kutukan itu pula yang membuat Mirja berusaha memperkosa, memutarbalikkan fakta, hingga leluasa memfitnah sekaligus menjadi lantaran Asih secara tak langsung terusir, untuk kedua kalinya dia harus terpisah dengan sosok seorang ibu. ***



"AKU hanya manusia lemah. Aku tidak berdaya tanpa pertolonganMu. Ya Rabb, tolong hamba, beri hamba kekuatan agar dapat menghadapi ujian ini dengan tabah.”

Hari-hari Asih senantiasa berusaha diisi dengan ketabahan diiringi ketaatan yang intensif. Doa-doa tak dia lewatkan dalam setiap peribadatannya, menjadi harapan untuk menjaring kesabaran dan kekuatan diri melalui hari-hari sulit. Selebihnya, doa-doanya adalah kumpulan harapan paling besar untuk Koma kecil agar lebih kuat dalam menjalani hari dengan epilepsinya.

Senin, 18 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-18

Adhy M. Nuur


SESUAI janji minggu lalu, siang ini Asih akan menerima hasil pemeriksaan dari dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin. Ketimbang terlambat, satu jam sebelumnya Asih bersama Koma sudah siap menunggu. Jam di dinding lobi rumah sakit menunjukkan pukul satu lewat tujuh menit. Dengan harap-harap cemas Asih tak sabar ingin tahu hasil diagnosa kesehatan Koma kecil dari dokter di rumah sakit itu.

Asih dipersilahkan menunggu. Di bangku depan lorong menuju ruang UGD Asih menunggu, hanya duduk termenung, sesekali bangkit, mengintip ke kaca jendela ruang dokter spesialis saraf. Sedangkan Koma kecil lelap tak terganggu. Lebih dari satu jam menanti, pintu ruang dokter spesialis saraf terbuka. Dua orang keluar, disusul kemudian seorang perawat mempersilahkan Asih masuk. ***



"APAKAH anak saya baik-baik saja? Bisakah anak saya sembuh Pak Dokter?" belum juga duduk, Asih memberondong Dokter Budi dengan pertanyaan penuh penasaran.

"Sebentar, silahkan duduk dulu Bu Asih!" Sang dokter menangkap kecemasan dari roman muka Asih.

"Bagaimana Pak Dokter? Tidak ada penyakit yang parah kan dengan anak saya? Apakah anak saya bisa disembuhkan Pak Dokter?" Asih membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman.

Dokter Budi memberikan selembar map merah tua, di dalamnya berisi dua lembar catatan. Asih langsung menyambar dan membukanya tergesa. Segera dia baca, lembar pertama dari tulisan paling atas, belum dimengertinya. Beralih pada lembar kedua, ditelusuri kalimat demi kalimat, hingga bagian bawah kesimpulan hasil pemeriksaan menerangkan Koma kecil mengidap epilepsi. Epilepsi, begitu asing di telinga Asih. Bahkan baru kali itu dia temukan dari catatan pemeriksaan Dokter Budi. Yang dia tahu hanya sakit tipes, pilek, batuk, atau rematik –penyakit yang diderita Mak Acem bertahun-tahun.

Mata Asih tertuju lagi pada kata "epilepsi" dan kembali mencari-cari kelanjutan keterangan yang lebih memperjelas apa sebenarnya epilepsi itu. Kata per kata, kalimat per kalimat, dengan cermat, tapi masih saja tak dia mengerti. Separuh tulisan banyak istilah-istilah kedokteran yang tak dipahami Asih.

"Anak saya mengidap epilepsi?”

"Menurut pemeriksaan, kami menyimpulkan anak Bu Asih mengidap epilepsi.”

“Epilepsi itu apa Pak Dokter?" tanya Asih. Kekhawatiran semakin menyeruak di hati dan pikirannya.

“Epilepsi itu penyakit yang terjadi karena ketidaknormalan sinyal dari neuron ke otak, sehingga mengganggu saraf otak dan dampaknya bisa menyebabkan anak Bu Asih mengalami kejang-kejang. Penyakit ini bukanlah penyakit menular, dan…" Dokter Budi menghentikan penjelasannya. Dia mendapati alis mata Asih mengerut yang membuatnya tak kuasa melanjutkan.

Sejak awal membaca laporan hasil pemeriksaan, dahi mengerut, alis turut mengerut, hidung dan telinga merekah, bahkan dahi Asih semakin mengerut lagi manakala Dokter Budi memberikan penjelasan yang sulit dia cerna.

"Pak Dokter, saya tak mengerti!" polos Asih. Tergelitik dengan keluguan pasiennya, Dokter Budi tersenyum sedikit naif namun berusaha tetap ramah.

"Jadi begini Bu Asih, epilepsi itu semacam sakit kepala yang cukup parah. Karena itu anak Bu Asih sering mengalami kejang-kejang," jelas Dokter Budi, berharap penjelasan sesederhana itu dapat dimengerti Asih.

"Astagfirullah, apakah bisa disembuhkan pak dokter?"

Dilematis, satu sisi sebagai dokter, harus memberitahukan yang sebenarnya, di satu sisi lain, Dokter Budi tak tega. Dia merasa tak enak hati akan membuat pasiennya lebih khawatir.

"Pak Dokter, apa sakit anak saya bisa sembuh?" tanya Asih lagi.

"Insya Allah, kita sama-sama berusaha mengupayakannya," Dokter Budi sedikit diplomatis.

"Jadi bagaimana Pak Dokter? Anak saya bisa sembuh atau tidak?" Asih butuh kepastian.

"Sulit untuk disembuhkan seratus persen, tapi intensitas kekambuhannya bisa ditekan, mudah-mudahan bisa sampai tak kambuh. Saya tak dapat menjamin dan memastikannya. Semua tergantung kepada kehendak Allah, serta segenap usaha kita untuk mengikhtiarkan pengobatannya," sang dokter meyakinkan.

"Jadi saya harus bagaimana Pak dokter?"

"Bu Asih jangan putus asa. Yakinlah jika berusaha dengan sebaik-baiknya dan tawakal kepada Allah, Insya Allah bisa sembuh. Salah satu cara untuk membantu pengobatan anak Bu Asih, ibu harus mengikuti saran dan anjuran saya!" jelas Dokter Budi.

"Ya Pak Dokter! Supaya anak saya bisa sembuh, saya akan menuruti kata-kata pak dokter."

"Saya sudah catatkan resep obat, nanti Bu Asih bisa tebus di apotek. Obatnya harus diminum dengan rutin dan teratur." Sang Dokter menunjukkan secarik kertas kecil resep obat yang dilampirkan di dalam map itu.

"Ya Pak Dokter! Terus saya harus bagaimana lagi?" Asih makin antusias.

Dokter Budi menghela nafas, bersiap memberikan penjelasan yang cukup panjang. Lagi-lagi di dalam hati dia merasa sangsi apakah Asih dapat mengerti dan mengingatnya.

"Begini Bu Asih, pertama, jaga kondisi fisiknya. Anak ibu tidak boleh terlalu lelah dan istirahatnya harus cukup. Hindari aktivitas berlebihan yang dapat menguras tenaganya. Kedua, Bu Asih harus memperhatikan makanannya. Anak ibu harus banyak mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Jangan terlalu banyak makan daging. Dan usahakan juga agar dapat buang air besar dengan teratur. Ketiga, awasi dengan hati-hati. Jangan biarkan bermain api, memanjat pohon, berdiri di pinggir sungai atau di kolam, karena itu bisa membahayakan anak Bu Asih." Dokter Budi jeda sejenak mengambil helaan nafas. Asih mangut-mangut kecil, berusaha mengingatinya.

"Keempat, kalau terlihat gejala penyakit anak Bu Asih akan kambuh, segera berikan satu hingga dua sendok garam dan dihirupkan bau bawang putih, itu untuk mencegahnya kambuh lebih parah. Kelima, kalau anak Bu Asih sudah pingsan, segera baringkan telentang dan pakaiannya dilonggarkan, bila perlu sumpal mulutnya dengan kain bersih yang sudah dilipat atau benda apa saja yang halus agar lidahnya tidak tergigit. Bagaimana, Bu Asih mengerti dan bisa mengingat apa yang saya jelaskan barusan?"

"Aduh Pak Dokter, saya tak bisa mengingatnya. Panjang sekali ya.” Asih menggaruk pipi.

“Hmm,” Sekian panjang dan jelas menerangkan, Asih tak mampu mengingatinya. Sang dokter tergelitik, dongkol sekaligus geli melihat respon Asih.

“Ditulis saja ya Pak Dokter! Nanti saya hafalkan."

"Baiklah, saya tulis saja. Nanti bu asih hafalkan. Awas, jangan sampai lupa ya!" Dokter Budi menyobek selembar kertas dari sebuah buku catatan dan meraih pulpen yang terselip di saku jas kemejanya. Beberapa menit Dokter Budi mencatat, Asih sabar menunggu dan memperhatikan dengan polosnya. Keringat kecil mengucur di sudut kiri kening Dokter Budi.

"Ini Bu Asih catatannya," Dokter Budi menyodorkan pada Asih. "Bagaimana Bu Asih, tulisannya jelas kan?" Tanya Dokter Budi.

"Jelas Dokter. Ini saja ya?"

"Ya!" ***



USAI menyelesaikan administrasi dan menebus resep obat di loket rumah sakit, Asih melangkah tertatih pelan. Matanya terpusat pada kalimat demi kalimat catatan dari Dokter Budi. Kepala Koma kecil yang lelap di gendongannya tertutupi kertas. Sambil berjalan, mulut Asih bergumam menghafal. Saking fokus membaca, hampir saja dia menabrak perawat yang berpapasan menuju ke arahnya. Sampai di luar gerbang rumah sakit, Asih menyebrang jalan dan mencegat angkutan umum untuk langsung pulang. Di dalam angkutan, perhatian Asih kembali terpusat pada kertas yang digenggamnya. Cukup lama tertegun pada catatan itu, tujuan perhentiannya terlewat. Asih tersadar setelah sopir mengingatkan angkutan sudah masuk perhentian terakhir, terminal Dago. Asih menengok sekitar angkutan, tinggal dirinya seorang dan bocah yang terlelap di gendongannya. Dia bergegas turun, membayar ongkos lalu naik angkutan arah kebalikan dengan jurusan yang sama menuju tujuannya, pulang ke rumah baru, tempat tinggal baru sesuai saran Mak Acem. Rumah mendiang Mak Anih, sahabat karib sekampung Mak Acem.

Minggu, 17 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-17

Adhy M. Nuur

JAM tiga pagi, Asih sudah berada di pasar untuk menyiapkan lapaknya. Koma kecil masih di rumah dalam asuhan Mak Acem. Pasar masih sepi, belum banyak pedagang yang bersiap memulai aktivitas niaganya. Di blok sayur, hanya ada Asih dan beberapa pedagang yang lapaknya berjauhan.

Asih yang tengah membersihkan dan memilah kubis terkejut kedatangan lelaki berperawakan pendek gempal, berkumis tebal dengan cambang tipis berderet tak beraturan. Mirja, sepagi itu sudah hadir di pasar. Kepala keamanan pasar ini terkenal malas, biasanya jam sembilan pagi baru datang.

"Dadasar[1] Neng?" sapa Mirja.

"Eh, Pak Mirja tumben sudah datang." Asih senyum kecil, menatap lelaki itu sejenak, lalu kembali mengalihkan perhatian pada sayuran yang tengah dipilahnya.

"Jangan panggil Pak dong, kan masih muda. Panggil saja Akang." Mirja berjongkok agar sejajar lebih dekat dengan Asih. Dia merogoh saku depan dan mengeluarkan rokok kretek. "Mak Acem belum datang?" tanya Mirja di sela merogoh saku jaket mencari-cari korek api.

"Masih di rumah Pak, eh Kang," jawab Asih.

"Bagaimana si Ujang Permana, masih sakit?" Mirja mengeluarkan korek api kayu.

"Sudah diganti, namanya Koma."

"Oh ya, aku baru tahu," kata Mirja sambil memantikkan sebatang korek api yang tak menyala dan patah. Kedua kalinya menyala dan disulutkan ke rokok yang menggantung di bibir pucat menghitam lelaki itu.

Satu tarikan nafas, asap mengepul dari mulut Mirja. Asih terbatuk, tak biasa menghirup asap rokok yang berloncatan ke berbagai arah disapu angin. Melihat Asih batuk-batuk, lelaki itu menjauhkan rokoknya dan mengepulkan ke arah lain.

"Apa bapak si Koma sudah datang menjenguk?" selidik Mirja.

Asih sedikit gugup. Lebih-lebih, terasa menyesakkan hati manakala ditanyakan bapak kandung Koma. Asih mengarang cerita jika dia telah mengabarkan kelahiran Koma, dan dua bulan lagi bapaknya akan datang menjenguk.

"Memang bapaknya di mana?"

"Sedang bekerja di perkebunan sawit. Di Kalimantan," karang Asih.

"Ooh," singkat Mirja.

Mata Mirja tajam menatapi Asih, menjelajah dari atas ke bawah. Mirja berdiri, melirik ke sekitar pasar, menengok ke berbagai arah seolah mencari dan memastikan sesuatu lalu kembali berjongkok di dekat Asih.

"Sudah berapa lama suamimu tak pulang?"

"Katanya dikontrak dua tahun. Sekarang sudah setahun lebih. Empat bulan sekali rutin menengok. Sudah lima bulan belum pulang," Asih kembali mengarang cerita. Jika ditanya ayah bayinya, mendadak Asih pandai mengarang cerita. Selalu saja ada jawaban yang membuat orang-orang tak lagi bertanya banyak dan lebih mendetail.

"Sudah lama juga ya!" Mirja semakin mendekat, hanya beberapa jengkal jarak dengan Asih.

"Apa kamu tak kesepian?" Tangan Mirja menyentuh pundak. Asih terkesiap, menepis dengan halus. Lelaki itu meludahkan rokok yang tinggal separuh menggantung di tengah bibirnya.

Mirja menggapai punggung, merayap hingga pinggang Asih. Semakin risih dengan perlakuan Mirja, Asih menepis lagi sambil memalingkan wajah dari pandangan buas lelaki itu. Seolah singa yang hendak menerkam mangsa buruannya, semakin ditepis, Mirja semakin kuat saja. Asih segera disergap ketakutan peristiwa pelecehan itu terjadi untuk kedua kalinya.

Asih mencoba bangkit menghindar, tapi Mirja lebih gesit meraih tangan Asih. Setan sudah merasuk dan bersekutu, membuat lelaki itu makin garang. Sekuat tenaga yang dimiliki, Asih berusaha terus berkelit, tapi tetap kalah kuat. Terlalu tak sepadan untuk mengimbangi tenaga seorang lelaki yang tengah dibuai nafsu bejat.

Mirja kian ganas mencengkram dari belakang. Di tengah kekalutan Asih meraih sebuah mentimun besar dan memukulkannya, tapi tak berarti banyak untuk mencegah perlakuan Mirja. Lelaki itu berusaha menciumi. Asih mengelak dan menjerit. Cekatan tangan kekar Mirja membekap calon korbannya agar tak bersuara.

Pergumulan tak seimbang yang menyebabkan tenaga Asih banyak terkuras. Tak peduli apa pun, yang penting saat itu bagi Mirja, nafsu bejatnya dapat terlampiaskan. Sudah cukup lama lelaki itu mengincar Asih.

Mirja semakin leluasa merebahkan paksa tubuh lemah Asih di atas lapak kayu. Hampir saja peristiwa kotor itu terjadi. Tapi Asih sangat tak menghendaki itu. Asih tak mau menyerah dan kembali merontaronta. Insting pertahanan muncul, Asih refleks menggigit tangan Mirja hingga bekapannya terlepas. Mirja mengaduh sakit. Kesempatan itu tak disia-siakan Asih untuk menjerit meminta tolong sejadi-jadinya. Mirja pun tak kalah gigih membungkam dengan kasar. Asih terpelanting di atas lapak, lunglai tak berdaya. Darah bergelora, Mirja siap beraksi mengakhiri penantian panjang untuk menikmati kemolekan tubuh Asih. ***



PEKIKAN Asih mengundang orang-orang di sekitar pasar, terutama beberapa penarik becak yang mangkal di depan pasar. Hampir terjadi perkelahian di antara orang-orang yang menolong Asih dengan Mirja. Sebagian orang yang hendak menolong Asih gentar setelah tahu sosok yang dihadapi adalah kepala keamanan pasar, mantan preman kawakan di daerah itu. Hanya sedikit orang yang berani melawan. Sudah lama, rata-rata pedagang di pasar geram dengan perbuatan sewenang-wenang Mirja.

"Ada apa Asih?" cari tahu seorang perempuan pedagang buah.

"Pak Mirja mencoba memperkosa saya!" Asih terisak-isak lunglai. Rambut acak-acakan. Sebagian baju koyak. Kelelahan luar biasa dirasakan Asih, setelah berjuang melepaskan diri dari cengkraman Mirja.

"Aku tidak memperkosa. Aku…"

"Bohong!" potong Asih.

"Bukankah kita melakukannya atas dasar suka sama suka? Ah, kau mengingkarinya, dasar wanita murahan!" kilah Mirja. "Kalau kau mengatakan yang sebenarnya, awas, kau akan menanggung akibatnya. Apa kau mau anakmu yang lucu itu celaka?" ancamnya setengah berbisik pada Asih. Tentu saja Asih tak ingin anak yang sedang tumbuh menjadi bocah lucu disukai banyak orang itu dicelakai Mirja.

"Sudah, kita laporkan saja ke polisi," usul seorang perempuan pedagang tempe.

"Ya betul, ayo kita laporkan!" seorang penarik becak mengamini.

"Ayo, lapor sana! Percuma kalian lapor. Aku kenal kepala polisi wilayah ini, dia tak akan berani apa-apa!" gertak Mirja. Sebagian orang di sana, jangankan memukuli Mirja, karena mereka tahu perkelahian adalah makanan keseharian Mirja dulu, mereka pun batal melapor.

"Lagi pula kita melakukannya suka sama suka, dan dia yang menggodaku lebih dulu. Coba kalian pikir, kalau Si Asih tidak menggoda, mana mungkin aku berani melakukannya. Lelaki mana yang tidak tergoda dengan kecantikannya," cukup tenang Mirja mengelak. Dia masih bisa santai seolah tak bersalah sedikit pun dan menyalakan sebatang rokok lagi. Mereka terdiam, tak ada yang berani mulai bicara.

"Heh, kalian jangan munafik. Apa kalian bisa tahan kalau digoda si Asih?" Mirja semakin pintar berkilah. "Apa aku atau dia yang memulainya. Kalian tanya sendiri pada si Asih!"

"Apa itu benar Asih? Apa benar kau yang menggodanya?" selidik seorang perempuan pedagang tempe.

Mirja memberi isyarat ancaman pada Asih, jika bicara sesungguhnya, dia tidak main-main. Asih menatap mata buas Mirja. Terlintas bayangan wajah Koma kecil dan sesuatu yang tak diharapkan akan menimpanya. Ibu mana yang rela membiarkan seseorang mencelakai buah hatinya. Asih hanya bisa diam.

"Tuh kan, dia diam saja tak menjawab apa-apa. Berarti benar kan dia yang menggoda?" cetus Mirja.

"Asih, benar kau yang menggoda?" tanya lagi perempuan pedagang tempe itu. Kedua kalinya Asih tak menjawab.

"Asih, kenapa kau diam saja? Ayo jawab! Benar kau yang mulai menggoda dia?" perempuan itu semakin tak sabar mengungkap kenyataan. Tapi Asih tetap bisu, tak berkutik di bawah ancaman Mirja.

"Ayo jawab Asih! Kalau kau diam seperti itu, tandanya benar memang kau yang memulainya!" Ditunggu beberapa saat, Asih tak juga buka suara.

"Benar kan, dia yang menggoda," celetuk Mirja.

"Oh, jadi benar si Asih yang menggoda. Sungguh tak disangka," ujar seorang perempuan pedagang buah.

"Nah, jelas ketahuan kan kalau dia itu wanita penggoda. Aku saja sampai tergoda, apa lagi kalian." Mirja menunjuk ke beberapa pria. "Kalian yang mempunyai suami, apa tidak takut kalau suami-suami kalian tergoda juga?" Mirja beralih ke beberapa perempuan. Mirja membela diri dengan memutarbalikkan fakta untuk mempengaruhi orang-orang.

"Pantas saja, dasar wanita penggoda! Suamiku sudah kau goda juga rupanya, sehingga dia suka memberikan beberapa buah dagangannya dengan alasan untuk si Koma," tambah seorang perempuan pedagang buah.

Keadaan berbalik, bukan membela Asih, mereka yang tadinya hendak menolong karena simpati, sekejap berubah antipati.

"Ya, suamiku juga mungkin sudah terjerat rayuannya. Akhir-akhir ini sikapnya berubah. Malah katanya ada yang melihat suamiku mendekati si Asih, berlagak membantunya. Dasar kau, wanita penggoda!" timpal seorang perempuan pedagang daging.

"Kita usir saja dia! Kalau tidak, suami-suami kita bisa berpaling pada si Asih,” usul seorang perempuan pedagang buah. Sampai di sini, Mirja merasa aman. Selangkah lagi dia selamat, dan menang.

“Tidak bisa begitu bu. Jangan main hakim sendiri, kita bicarakan dengan baik-baik,” bela seorang penarik becak.

“Ah, kamu membela si Asih karena kamu juga tergoda ya. Dasar lelaki!” tukas seorang perempuan pedagang tempe.

“Bukan begitu, tapi…”

“Halah, mengaku saja. Kamu juga ada main sama si Asih ya?” potong perempuan pedagang buah. Perdebatan demi perdebatan semakin sengit, hampir saja mencetuskan perang.

“Sudah-sudah, kalian jangan ribut! Memperkeruh suasana saja,” Mirja tampil meredakan suasana. “Sudah! Ini masalah pribadi antara aku dan si Asih. Hayo kalian bubar saja, tak usah ikut campur!”

“Tapi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini….”

“Ayo bubar…!” hardik Mirja. Orang-orang terperanjat ketakutan, si singa itu nampak akan mengganas. Mereka membubarkan diri dengan ketus. Dengan senyum kecut Mirja menatap Asih dan berlalu begitu saja. ***



MEMANG tidak ada penekanan pengusiran pada Asih. Tapi, Asih pikir untuk menghindari keburukan pada diri dan anaknya, dia memilih pergi. Bukan ketakutan lantaran ibu-ibu yang balik menuduhnya sebagai wanita penggoda yang takut suaminya berpaling pada Asih, tapi lebih karena ketakutan Mirja akan berusaha memperkosa Asih di lain waktu, jika ada kesempatan. Secara tak langsung, Asih terusir untuk kedua kalinya. Dengan terpaksa pagi harinya Asih meninggalkan rumah, pasar dan Mak Acem yang telah dianggap ibu sendiri.

Mak Acem tak rela Asih pergi. Selama ini kehidupannya terasa lebih terang semenjak kehadiran Asih. Jika Asih pergi, maka kehidupan remang kembali, sudah tentu kesepian akan mengisi hari-harinya lagi. Yang lebih berat lagi bagi perempuan tua itu, tak akan ada lagi tangis, canda, gelak tawa Koma kecil, yang begitu menjadi penghibur hari tuanya. "Pergilah ke alamat ini! Tinggallah di sana! Bawa surat ini. Jaga diri dan anakmu baik-baik," pesan terakhir Mak Acem sambil memberikan secarik kertas berisi beberapa paragraf tulisan. Tak ketinggalan beberapa kecupan untuk Koma kecil.




[1] Persiapan memulai aktivitas niaga.

Sabtu, 09 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-16

Adhy M. Nuur
RABU subuh, Asih memutuskan urung berangkat ke pasar untuk membantu Mak Acem. Sejak kemarin sore
Asih merasa begitu malas dan enggan beranjak kemana-mana, hanya ingin diam di rumah saja. Selain hari Jumat, ketidakhadiran Ujang Permana kecil tanpa pemberitahuan sebelumnya, akan dipertanyakan para pedagang pasar. Bahkan seorang pedagang yang hari itu giliran mengasuh siangnya menyusul ke rumah, dia mengira sang bocah absen karena sakitnya parah. Kehadiran Ujang Permana kecil dapat menghangatkan suasana, menjadi hiburan tersendiri bagi para pedagang dan orang-orang yang berbelanja.

Subuh itu, sesuatu menuntun kaki Asih untuk melangkah keluar rumah. Di luar, Asih begitu menikmati udara awal pagi, walau dingin menyelusup kulit. Sambil menatap langit, menatap kuning telur bulan yang masih menggantung di sudut langit, Asih menerawang mengingati peristiwa-peristiwa yang membelokkan hidupnya sembilan puluh lima derajat. Seketika ingatan itu melintas, mengenang tak berdayanya dia saat menolak pengaruh memabukkan itu. Pemberontakannya sia-sia, Asih tak mampu berkelit dari iblis yang merasuk dalam sosok lelaki itu, hingga kesuciannya terenggut. Kecewa menggunung di ubun-ubun, sesak di dada memancing tangis, namun masih dapat Asih tahan oleh ketegaran yang terus dipelihara.

Siluet perempuan tua yang menyembul di kuning telur bulan spontan mengingatkan Asih pada Ema. Selanjutnya, siluet-siluet bayangan wajah Abah, Dadang, Mardi, dan Kosim. Ketika wajah Warya yang menyiluet di ujung cakrawala timur langit subuh, ada rasa kehilangan dan sensasi kerinduan yang cepat menjalar ke lubuk hati. Asih berandai dapat menemukan lagi sosok seperti Warya, mungkin sedikit meringankan, hari-hari dijalani lebih indah, waktu dilalui dengan taburan cinta. Tapi ketika wajah Surya, lelaki yang mati-matian terus mengejarnya akan menyembul di cakrawala, Asih segera menghablurkannya hingga hilang. Entah, Asih enggan mengingatinya.

Nista, dosa, ujian, cobaan, kutukan, dan karma, kata-kata itu berhamburan dalam pikiran. Semakin bergejolak, Asih menghakimi kata-kata itu atas kesusahan yang selama ini telah menimpanya. Yang paling sukar diterima Asih, kenapa sang anak turut menanggung kesusahan. Namun sebentuk ketabahan mencegah Asih untuk memvonis Allah telah berlaku kejam pada dia dan anaknya. Asih terus berusaha menguapkan aneka rasa sendu dengan campuran ketabahan dan senyum ketegaran.

Dengan tertunduk Asih lirih berbisik di hati, "Bukan salah iblis itu. Bukan salah Warya, Mardi, Kosim ataupun Dadang. Juga bukan salah Ajengan Maman yang seolah membela warga hingga aku terusir. Itu juga bukan salahku.” Asih lalu menengadah. “Aku berusaha tidak menyalahkan apa dan siapapun lagi," lirihnya, lagi, dalam tingkat ketegaran yang hampir sempurna.

Sejenak, sambil mengumpulkan lebih banyak serpihan ketegaran di hati, Asih masih terdiam kaku. Tatapan mata serasa kosong, hanya telinga terbuka menerima simfoni jangkrik yang masih mengalun. Hidung menangkap aroma yang dihantarkan angin subuh. Tapi masih saja sesuatu yang bernama kegundahan, melesat-lesat tak tentu arah dan mampir di hati Asih.

"Apa memang harus diganti lagi?" sejumput tanya tercetus di hati manakala terlintas wajah bocah kecilnya.

“Apa karena nama tidak cocok? Karena nama, sesederhana itukah? Mungkin saja, mungkin,” pikir Asih.

Asih mencoba berpikir sederhana. Selama ini begitu kacau. Begitu sulit menjangkau jawaban mengapa semua kesusahan itu harus menimpa, semestinya tidak. Padahal, dia merasa kehidupannya selama ini sudah sesuai dengan prinsip kebaikan. Tak sesiapapun yang Asih sakiti hatinya dengan sengaja.

Semakin Asih menatap semburat cahaya bulan, semakin terasa ada yang berbeda, terasa lebih akrab dan mempesona. Lebih lekat lagi menatap bulan, Asih merasa seakan bulan berbicara padanya tentang sebuah keindahan, ketabahan, dan tentang sebuah harapan. Cahaya, bulan, kata-kata itu menyelisik di telinga. “Ada apa dengan ‘bulan’?”

"Apa mengganti lagi nama bisa mengobati sakit anakku, supaya tak kambuh lagi?" tanyanya lagi di hati.

Kata "bulan" menyelinap ke dalam ruang pergumulan batin. Seolah bulan memperkenalkan diri pada Asih, mengajak bercanda ria untuk lebih intim. Seolah bulan berbicara tentang kebanggaan sebagai elemen penerang malam, yang sering diidentikkan dengan keindahan dan nuansa romantis. Seolah bulan berbicara tentang bulan, purnama, cahaya, dan malam.

"Nah, sepertinya harus diganti lagi!" Asih sedikit terperanjat, seolah menemukan ilham dan dia mengangguk-angguk sendiri.

"Ah, kurang cocok diberi nama "Bulan"? Dia bukan anak perempuan."

Asih berpikir lagi, menimbang, mengingat-ingat, memilih kata yang cocok untuk nama anaknya, tapi yang berhubungan dengan bulan.

“Bagaimana kalau “cahaya”? Ya, nama itu netral. Cocok untuk anak laki-laki atau perempuan.” Asih menghela nafas. “Tapi, nama itu terlalu netral. Tak jelas berhubungan dengan bulan atau mata hari. Bisa saja cahaya bulan, cahaya mata hari, atau malah cahaya lilin.” Asih kembali tercenung lebih dalam, mencari-cari beberapa kata yang berhubungan dengan bulan.

Sontak Asih mengepalkan kedua tangan, hampir saja melompat girang,"Ya, Komar, atau Komarudin. Sepertinya cocok."

Nama itu berhubungan dengan bulan, dan memang Komar diambil dari diksi Bahasa Arab yang berarti bulan. Nama yang menyimpan harapan, kelak nasib si anak akan bersinar seperti sinar bulan, dan dapat memberi terang bagi kehidupan mereka.

Keesokan siang, Mak Acem menyelenggarakan prosesi bubur merah bubur putih lagi, sekaligus mengumumkan penggantian nama cucu angkatnya. Para tetangga dan orang-orang di pasar menyambut baik. Semua berharap dengan bergantinya nama dari Ujang Permana Kusuma menjadi Komarudin, penyakit sang bocah bisa sembuh, setidaknya bisa lebih baik.

Anak Asih lalu lebih dikenal dengan panggilan Koma. Oleh sebab sang ibu berlidah "cedal" ketika memanggil anaknya dengan panggilan "Komal", itu dinilai lebih terdengar seperti kata "kumal" yang berarti sesuatu kurang bersih dan lusuh. Asih lebih enak memanggilnya "Koma". Hingga akhirnya tetangga dan orang-orang di pasar memanggil "Koma". Tak ada embel-embel Ujang, Asep, Aang, Aceng, atau embel-embel nama tradisional lain yang disematkan di depan namanya.

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-15

Adhy M. Nuur
BERANJAK dua tahun usianya, Asih seringkali membawa Ujang Permana kecil ke pasar, menemani berdagang. Bocah tumbuh dengan perawakan gempal, berambut ikal tipis, mudah akrab, membuat orang-orang di sekitar pasar gemas ingin menimang. Ujang Permana kecil anak pasar, menjadi anak dari pedagang-pedagang di pasar Cicadas. Sang bocah berpindah-pindah asuhan, dari pedagang satu ke pedagang lain. Manakala di asuh pedagang beras, sang bocah asyik bermain di atas tumpukan beras. Kadang dia tertidur di dalam tolombong[1] sayuran. Kadang juga Ujang Permana kecil anteng di bawah asuhan Si Gila.

Saking seringnya bergiliran diasuh beberapa pedagang, Ujang Permana kecil tidak punya bau khas yang konsisten seperti bayi umumnya. Hari Sabtu bocah berbau jengkol, hari Minggu berbau ikan asin, Senin bau bawang dan rempah, Selasa bau anyir ikan basah, bau beras di hari Rabu, Kamis bau kembang dan kemenyan. Sedangkan hari Jumat, Ujang Permana hampir tak berbau. Hari itu Ujang Permana kecil libur ikut ke pasar.

Walau ekonomi pas-pasan, bahkan adakalanya krisis, tapi Ujang Permana kecil tak kekurangan makanan. Ada saja yang memberikan makanan. Dari pedagang buah seringkali mendapatkan setandan pisang atau sekantung jeruk. Dari pedagang ikan sering dibekali beberapa ikan. Bahkan dari orang-orang yang berbelanja, bocah itu sering mendapat makanan dan mainan. ***



SENIN malam, blok sayur gempar. Ujang Permana kecil kembali kejang-kejang disertai mulut berbusa. Penyakit lama bocah itu kambuh lagi. Asih membawa Ujang Permana kecil ke rumah Mak Ecin. Seperti yang sudah-sudah, usai ditangani paraji itu penyakitnya mereda. Selang sehari kambuh lagi, dan seterusnya hingga sering terjadi. Ujang Permana kecil kembali berobat ke puskesmas, dua hari sembuh. Esoknya kumat lagi. Obat penurun demam pun hanya mampu menahan kekambuhan selama lima hari. Kemudian, sakit bocah itu kembali kambuh. Dokter pun dikunjungi tapi hasilnya masih jauh dari yang Asih harapkan.

Asih mendatangi Ki Anom kembali untuk mengusahakan pengobatan Ujang Permana. Untuk kedua kali, sang paranormal tidak mendapati teropongan atau ilham apa pun. Ujungnya, Ki Anom hanya berpendapat sendiri sepertinya si bocah harus ganti nama lagi. Kali ini sang paranormal tak punya usulan nama sebagai pengganti nama Ujang Permana Kusuma.




[1] Sejenis keranjang dari material bambu yang anyamannya rapat.

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-14

Adhy M. Nuur


RABU malam, Ujang Sukana kecil terserang demam. Panas badan cukup tinggi, diiringi keringat dingin mengucur deras. Asih membawa Ujang Sukana ke klinik 24 jam. Kata dokter klinik, bayinya demam panas biasa dan hanya dibekali sirup penurun panas.

Semalaman Asih terjaga. Hingga pagi, demam sang bayi tak juga reda. Asih membawa ke Puskesmas, dan tak jauh beda dengan klinik tadi malam, juga diberi sebotol sirup penurun demam.

Sampai siang hari, demam Ujang Sukana kecil malah tambah tinggi. Asih semakin khawatir. Mak Acem berinisiatif memanggil Mak Ecin, paraji yang piawai dalam urusan persalinan dan pengurusan bayi. Mak Ecin memijat-mijat dan mengurut perlahan beberapa bagian tubuh Ujang Sukana. Mak Ecin komat-kamit melafal doa pada segelas air putih, lalu menyemburkan di kepala si bayi. Ditutup dengan membaluri ubun-ubun Ujang Sukana kecil dengan beberapa ruas panglay[1] yang sudah dihaluskan. Menjelang sore, demam dan panas badan sang bayi perlahan menurun.

Tengah malam, panas badan Ujang Sukana kecil kembali meningkat drastis. Asih dan Mak Acem makin kelabakan saat sang bayi kejang-kejang disertai busa keluar di mulutnya. Mak Acem meminta bantuan Mak Ecin lagi. Lepas kedatangan sang paraji itu, kejang-kejang Ujang Sukana berhenti. Untuk sementara Asih merasa sedikit lega.

Dua hari kemudian, demam panas dan kejang-kejang Ujang Sukana kambuh lagi. Sehari kemudian terjadi, dua hari kemudian, dan seterusnya hingga hampir dua hari sekali demam dan kejang sang bayi rutin kambuh. Asih mengusahakan berobat ke puskesmas, bahkan menjalani rawat inap dua hari lamanya di rumah sakit, tak juga dapat menghentikan demam dan kejang-kejangnya. Sebulan lebih sang bayi akrab dengan demam dan kejang yang acapkali kambuh tiap satu sampai dua hari sekali.

Puskesmas dan dokter sudah dikunjungi, tak membuahkan hasil. Asih mendatangi Ki Anom, paranormal terkenal di daerah itu, untuk mengusahakan pengobatan Ujang Sukana. Menurut peneropongan sang paranormal, supaya sembuh, katanya Asih harus mengganti nama sang bayi. Awalnya terasa tak logis bagi Asih. Dia pikir tidak ada hubungannya nama dengan sakit sang anak. Tapi kata hati Asih berbisik, tak ada salahnya mencoba. Asih menyetujui saja mengganti nama sang anak sesuai usulan nama dari Ki Anom, "Permana Kusuma". Sang paranormal membekali Asih buntelan kain hitam kecil yang diikat dengan lilitan kulit kambing untuk dikalungkan di leher sang bayi, entah apa isinya, kata sang paranormal buntelan itu berkhasiat sebagai perlindungan.

Sejak pergantian nama dari "Ujang Sukana" menjadi "Permana Kusuma", seminggu demam disertai kejang-kejang sang bayi tak kambuh. Walau telah diumumkan lewat prosesi bubur merah bubur putih, tak banyak yang tahu. Orang-orang masih sering memanggil bayi Asih dengan panggilan Ujang tanpa embel-embel Sukana yang menyertai. Ujang adalah nama panggilan yang lazim dipakai anak laki-laki di masyarakat Sunda. Beberapa minggu kemudian, sang bayi yang kemudian lebih terkenal dengan nama Ujang Permana, demam dan kejang-kejangnya hanya sekali kambuh.




[1] Zingiber Cassummunar roxb. Tanaman umbi sejenis jahe, banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan herbal.

Jumat, 08 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-13

Adhy M. Nuur
DUA hari saja Asih dan bayinya dirawat. Kesehatan keduanya cepat membaik. Asih belum menyiapkan nama untuk sang bayi. Jauh-jauh hari, jangankan terlintas sebuah nama, bermimpi melahirkan secepat itu pun tidak. Tradisi keluarga yang dipegang Asih mengharuskan pemberian nama langsung oleh ayah si bayi, tak dapat diwakilkan. Sedangkan tak jelas keberadaan bapak kandung si bayi, juga dengan bapak penggantinya, itu membuat Asih bingung. Soal nama, Asih biarkan mengambang untuk beberapa waktu, sebab memberi nama untuk bayi tak semudah menamai barang atau binatang. Ujang, nama sementara untuk bayi lucu itu, panggilan yang lazim digunakan anak-anak Sunda.

Menginjak seminggu usia sang bayi, Asih masih belum berani menentukan nama. Asih berpegang pada tradisi, yang memberikan nama harus ayahnya langsung. Kalaupun ada pengecualian, kakek si bayi mendapat kuasa mewakili bapak kandungnya. Beberapa orang yang berkunjung menengok si bayi, sering menanyakan nama. Asih pun kerap disodorkan saran nama untuk si bayi. Dari nama yang berbau agama, Sunda, hingga yang kebarat-baratan. Ada yang mengusulkan nama Nurhidayat, Sutardi, Mulyana, bahkan ada yang mengusulkan nama Hendri atau Harry.

Seorang tokoh, menyarankan menamai bayi Asih dengan "Solihin" atau "Solehudin". Nama yang menyimpan harapan sang bayi dapat menjadi anak saleh. Mak Acem punya pilihan lain, "Bagja Gumelar". Bagja, mengandung makna harapan kelak anak itu selalu bahagia dan memberikan kebahagiaan untuk orangtuanya. Gumelar, harapan kelak anak itu menjadi seorang lelaki tangguh yang gagah dan berpangkat, supaya dapat menjadi kebanggaan keluarga. Asih belum mengiyakan saran nama dari siapapun. ***


JUM'AT sore, Asih kedatangan seorang pria tua berpakaian serba hitam, bahkan sandal yang dikenakannya warna hitam. Cincin akik berjejer menghiasi jemari kecuali ibu jarinya. Di lengan kiri melingkar gelang bahar legam mengkilat. Ki Darma, tokoh supranatural yang sering dijadikan tempat orang-orang bertanya peruntungan, nasib, jodoh dan rupa-rupa klenik lain. Orang-orang lazim menjulukinya ‘orang pinter’. Kata Ki Darma, malam Jum'at kemarin dia bermimpi didatangi sosok ksatria gagah berpakaian bangsawan memberikan pesan. Ki Darma datang jauh-jauh dari pelosok kampung Cimenyan, sebelah utara Cicadas, untuk mengabarkan wangsit supaya menamai bayi Asih dengan "Rakean Surawisesa".

Konon, penuturan Ki Darma, sosok dalam mimpi itu salah satu petinggi salah satu Kerajaan Sunda yang cukup masyhur. Kata sosok di mimpi itu, anak Asih mempunyai garis keturunan bangsawan dengannya. Selain pesan nama, sosok itu katanya akan menitis dan dengan serta merta akan memberikan kelebihan pada sang bayi. Asih hanya manut kecil sekedar menghormati tamunya itu. Meski dalam hati tak begitu saja percaya pada hal semacam itu.

Karena belum ada nama yang paten, sang bayi lebih dikenal dengan panggilan "Sukana", Mak Acem yang memberikannya, orang-orang pun turut memanggil dengan nama itu. "Sukana" kependekan dari "sasukana", kata dari bahasa Sunda yang berarti "sesukanya". Terserah orang memanggil sesukanya. Pemikiran sederhana Mak Acem, lantaran Asih tak juga memutuskan siapa nama cucu angkatnya itu. Secara tak langsung, bayi Asih resmi menyandang nama Ujang Sukana.

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-12

Adhy M. Nuur
JAM setengah empat pagi, kali itu persiapan berjualan diambil alih Asih, sementara Mak Acem di rumah lantaran rematik kronisnya kambuh. Sebelum beranjak ke pasar, Mak Acem melarang Asih membantu sebab tengah hamil tua. Apalagi gerimis sejak sore belum berhenti. Tapi kemauan keras Asih tak mampu dicegah Mak Acem.

Sudah menjadi terbiasa dengan perumpamaan bahwa di dalam hidup ini banyak hal tak terduga menimpa begitu saja, tanpa pertanda, kabar, atau peringatan. Sebelum pergi ke pasar, Asih tak mendapati pertanda hari itu akan melahirkan. Perkiraan bidan puskesmas, dan perhitungan dirinya, rata-rata sebulan lagi Asih akan melahirkan.

Pasar masih cukup sepi, hanya beberapa pedagang bersiap membuka kios dan lapak dagangannya, jaraknya cukup berjauhan. Gerimis tak kunjung mereda. Orang-orang masih malas keluar rumah. Mereka yang hendak berbelanja juga masih terlalu sedikit. Lapak Mak Acem berada di bagian sisi selatan pasar. Asih sendirian mempersiapkan dagangannya.

Lama diguyur gerimis seperti biasa lantai basah dan licin. Satu keranjang tomat telah dipilah-pilah hendak diangkat Asih ke atas lapak. Pijakan tak cukup lekat hingga terpeleset, braak!!! Asih tersungkur menimpa sekeranjang kubis. Tomat berhamburan. Asih berusaha bangkit tapi tertahan rasa sakit di perut, disusul perlahan darah melumuri paha. Asih menoleh ke segenap arah, tak seorang pun dia temui. Jerit meminta tolong tertahan sakit yang menjalar hingga tenggorokan terasa tercekat. Ketakutan besar menyelinap ke dalam hati, ini mungkin akan jadi akhir hidupnya. Yang paling Asih takutkan adalah jabang bayi yang dikandungnya. Asih pasrah, andai takdir perjalanan hidupnya harus berakhir di pasar, saat itu, Asih merelakan, hanya selaksa doa dipanjatkan untuk keselamatan bayinya.

Asih kumpulkan sisa-sisa tenaga, meronta, meraih tiang lapak, namun tak kuasa untuk bangkit. Dia hampir kehilangan kesadaran. Seolah rantai besi melilit perut begitu kencang, tak sepatah pun mampu terlontar, apalagi untuk menjerit. Lagi-lagi hanya bisa pasrah menunggu pertolongan.

"Ya Rabb! Kalaulah ini waktunya, hamba ikhlas. Tapi bila belum waktunya, tolong hamba! Selamatkan bayi hamba!" lirih Asih.

Perempuan berpakaian lusuh setengah telanjang mendapati Asih tergeletak tak berdaya. Usia perempuan itu kira-kira seumuran Asih. Penampilannya eksentrik dengan rambut gimbal berkepang yang diikat tali rami. Lilitan kantong plastik melingkar di pergelangan tangan, dan aksesoris lain dari sampah-sampah yang mudah dijumpai sekitar pasar. Kulit legam dengan debu tebal bercampur aneka rupa kotoran, sukar diterka sudah berapa minggu tak tersentuh sabun mandi. Wangi yang keluar dari tubuhnya adalah resapan dari campuran hampir seluruh bau yang ada di pasar.

Si Gila –demikian orang-orang pasar memanggilnya, cukup bersahabat. Kehadiran dia tak menjadi gangguan bagi Asih. Tak seperti penghuni pasar lain, Asih tak menganggap Si Gila manusia tak waras nonkomunikatif yang wajib dihindari. Asih menganggap sama seperti manusia lain, Si Gila adalah makhluk unik dengan dunia unik yang harus disikapi dengan segala permakluman.

Si Gila menghampiri, mengguncang-guncangkan tubuh Asih dengan senyuman kosong dan ucapan tak karuan. Penglihatan Asih masih kabur saat menelisik sosok di depannya. Asih kira itu malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya. Semakin jelas penglihatan, ditatap kuat sosok perempuan itu, semakin kuat, hingga Asih mengenali itu Si Gila. Ingin sekali Asih berucap minta tolong pada Si Gila, tapi bibir semakin kelu, suara terasa berat untuk meluncur keluar. Hanya isyarat kesakitan, Asih berharap dapat dipahami Si Gila. Tapi tak cukup berhasil. Si Gila masih berkata-kata tak karuan, seperti mengigau, seolah di balik kata-kata itu Si Gila bertanya pada Asih, ada apa dan kenapa?

Darah belum reda mengucur hingga menembus rok putih Asih. Warna merah yang menyembul tertangkap penglihatan membuat Si Gila histeris, menjerit-jerit dan masih dengan kata-kata tak karuan. Setengah menit jeritan Si Gila membahana ke seluruh penjuru pasar, tak ada yang menghiraukan. Pikir orang-orang di pasar, sudah biasa, dan memang pada waktu-waktu tertentu Si Gila seringkali menjerit-jerit tak karuan, tak ada yang memahami sebab dan maksudnya. ***



TIGA puluh meter di sudut blok daging, seorang pedagang asyik dengan kesibukannya, tak terganggu, tak peduli sedikit pun pada jeritan yang bersumber dari Si Gila. Dia menganggap tak ada yang istimewa dengan jeritan seorang tak waras. Tindakan janggal apapun yang dilakukan orang gila, sekalipun meresahkan, mau tak mau harus dimaklumi, dan kalau tak cukup mampu mengusirnya, abaikan saja.

Si Gila semakin lantang, mewakili Asih menjerit meminta pertolongan. Beberapa pedagang dan orang-orang yang hendak belanja berdatangan, tapi setelah tahu sumber keributan itu berasal dari Si Gila, mereka kembali tak acuh dan seolah berkata "Oh ternyata Si Gila. Ah, dasar! Mengagetkan saja," lalu kembali mengurusi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan.

Walaupun tak diacuhkan, Si Gila tak lantas berhenti. Dia menuju ke blok ikan. Jam-jam awal pasar buka, blok ikan sudah ramai orang-orang. Si Gila mencari seseorang yang dapat menolong Asih dengan menjerit dan berkata-kata tak karuan pada siapa saja yang dijumpai, seakan memberitahu apa yang barusan dilihatnya, seolah menyarankan harus secepatnya ada yang menolong Asih. Sebagian orang yang dihampiri Si Gila menghindar ketakutan, menyangka Si Gila sedang kambuh. Sebagian lagi yang berani, malah menghardik.

Si Gila mencari lagi ke arah lain, menuju blok beras. Hasilnya, hanya bentakan yang didapatkan. Si Gila semakin panik. Dia berinisiatif kembali melihat keadaan Asih.

Di ujung blok sayur tak jauh dari lapak Mak Acem, terhalang beberapa jongko, Si Gila melihat perempuan yang sedari tadi tak terganggu, terlalu asyik mengupas bawang merah. Si Gila bergegas menuju perempuan itu. Suara Si Gila sudah melemah, tak lagi mampu menjerit.

Perempuan pengupas bawang itu tak menyadari Si Gila menghampiri. Beberapa kata tak beraturan, sulit dimengerti, entah bahasa mana, membuyarkan keasyikan perempuan itu mengupasi bawang merah untuk bawang goreng. Perempuan pengupas bawang itu mengalihkan pandangan sejenak pada Si Gila, lalu meneruskan pekerjaannya. Dia pun sudah mafhum, "Ah Si Gila, biarkan saja." Hanya mengibaskan tangan sebagai isyarat pengusiran kepada Si Gila supaya tak mengganggu.

Si Gila tetap tak beranjak selangkah pun. Kata-katanya tak berhenti, semakin cepat, semakin meracau. Si Gila meraih tangan perempuan pengupas bawang itu. Tak ada keburukan yang terasa pada getaran tangan Si Gila, membuat perempuan pengupas bawang tak ketakutan sedikit pun. Entah kekuatan apa yang dipunyai Si Gila hingga dapat menghipnotis perempuan pengupas bawang sampai tak menghindar ataupun melawan. Bagai kerbau dicucuk hidung, perempuan pengupas bawang itu membiarkan Si Gila membawanya. Dia yakin ada sesuatu yang hendak ditunjukkan Si Gila.

Beberapa meter sebelum sampai di lapak Mak Acem, mata perempuan pengupas bawang langsung menangkap sesosok tubuh tergeletak. Semakin dekat semakin jelas melihat wajah itu, dia yakin itu perempuan yang sering terlihat membantu Mak Acem. Pandangan perempuan pengupas bawang beralih ke kaki Asih. Melihat lumuran darah, perempuan pengupas bawang terperanjat kaget bukan kepalang. Cengkraman tangan Si Gila terlepas, setengah berlari dia melangkah lebih cepat mendahului Si Gila.

Perempuan pengupas bawang segera mendekati Asih, sedangkan Si Gila masih tertinggal beberapa langkah di belakang. Dia menepuk-nepuk pipi, mencoba membangunkan Asih yang hampir tak sadarkan diri. Perempuan pengupas bawang itu memeriksa detak jantung, denyut nadi dan embusan nafas Asih, dia menemukan masih terdapat tanda-tanda kehidupan.

"Tolong…! Tolong…! Tolong…!" teriak perempuan pengupas bawang. Si Gila ikut histeris, kembali menjerit-jerit dengan suara parau seolah ikut membantu mengundang perhatian orang sekitar pasar.

"Tolong….!"

Jerit dua perempuan saling bersahutan, meminta pertolongan, berhasil mengundang perhatian orang-orang di pasar. Beberapa lelaki perempuan, pedagang dan yang hendak berbelanja, berdatangan.

"Ada apa Bu?" tanya seseorang.

"Tolong dia!"

Perempuan pengupas bawang bersama dua pria segera membopong dan membaringkan Asih di atas lantai beralas kardus. Seorang perempuan berkerudung cokelat tua mendekati, ikut membantu.

"Kenapa? Apa yang terjadi dengannya?"

"Saya juga tak tahu persis apa yang terjadi. Si Gila ini yang menemukan dan menunjukkan pada saya," jawab perempuan pengupas bawang.

"Sepertinya pendarahan. Mungkin akan segera melahirkan," perempuan berkerudung cokelat tua memeriksa kaki Asih. "Cepat cari pertolongan, bidan, dokter atau siapa saja yang bisa membantu!" tambahnya, sedikit panik.

"Jang Dani, tolong panggilkan Mak Ecin! Sekalian juga susul Mak Acem!" pinta perempuan pengupas bawang pada Jang Dani, pemuda yang ikut membantu membopong Asih. Pemuda itu berdiri melongo, sedikit kebingungan tak tahu apa yang mesti diperbuatnya lagi. Jang Dani bergegas memanggil kedua orang yang barusan disebutkan perempuan pengupas bawang.

Tujuh menit kemudian pemuda itu datang bersama Mak Acem, tapi tak diikuti Mak Ecin. Paraji[1] itu sedang membantu persalinan di daerah lain, lumayan jauh. Tak ada waktu banyak untuk menyusul dan membawa Mak Ecin.

"Astaghfirullah ya Allah, apa yang terjadi dengan Asih?" Mak Acem menghampiri, membelai kepala dan mengusapi pipi Asih. Gurat kesedihan menyembul di kerut keningnya saat mendapati naas keadaan perempuan yang telah dianggap anak sendiri.

"Mak Ecin mana Jang?" perempuan pengupas bawang mencari ke berbagai arah, tak mendapati kehadiran paraji itu yang diharapkan dapat membantu persalinan Asih.

"Tak ada, sedang ke Antapani, ada yang melahirkan di sana," jawab Jang Dani polos dengan terengah-engah.

"Bagaimana ini?" Perempuan pengupas bawang semakin khawatir.

"Lekas kita bawa saja ke Santo Yusuf!" Seorang tukang becak menyarankan membawa Asih ke rumah sakit terdekat.

"Tak mungkin dibawa dengan becak, kondisinya sudah lemah. Bisa-bisa keguguran!" timpal perempuan berkerudung cokelat tua itu.

"Terus bagaimana Bu?" perempuan pengupas bawang menoleh ke arah perempuan berkerudung cokelat tua.

"Telpon saja rumah sakit biar ambulans datang untuk membawanya!" saran perempuan berkerudung cokelat tua.

Tanpa komando, seorang pria beranjak menuju kantor koperasi pasar. Pikirnya, di tempat ini tak ada pesawat telepon selain di kantor koperasi pasar, letaknya di lantai atas sejajar dengan kios-kios pakaian dan aksesoris. Tak berapa lama pria itu datang mengabarkan kantor koperasi masih tutup. Jam-jam sepagi itu ini kantor koperasi masih tutup, baru buka jam enam pagi.

"Bagaimana Ceu?" tanya pria itu, menunggu instruksi selanjutnya. Dia berharap ada saran lain terbaik, secepatnya, untuk membantu Asih yang kian melemah.

"Susul saja ke Santo Yusuf, beritahukan agar ada dokter atau siapapun yang dapat membantu!" cetus perempuan berkerudung cokelat tua itu. Tanpa aba-aba lagi, pria itu bergegas menuju rumah sakit.

Asih berat membuka mata. Rintihannya makin menjadi. Kontraksi semakin terasa di perut. Sang bayi seakan sudah bosan di dalam perut dan berontak untuk keluar seolah tak sabar segera melihat dan merasakan alam dunia.

"Ini Ema, Neng! Istighfar, nyebut Neng! Nyebut!" Mak Acem menenangkan Asih.

"Nampaknya akan melahirkan, mari kita bantu!" perempuan berkerudung cokelat tua itu terpaksa mengambil komando, terdesak untuk berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan pada ibu hamil kritis di ambang persalinan.

"Tunggu bidan atau dokter rumah sakit saja Bu!" cegah perempuan pengupas bawang.

"Tak ada waktu banyak! Kita tidak bisa menunggu lagi, kondisinya semakin parah, ketubannya sudah pecah, dia akan segera melahirkan!"

"Tapi bagaimana caranya? Ibu tahu? Ibu seorang bidan?"

"Bukan, tapi saya tahu sedikit,” jawab perempuan berkerudung coklat tua.

“Ayo renggangkan kakinya!" suruh perempuan berkerudung cokelat tua pada Asih.

Perempuan berkerudung cokelat tua itu pernah bekerja di Bidan Yani sebagai pembantu rumah tangga, tempatnya di sebelah Terminal Cicaheum. Dia seringkali menyaksikan Bidan Yani menangani proses persalinan, dan tak jarang ikut membantu. Asih dan beberapa orang mengikuti instruksi perempuan berkerudung cokelat tua itu.

"Tarik nafas! Dorong…!" Asih menuruti instruksi perempuan berkerudung cokelat tua itu.

Nafas Asih tak beraturan, kadang cepat dan kadang lambat, diiringi keringat yang meluncur deras di kening.

Keramaian pasar terpusat di blok sayur, tepat di lapak Mak Acem. Orang-orang penasaran datang dan berlalu. Sebagian yang berada di sana terpaku mengamati, berdoa dan berharap yang terbaik bagi Asih. Sebagian lagi menyiapkan sesuatu yang dibutuhkan untuk kelancaran persalinan sesuai inisiatif masing-masing. Ada yang membawa kain, yang menyiapkan air hangat di warung kopi sebelah blok beras. Sebagian lagi yang merasa itu tak lebih penting dari tujuan mendasarnya, pergi menghindar, sekedar memberi ruang agar tak terlalu sesak. Sedangkan Si Gila hanya terpaku, tak juga berkata-kata. Mungkin dalam hati, Si Gila memanjatkan doa dan berharap Asih baik-baik saja, melahirkan dengan lancar.

"Ayo tarik nafas lagi yang panjang! Dorong! Mengejan yang kuat!" instruksi perempuan berkerudung cokelat tua.

Semakin mengejan, terasa seolah belenggu di perut Asih semakin mengencang. Satu dorongan kecil di perut cukup menguras separuh tenaga yang tersisa. Asih sempat ingin menyerah, tak sanggup lagi. Rasa sakit sudah memuncak, serasa tak kuasa lagi ditahan. Tapi semangat dan doa orang-orang, termasuk Mak Acem, seakan memercikkan tenaga baru untuk Asih.

"Terus, lebih kuat! Sedikit lagi." ***



FAJAR awal tengah beranjak, tangis bayi laki-laki menggelegar ke segenap penjuru pasar. Persalinan prematur yang dramatis. Beberapa saat suasana menjadi sedikit berbeda. Gerimis yang mengguyur sejak kemarin sore, mendadak reda. Angin menggemuruh kecil serta merta menyahuti tangis pertama sang bayi menyapa dunia.

Pertama kali mendengar suara bayinya, senyum mengurai di sudut bibir Asih. Tak terasa lagi kelelahan luar biasa itu, tak terasa lagi sakit itu, terganti oleh sebuah kebanggaan luar biasa sebab Asih resmi menjadi seorang ibu.

Semua yang menyaksikan lega dari ketegangan. Si Gila menyeringai, seakan merasakan kelegaan yang sama dengan perempuan pengupas bawang ataupun perempuan berkerudung cokelat tua, dan orang-orang sekitar tempat itu. Tangis sang bayi mereda. Jang Dani spontan meraih bayi merah itu, dengan tali ari-ari masih menjuntai. Tak ada rasa jijik atau risih, seakan bapaknya si bayi, Jang Dani mengumandangkan adzan di telinga kanan si bayi lalu ditimpali adzan subuh dari masjid-masjid saling bersahutan.

"Cucuku!" bahagianya Mak Acem, dia mengusapi ubun-ubun si bayi perlahan.

Mak Acem menemukan ada yang berbeda pada bayi Asih, sedikit janggal. Ekspresi wajah bayi itu terasa kaku. Jarang berkedip dengan pandangan mata terasa kosong. Sangat jarang geliat-geliat pergerakan seperti bayi pada umumnya. Bayi itu minim bergerak, kaku seperti boneka. Menangis pun, hanya sekali saat lahir saja. Tapi lenguh nafasnya, masih terasa, pertanda ada kehidupan pada si bayi. Mak Acem tak terus larut dalam kepenasaran mendapati kejanggalan bayi Asih, dia larut dalam kebahagiaan punya cucu baru, walaupun bukan bayi dari anak kandungnya sendiri.

"Punten-punten! Tolong beri jalan lewat!"

Seorang bidan jaga terlambat datang segera menghampiri. Dia tampak kerepotan menjinjing sekotak penuh peralatan, membelah kerumunan orang-orang yang menyaksikan kejadian itu. Disusul dua pria berpakaian putih-putih, berjibaku dengan beberapa orang di lorong sempit pasar, kerepotan membawa tandu. Asih segera dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih baik. Karena kondisi kelahiran prematur membuatnya rawan, sang bayi harus ditempatkan di inkubator untuk beberapa waktu mengikuti perawatan sang ibu.




[1] Dukun beranak.

Kamis, 07 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-11

Adhy M. Nuur

RUMAH Mak Acem tak lebih baik dari rumah Eman. Tapi, pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu, Asih mencium aroma kebebasan dan kedamaian. Tak ada bau pura-pura. Yang ada adalah semerbak kasih sayang tulus dari seorang perempuan tua, walaupun tak punya ikatan kerabat dengan Asih, bahkan baru kenal saat itu. Rumah itu lebih dari cukup untuk berlindung. Mak Acem menjelma menjadi ibu bagi Asih. Di istana kecil berdinding bilik bambu rapuh dimakan usia itu Asih menjadi puteri sesungguhnya dengan pelayanan kasih sayang jauh dari kemunafikan.

Mak Acem memperlakukan Asih selayak anak sendiri. Dia sangat menginginkan anak perempuan, tapi hanya dikaruniai seorang anak lelaki yang sudah belasan tahun tak lagi dijumpainya. Bahkan, ketika suami Mak Acem meninggal, anak itu tak ada untuk ikut memandikan dan menyalatkan jenazah bapaknya. Kehadiran Asih adalah anugerah Allah, seakan menjadi pengganti anaknya. Seolah jawaban dari doa yang tak henti Mak Acem panjatkan setiap usai salat. Redaksi doa dengan permohonan kelak, di hari tuanya, agar ada yang menemani. Siapapun, tak menginginkan begitu tragis bila kelak meninggal sendirian, dalam kesepian, tak ada sanak yang mengurusi. Janda tua itu tak lagi sendiri, ada Asih, yang melengkapinya berbagi rasa.

Mendekati bulan-bulan kelahiran sang bayi, Mak Acem melarang Asih sekadar mengerjakan pekerjaan rumah ringan yang sudah biasa dilakukan di rumah Eman. Asih memaksa agar tak dicegah untuk membantu, sebagai wujud terima kasih dan balas budi pada Mak Acem yang telah membawa Asih memasuki kehidupan baru yang lebih baik.

Kerja keras menjadi akrab dalam keseharian Asih. Keras pendirian Asih dirasakan pula oleh Mak Acem. Kemauan keras Asih tak bisa diutak-atik. Sebenarnya Mak Acem tak tega, tapi terpaksa membiarkan Asih melakoni rutinitas baru setiap pagi, menemani berjualan di pasar Cicadas, ikut melayani pembeli dan beberapa pekerjaan lain yang mampu dilakukan.

Walau usia kandungan sudah delapan bulan, tapi Asih tetap memaksa menemani dan bahkan menggantikan Mak Acem berjualan. Hidungnya sudah akrab dengan aneka bau khas pasar yang semula terasa sangat mengganggu. Asih sudah tak terganggu bau bawang putih dan rempah basah di lapak sebelah. Dia cukup terampil memilah sayuran. Harga tomat, wortel dan sayuran lain, sudah hafal di luar kepala. Pembawaan ramah membuat cepat akrab dengan pelanggan-pelanggan, dan mereka mengira Asih kerabat Mak Acem dari desa. Mak Acem merahasiakan keadaan Asih sebenarnya dan mengarang cerita bahwa suami Asih sedang bekerja di luar kota. Itu agar Asih lebih nyaman tinggal bersama Mak Acem, tanpa aneka pertanyaan dari orang-orang yang akan mengusik kehadiran Asih.

Asih begitu menikmati kehidupan baru bersama Mak Acem. Menikmati rumah baru, menikmati lembapnya udara pasar, menikmati keriuhan pasar, serta menikmati aroma menyengat di pelosok-pelosok blok dan lapak pedagang. Hilir mudik beberapa orang tengah menurunkan tong berisi ikan, dengan serentak setelahnya bau anyir segera menyeruak ke berbagai arah dengan ratusan lalat beterbangan mengitari, Asih sudah tak terganggu.

Orang-orang kuat yang bertahan adalah mereka yang dapat membiasakan diri dengan becek dan bau, termasuk Mak Acem dan Asih. Saking terbiasa, hingga acapkali aroma itu sekadar lewat di hidung tanpa memberi penjelasan detail bau itu secara lugas dan jelas.

Lingkungan rumah Mak Acem dan pasar sebenarnya tak memadai bagi ibu hamil dan perkembangan kandungan sang bayi. Tempat yang baik, idealnya adalah lingkungan rumah di desa dulu. Tapi Asih menerima dengan penuh rasa syukur. Kedamaian, ketentraman dan kasih sayang yang tulus dari Mak Acem sudah lebih dari cukup buat Asih saat itu.

Rabu, 06 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-10

Adhy M. Nuur

SIANG rumah sepi, Eman pulas di kursi ruang depan. Dengkurannya membahana. Kalau sudah begitu, hanya gempa bumi dahsyat atau kebakaran yang dapat membangunkan manusia srigala itu.

Asih kembali ke rumah Eman, menyelinap menuju kamarnya, segera memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas beludru abu-abu kusam pemberian Ema, lalu mengambil beberapa uang yang disembunyikan di bawah kasur kapuk. Tak ada yang ditunggu, Asih bersegera mengendap-endap keluar, meninggalkan rumah Eman untuk selamanya. Tak ada ritual pamit atau salam perpisahan. Tak juga terlintas niat kembali. Ini akan menjadi penutup kisah di rumah itu, rumah yang dia sebut penjara dengan ketidakbebasan dan penindasan Eman. ***


TEPIAN sungai itu menariknya untuk kembali. Cukup sepi, berjam-jam Asih tercenung menatapi riak air. Pandangan kosong dengan lamunan berseliweran tak tentu. Angin menyapu wajah membuat rambut Asih berderak, terasa sejuk, menguapkan peluh yang berceceran di kening. Berbagai kemungkinan dan kebingungan bertarung dalam arena pikiran, semakin semrawut.

Asih beralih mencari perlindungan di balik dinding rumah tua tak berpenghuni. Dia memejamkan mata, menikmati udara sejuk dalam setiap tarikan dan embusan nafasnya, memompa sisa-sisa optimis untuk menguatkan tekadnya. Lelah tubuh dan lelah hati mengundang kantuk datang menyergap hingga lelap.

Menjelang magrib seorang perempuan tua mendapati Asih tertidur bersandar di tunggul pohon setinggi pinggang. "Neng! Neng, ayo bangun, pamali, sareupna[1]," Perempuan tua itu menepuk-nepuk pundak Asih.

"Neng, kenapa tidur di sini?"

Asih terkesiap, membuka mata perlahan. Dia menatap lekat perempuan tua itu. Beberapa helai rambut memutih berurai tak tertutupi ciput[2]. Keriput wajah nampak kentara pertanda usia sudah setengah abad lebih. Beberapa ranting pohon dan balok kayu kecil, sedikit berlumur semen mengeras, diikat tali rami warna-warni bersambungan menyelendang di pundak perempuan tua itu.

"Neng, kenapa tidur disini?" untuk kedua kali perempuan tua itu bertanya, tapi Asih masih tak segera menjawab.

Perempuan tua itu mengingatkan Asih pada sang ibu. Serentak, kerinduan dan pilu merasakan beban berat membuncah. Seperti letusan merapi mengalirkan lahar tanpa ada yang mampu menghalangi, air mata Asih tak terbendung.

"Kenapa menangis Neng? Rumahnya dimana?" tanya perempuan tua itu lagi.

Asih lagi-lagi tak menjawab. Isakannya kian melantunkan melodi kepiluan yang menyayat. Seperti sudah memahami apa yang terjadi pada Asih, perempuan tua itu tak bertanya lagi.

"Ayo Neng ikut saja sama Ema!" Perempuan tua itu meraih pundak dan membantu Asih untuk bangkit berdiri. Asih manut saja tanpa bertanya. Dia percaya perempuan tua itu akan menolongnya lepas dari situasi tak pasti itu. Merasa iba, perempuan tua itu membawa Asih, mengajak tinggal di rumahnya yang berada tak jauh dari pasar Cicadas. Dialah Mak Acem, perempuan tua itu janda sebatang kara. Suaminya meninggal enam tahun lalu. Anak laki-laki satu-satunya merantau ke seberang pulau membawa serta menantunya. Hingga kini dia tak tahu bagaimana nasib mereka, lama tiada kabar.




[1] Senja menjelang magrib.
[2] Penutup kepala yang lajim digunakan kaum perempuan. Biasa dikombinasikan dengan jilbab/kerudung.

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates