Minggu, 03 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-7

Adhy M. Nuur

DAERAH Cicadas cukup masyhur kala itu. Bukan lantaran peristiwa sejarah yang tercatat mengiringi perjalanan bangsa ini terjadi di daerah itu, tapi karena terkenal memiliki prestasi tinggi dalam hal premanisme.

Bandung kala itu usai dilanda musim hujan mengerikan selama lebih dari sebulan, padahal seharusnya sudah masuk kemarau. Deras hujan tercurah seakan hampir sama seperti hujannya zaman Nabi Nuh. Jika saja hujan deras tak reda tiga hari berturut-turut, Bandung yang cekung seperti mangkuk dapat saja tergenang lalu tenggelam. Entah, serupa azab dari Allah karena dosa-dosa sebagian besar penduduknya, atau mungkin hanya anomali cuaca yang terjadi setiap kurun waktu tertentu.

Manakala hujan reda untuk beberapa jam, udara lebih dingin menusuk tulang, sebanding sepertiga dingin kutub utara. Tiang-tiang jemuran dan lapak-lapak kayu pedagang pasar Cikutra terasa beku dalam sentuhan. Dalam seminggu, satu hari tak hujan. Kadang Sabtu, kadang hari Selasa, sisanya, hari-hari tak luput diguyur hujan. Kelembapannya membuat barang-barang mudah rusak, terutama buah dan sayuran jadi cepat busuk. Kayu-kayu bercendawan. Jalanan berlubang banyak digenangi. Air pekat bercampur limbah bau menyengat meluap dari saluran got yang tersumbat. Aroma lembap dan busuk berseliweran.

Salah satu kerabat Abah bersedia menampung Asih, paling tidak hingga keadaan desa tenang dan masyarakat dapat menerima kehadiran Asih lagi. Rumah Eman –adik sepupu Abah, dipilih sebagai pengungsian sementara sebelum menemukan tempat lain yang lebih baik. Dari desa yang tenang pindah ke kota. Daerah Cicadas sebenarnya tidak lebih aman dan nyaman dari pada kaki Gunung Galunggung. Itu serupa memindahkan Asih dari kandang harimau ke kandang serigala. Tapi, Abah punya pertimbangan lain.

Sebagian tetangga tahu Asih hamil dan belum menikah. Keluarga Eman merasa tak perlu menyembunyikan apapun mengenai Asih, termasuk sisi kelamnya. Walau ditutup-tutupi, suatu saat akan diketahui juga. Tanpa disengaja, opini tetangga segera terbentuk bahwa Asih korban pergaulan bebas, belum kawin lantaran lelaki yang menghamilinya kabur tak mau tanggung jawab.

Di tempat baru itu, Asih tak mudah bergaul akrab dengan warga lain. Belum banyak tetangga dia kenal. Orang-orang di tempat itu acuh tak acuh. Tidak terang-terangan menyambut, juga tidak terang-terangan menolak keberadaan Asih. Seolah label nista atas keadaan Asih tidak terlalu dipermasalahkan dan sudah mafhum, seakan-akan daerah itu terbuka, terbuka menerima orang-orang buangan dan yang bernasib malang.

Walau terkesan tidak peduli, tak ambil pusing, tapi orang-orang di sana dipenuhi kecurigaan. Omongan, penglihatan, bahkan impian orang-orang baru akan dicurigai. Mata mereka senantiasa waspada terhadap ancaman yang akan ditimbulkan pendatang.

Bagi Asih, awal-awal, keindahan kota itu, tak lebih dari samaran, sesungguhnya adalah belantara diselimuti bangunan-bangunan urban. Sebagian penghuni ibarat hewan-hewan yang menyamar menjadi manusia, dengan bahasa dan tingkah laku menyerupai manusia.

Eman juga jelmaan hewan, dari jenis srigala. Eman dapat bersikap manis jika perutnya kenyang dan menjadi buas manakala kelaparan. Eman lebih tepatnya manusia serigala, bukan binatang seutuhnya, karena dia masih punya rasa malu dan iba. Yang menjinakkannya adalah rasa memiliki banyak utang budi pada keluarga Asih. Alasan itu yang menjadi sebab Eman dan keluarganya bersedia menerima Asih. Selain itu, keluarga Eman tidak akan sudi menerima orang baru numpang di rumahnya, meski itu terikat hubungan kekerabatan.

Awalnya Eman memperlakukan Asih bak putri raja. Istri Eman sering iri dengan perhatian Eman pada Asih yang kadang berlebihan. Tapi perlakuan itu tak lama, hanya enam hari. Lepas itu, Eman tak membiarkan Asih tinggal dengan enaknya. Tak peduli sedang mengandung, manusia srigala itu memperlakukan Asih tak ubah pembantu. Berbagai pekerjaan dari mencuci, masak, bersih-bersih rumah, hingga pekerjaan sedikit berat yang lazim dilakukan pria dewasa dikerjakan Asih. Tak ada yang gratis di sana, harus mau kerja, itu sebagai bunga yang harus dibayar Asih saat menumpang di rumah Eman. Sang puteri kembali menjadi Cinderela.

Saat berbadan dua, pekerjaan ringan pun terasa lebih berat. Tapi lelah fisik tidak seberapa dibandingkan lelah hati ketika harapannya hancur sebab berkali-kali gagal merajut kebahagiaan. Di rumah itu, Asih terbiasa bangun sebelum adzan Subuh bersahutan di masjid-masjid. Asih memulai hari dengan bersiap menunaikan kewajibannya, salat. Ketaatan yang melekat kuat, tak tertinggal meski berada di tempat munafik. Selepas salat, Asih masih harus terjaga untuk segera membersihkan isi rumah, lalu bersibuk diri di dapur. Menjelang pagi, mencucikan pakaian seisi rumah, disambung melayani dan menyiapkan keperluan sekolah anak-anak Eman. Menjelang siang, memasak untuk makan siang. Sore, menyetrika. Begitu seterusnya, setiap hari. Asih tak begitu sukar membiasakan diri dengan semua rutinitas membosankan itu, perlahan dia begitu menikmati. Cukup untuk mengalihkan diri dari kepedihan menangisi nasib buruk.

nonton juga lah ya yang ini

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates