Kamis, 07 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-11

Adhy M. Nuur

RUMAH Mak Acem tak lebih baik dari rumah Eman. Tapi, pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu, Asih mencium aroma kebebasan dan kedamaian. Tak ada bau pura-pura. Yang ada adalah semerbak kasih sayang tulus dari seorang perempuan tua, walaupun tak punya ikatan kerabat dengan Asih, bahkan baru kenal saat itu. Rumah itu lebih dari cukup untuk berlindung. Mak Acem menjelma menjadi ibu bagi Asih. Di istana kecil berdinding bilik bambu rapuh dimakan usia itu Asih menjadi puteri sesungguhnya dengan pelayanan kasih sayang jauh dari kemunafikan.

Mak Acem memperlakukan Asih selayak anak sendiri. Dia sangat menginginkan anak perempuan, tapi hanya dikaruniai seorang anak lelaki yang sudah belasan tahun tak lagi dijumpainya. Bahkan, ketika suami Mak Acem meninggal, anak itu tak ada untuk ikut memandikan dan menyalatkan jenazah bapaknya. Kehadiran Asih adalah anugerah Allah, seakan menjadi pengganti anaknya. Seolah jawaban dari doa yang tak henti Mak Acem panjatkan setiap usai salat. Redaksi doa dengan permohonan kelak, di hari tuanya, agar ada yang menemani. Siapapun, tak menginginkan begitu tragis bila kelak meninggal sendirian, dalam kesepian, tak ada sanak yang mengurusi. Janda tua itu tak lagi sendiri, ada Asih, yang melengkapinya berbagi rasa.

Mendekati bulan-bulan kelahiran sang bayi, Mak Acem melarang Asih sekadar mengerjakan pekerjaan rumah ringan yang sudah biasa dilakukan di rumah Eman. Asih memaksa agar tak dicegah untuk membantu, sebagai wujud terima kasih dan balas budi pada Mak Acem yang telah membawa Asih memasuki kehidupan baru yang lebih baik.

Kerja keras menjadi akrab dalam keseharian Asih. Keras pendirian Asih dirasakan pula oleh Mak Acem. Kemauan keras Asih tak bisa diutak-atik. Sebenarnya Mak Acem tak tega, tapi terpaksa membiarkan Asih melakoni rutinitas baru setiap pagi, menemani berjualan di pasar Cicadas, ikut melayani pembeli dan beberapa pekerjaan lain yang mampu dilakukan.

Walau usia kandungan sudah delapan bulan, tapi Asih tetap memaksa menemani dan bahkan menggantikan Mak Acem berjualan. Hidungnya sudah akrab dengan aneka bau khas pasar yang semula terasa sangat mengganggu. Asih sudah tak terganggu bau bawang putih dan rempah basah di lapak sebelah. Dia cukup terampil memilah sayuran. Harga tomat, wortel dan sayuran lain, sudah hafal di luar kepala. Pembawaan ramah membuat cepat akrab dengan pelanggan-pelanggan, dan mereka mengira Asih kerabat Mak Acem dari desa. Mak Acem merahasiakan keadaan Asih sebenarnya dan mengarang cerita bahwa suami Asih sedang bekerja di luar kota. Itu agar Asih lebih nyaman tinggal bersama Mak Acem, tanpa aneka pertanyaan dari orang-orang yang akan mengusik kehadiran Asih.

Asih begitu menikmati kehidupan baru bersama Mak Acem. Menikmati rumah baru, menikmati lembapnya udara pasar, menikmati keriuhan pasar, serta menikmati aroma menyengat di pelosok-pelosok blok dan lapak pedagang. Hilir mudik beberapa orang tengah menurunkan tong berisi ikan, dengan serentak setelahnya bau anyir segera menyeruak ke berbagai arah dengan ratusan lalat beterbangan mengitari, Asih sudah tak terganggu.

Orang-orang kuat yang bertahan adalah mereka yang dapat membiasakan diri dengan becek dan bau, termasuk Mak Acem dan Asih. Saking terbiasa, hingga acapkali aroma itu sekadar lewat di hidung tanpa memberi penjelasan detail bau itu secara lugas dan jelas.

Lingkungan rumah Mak Acem dan pasar sebenarnya tak memadai bagi ibu hamil dan perkembangan kandungan sang bayi. Tempat yang baik, idealnya adalah lingkungan rumah di desa dulu. Tapi Asih menerima dengan penuh rasa syukur. Kedamaian, ketentraman dan kasih sayang yang tulus dari Mak Acem sudah lebih dari cukup buat Asih saat itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates