Jumat, 08 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-12

Adhy M. Nuur
JAM setengah empat pagi, kali itu persiapan berjualan diambil alih Asih, sementara Mak Acem di rumah lantaran rematik kronisnya kambuh. Sebelum beranjak ke pasar, Mak Acem melarang Asih membantu sebab tengah hamil tua. Apalagi gerimis sejak sore belum berhenti. Tapi kemauan keras Asih tak mampu dicegah Mak Acem.

Sudah menjadi terbiasa dengan perumpamaan bahwa di dalam hidup ini banyak hal tak terduga menimpa begitu saja, tanpa pertanda, kabar, atau peringatan. Sebelum pergi ke pasar, Asih tak mendapati pertanda hari itu akan melahirkan. Perkiraan bidan puskesmas, dan perhitungan dirinya, rata-rata sebulan lagi Asih akan melahirkan.

Pasar masih cukup sepi, hanya beberapa pedagang bersiap membuka kios dan lapak dagangannya, jaraknya cukup berjauhan. Gerimis tak kunjung mereda. Orang-orang masih malas keluar rumah. Mereka yang hendak berbelanja juga masih terlalu sedikit. Lapak Mak Acem berada di bagian sisi selatan pasar. Asih sendirian mempersiapkan dagangannya.

Lama diguyur gerimis seperti biasa lantai basah dan licin. Satu keranjang tomat telah dipilah-pilah hendak diangkat Asih ke atas lapak. Pijakan tak cukup lekat hingga terpeleset, braak!!! Asih tersungkur menimpa sekeranjang kubis. Tomat berhamburan. Asih berusaha bangkit tapi tertahan rasa sakit di perut, disusul perlahan darah melumuri paha. Asih menoleh ke segenap arah, tak seorang pun dia temui. Jerit meminta tolong tertahan sakit yang menjalar hingga tenggorokan terasa tercekat. Ketakutan besar menyelinap ke dalam hati, ini mungkin akan jadi akhir hidupnya. Yang paling Asih takutkan adalah jabang bayi yang dikandungnya. Asih pasrah, andai takdir perjalanan hidupnya harus berakhir di pasar, saat itu, Asih merelakan, hanya selaksa doa dipanjatkan untuk keselamatan bayinya.

Asih kumpulkan sisa-sisa tenaga, meronta, meraih tiang lapak, namun tak kuasa untuk bangkit. Dia hampir kehilangan kesadaran. Seolah rantai besi melilit perut begitu kencang, tak sepatah pun mampu terlontar, apalagi untuk menjerit. Lagi-lagi hanya bisa pasrah menunggu pertolongan.

"Ya Rabb! Kalaulah ini waktunya, hamba ikhlas. Tapi bila belum waktunya, tolong hamba! Selamatkan bayi hamba!" lirih Asih.

Perempuan berpakaian lusuh setengah telanjang mendapati Asih tergeletak tak berdaya. Usia perempuan itu kira-kira seumuran Asih. Penampilannya eksentrik dengan rambut gimbal berkepang yang diikat tali rami. Lilitan kantong plastik melingkar di pergelangan tangan, dan aksesoris lain dari sampah-sampah yang mudah dijumpai sekitar pasar. Kulit legam dengan debu tebal bercampur aneka rupa kotoran, sukar diterka sudah berapa minggu tak tersentuh sabun mandi. Wangi yang keluar dari tubuhnya adalah resapan dari campuran hampir seluruh bau yang ada di pasar.

Si Gila –demikian orang-orang pasar memanggilnya, cukup bersahabat. Kehadiran dia tak menjadi gangguan bagi Asih. Tak seperti penghuni pasar lain, Asih tak menganggap Si Gila manusia tak waras nonkomunikatif yang wajib dihindari. Asih menganggap sama seperti manusia lain, Si Gila adalah makhluk unik dengan dunia unik yang harus disikapi dengan segala permakluman.

Si Gila menghampiri, mengguncang-guncangkan tubuh Asih dengan senyuman kosong dan ucapan tak karuan. Penglihatan Asih masih kabur saat menelisik sosok di depannya. Asih kira itu malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya. Semakin jelas penglihatan, ditatap kuat sosok perempuan itu, semakin kuat, hingga Asih mengenali itu Si Gila. Ingin sekali Asih berucap minta tolong pada Si Gila, tapi bibir semakin kelu, suara terasa berat untuk meluncur keluar. Hanya isyarat kesakitan, Asih berharap dapat dipahami Si Gila. Tapi tak cukup berhasil. Si Gila masih berkata-kata tak karuan, seperti mengigau, seolah di balik kata-kata itu Si Gila bertanya pada Asih, ada apa dan kenapa?

Darah belum reda mengucur hingga menembus rok putih Asih. Warna merah yang menyembul tertangkap penglihatan membuat Si Gila histeris, menjerit-jerit dan masih dengan kata-kata tak karuan. Setengah menit jeritan Si Gila membahana ke seluruh penjuru pasar, tak ada yang menghiraukan. Pikir orang-orang di pasar, sudah biasa, dan memang pada waktu-waktu tertentu Si Gila seringkali menjerit-jerit tak karuan, tak ada yang memahami sebab dan maksudnya. ***



TIGA puluh meter di sudut blok daging, seorang pedagang asyik dengan kesibukannya, tak terganggu, tak peduli sedikit pun pada jeritan yang bersumber dari Si Gila. Dia menganggap tak ada yang istimewa dengan jeritan seorang tak waras. Tindakan janggal apapun yang dilakukan orang gila, sekalipun meresahkan, mau tak mau harus dimaklumi, dan kalau tak cukup mampu mengusirnya, abaikan saja.

Si Gila semakin lantang, mewakili Asih menjerit meminta pertolongan. Beberapa pedagang dan orang-orang yang hendak belanja berdatangan, tapi setelah tahu sumber keributan itu berasal dari Si Gila, mereka kembali tak acuh dan seolah berkata "Oh ternyata Si Gila. Ah, dasar! Mengagetkan saja," lalu kembali mengurusi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan.

Walaupun tak diacuhkan, Si Gila tak lantas berhenti. Dia menuju ke blok ikan. Jam-jam awal pasar buka, blok ikan sudah ramai orang-orang. Si Gila mencari seseorang yang dapat menolong Asih dengan menjerit dan berkata-kata tak karuan pada siapa saja yang dijumpai, seakan memberitahu apa yang barusan dilihatnya, seolah menyarankan harus secepatnya ada yang menolong Asih. Sebagian orang yang dihampiri Si Gila menghindar ketakutan, menyangka Si Gila sedang kambuh. Sebagian lagi yang berani, malah menghardik.

Si Gila mencari lagi ke arah lain, menuju blok beras. Hasilnya, hanya bentakan yang didapatkan. Si Gila semakin panik. Dia berinisiatif kembali melihat keadaan Asih.

Di ujung blok sayur tak jauh dari lapak Mak Acem, terhalang beberapa jongko, Si Gila melihat perempuan yang sedari tadi tak terganggu, terlalu asyik mengupas bawang merah. Si Gila bergegas menuju perempuan itu. Suara Si Gila sudah melemah, tak lagi mampu menjerit.

Perempuan pengupas bawang itu tak menyadari Si Gila menghampiri. Beberapa kata tak beraturan, sulit dimengerti, entah bahasa mana, membuyarkan keasyikan perempuan itu mengupasi bawang merah untuk bawang goreng. Perempuan pengupas bawang itu mengalihkan pandangan sejenak pada Si Gila, lalu meneruskan pekerjaannya. Dia pun sudah mafhum, "Ah Si Gila, biarkan saja." Hanya mengibaskan tangan sebagai isyarat pengusiran kepada Si Gila supaya tak mengganggu.

Si Gila tetap tak beranjak selangkah pun. Kata-katanya tak berhenti, semakin cepat, semakin meracau. Si Gila meraih tangan perempuan pengupas bawang itu. Tak ada keburukan yang terasa pada getaran tangan Si Gila, membuat perempuan pengupas bawang tak ketakutan sedikit pun. Entah kekuatan apa yang dipunyai Si Gila hingga dapat menghipnotis perempuan pengupas bawang sampai tak menghindar ataupun melawan. Bagai kerbau dicucuk hidung, perempuan pengupas bawang itu membiarkan Si Gila membawanya. Dia yakin ada sesuatu yang hendak ditunjukkan Si Gila.

Beberapa meter sebelum sampai di lapak Mak Acem, mata perempuan pengupas bawang langsung menangkap sesosok tubuh tergeletak. Semakin dekat semakin jelas melihat wajah itu, dia yakin itu perempuan yang sering terlihat membantu Mak Acem. Pandangan perempuan pengupas bawang beralih ke kaki Asih. Melihat lumuran darah, perempuan pengupas bawang terperanjat kaget bukan kepalang. Cengkraman tangan Si Gila terlepas, setengah berlari dia melangkah lebih cepat mendahului Si Gila.

Perempuan pengupas bawang segera mendekati Asih, sedangkan Si Gila masih tertinggal beberapa langkah di belakang. Dia menepuk-nepuk pipi, mencoba membangunkan Asih yang hampir tak sadarkan diri. Perempuan pengupas bawang itu memeriksa detak jantung, denyut nadi dan embusan nafas Asih, dia menemukan masih terdapat tanda-tanda kehidupan.

"Tolong…! Tolong…! Tolong…!" teriak perempuan pengupas bawang. Si Gila ikut histeris, kembali menjerit-jerit dengan suara parau seolah ikut membantu mengundang perhatian orang sekitar pasar.

"Tolong….!"

Jerit dua perempuan saling bersahutan, meminta pertolongan, berhasil mengundang perhatian orang-orang di pasar. Beberapa lelaki perempuan, pedagang dan yang hendak berbelanja, berdatangan.

"Ada apa Bu?" tanya seseorang.

"Tolong dia!"

Perempuan pengupas bawang bersama dua pria segera membopong dan membaringkan Asih di atas lantai beralas kardus. Seorang perempuan berkerudung cokelat tua mendekati, ikut membantu.

"Kenapa? Apa yang terjadi dengannya?"

"Saya juga tak tahu persis apa yang terjadi. Si Gila ini yang menemukan dan menunjukkan pada saya," jawab perempuan pengupas bawang.

"Sepertinya pendarahan. Mungkin akan segera melahirkan," perempuan berkerudung cokelat tua memeriksa kaki Asih. "Cepat cari pertolongan, bidan, dokter atau siapa saja yang bisa membantu!" tambahnya, sedikit panik.

"Jang Dani, tolong panggilkan Mak Ecin! Sekalian juga susul Mak Acem!" pinta perempuan pengupas bawang pada Jang Dani, pemuda yang ikut membantu membopong Asih. Pemuda itu berdiri melongo, sedikit kebingungan tak tahu apa yang mesti diperbuatnya lagi. Jang Dani bergegas memanggil kedua orang yang barusan disebutkan perempuan pengupas bawang.

Tujuh menit kemudian pemuda itu datang bersama Mak Acem, tapi tak diikuti Mak Ecin. Paraji[1] itu sedang membantu persalinan di daerah lain, lumayan jauh. Tak ada waktu banyak untuk menyusul dan membawa Mak Ecin.

"Astaghfirullah ya Allah, apa yang terjadi dengan Asih?" Mak Acem menghampiri, membelai kepala dan mengusapi pipi Asih. Gurat kesedihan menyembul di kerut keningnya saat mendapati naas keadaan perempuan yang telah dianggap anak sendiri.

"Mak Ecin mana Jang?" perempuan pengupas bawang mencari ke berbagai arah, tak mendapati kehadiran paraji itu yang diharapkan dapat membantu persalinan Asih.

"Tak ada, sedang ke Antapani, ada yang melahirkan di sana," jawab Jang Dani polos dengan terengah-engah.

"Bagaimana ini?" Perempuan pengupas bawang semakin khawatir.

"Lekas kita bawa saja ke Santo Yusuf!" Seorang tukang becak menyarankan membawa Asih ke rumah sakit terdekat.

"Tak mungkin dibawa dengan becak, kondisinya sudah lemah. Bisa-bisa keguguran!" timpal perempuan berkerudung cokelat tua itu.

"Terus bagaimana Bu?" perempuan pengupas bawang menoleh ke arah perempuan berkerudung cokelat tua.

"Telpon saja rumah sakit biar ambulans datang untuk membawanya!" saran perempuan berkerudung cokelat tua.

Tanpa komando, seorang pria beranjak menuju kantor koperasi pasar. Pikirnya, di tempat ini tak ada pesawat telepon selain di kantor koperasi pasar, letaknya di lantai atas sejajar dengan kios-kios pakaian dan aksesoris. Tak berapa lama pria itu datang mengabarkan kantor koperasi masih tutup. Jam-jam sepagi itu ini kantor koperasi masih tutup, baru buka jam enam pagi.

"Bagaimana Ceu?" tanya pria itu, menunggu instruksi selanjutnya. Dia berharap ada saran lain terbaik, secepatnya, untuk membantu Asih yang kian melemah.

"Susul saja ke Santo Yusuf, beritahukan agar ada dokter atau siapapun yang dapat membantu!" cetus perempuan berkerudung cokelat tua itu. Tanpa aba-aba lagi, pria itu bergegas menuju rumah sakit.

Asih berat membuka mata. Rintihannya makin menjadi. Kontraksi semakin terasa di perut. Sang bayi seakan sudah bosan di dalam perut dan berontak untuk keluar seolah tak sabar segera melihat dan merasakan alam dunia.

"Ini Ema, Neng! Istighfar, nyebut Neng! Nyebut!" Mak Acem menenangkan Asih.

"Nampaknya akan melahirkan, mari kita bantu!" perempuan berkerudung cokelat tua itu terpaksa mengambil komando, terdesak untuk berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan pada ibu hamil kritis di ambang persalinan.

"Tunggu bidan atau dokter rumah sakit saja Bu!" cegah perempuan pengupas bawang.

"Tak ada waktu banyak! Kita tidak bisa menunggu lagi, kondisinya semakin parah, ketubannya sudah pecah, dia akan segera melahirkan!"

"Tapi bagaimana caranya? Ibu tahu? Ibu seorang bidan?"

"Bukan, tapi saya tahu sedikit,” jawab perempuan berkerudung coklat tua.

“Ayo renggangkan kakinya!" suruh perempuan berkerudung cokelat tua pada Asih.

Perempuan berkerudung cokelat tua itu pernah bekerja di Bidan Yani sebagai pembantu rumah tangga, tempatnya di sebelah Terminal Cicaheum. Dia seringkali menyaksikan Bidan Yani menangani proses persalinan, dan tak jarang ikut membantu. Asih dan beberapa orang mengikuti instruksi perempuan berkerudung cokelat tua itu.

"Tarik nafas! Dorong…!" Asih menuruti instruksi perempuan berkerudung cokelat tua itu.

Nafas Asih tak beraturan, kadang cepat dan kadang lambat, diiringi keringat yang meluncur deras di kening.

Keramaian pasar terpusat di blok sayur, tepat di lapak Mak Acem. Orang-orang penasaran datang dan berlalu. Sebagian yang berada di sana terpaku mengamati, berdoa dan berharap yang terbaik bagi Asih. Sebagian lagi menyiapkan sesuatu yang dibutuhkan untuk kelancaran persalinan sesuai inisiatif masing-masing. Ada yang membawa kain, yang menyiapkan air hangat di warung kopi sebelah blok beras. Sebagian lagi yang merasa itu tak lebih penting dari tujuan mendasarnya, pergi menghindar, sekedar memberi ruang agar tak terlalu sesak. Sedangkan Si Gila hanya terpaku, tak juga berkata-kata. Mungkin dalam hati, Si Gila memanjatkan doa dan berharap Asih baik-baik saja, melahirkan dengan lancar.

"Ayo tarik nafas lagi yang panjang! Dorong! Mengejan yang kuat!" instruksi perempuan berkerudung cokelat tua.

Semakin mengejan, terasa seolah belenggu di perut Asih semakin mengencang. Satu dorongan kecil di perut cukup menguras separuh tenaga yang tersisa. Asih sempat ingin menyerah, tak sanggup lagi. Rasa sakit sudah memuncak, serasa tak kuasa lagi ditahan. Tapi semangat dan doa orang-orang, termasuk Mak Acem, seakan memercikkan tenaga baru untuk Asih.

"Terus, lebih kuat! Sedikit lagi." ***



FAJAR awal tengah beranjak, tangis bayi laki-laki menggelegar ke segenap penjuru pasar. Persalinan prematur yang dramatis. Beberapa saat suasana menjadi sedikit berbeda. Gerimis yang mengguyur sejak kemarin sore, mendadak reda. Angin menggemuruh kecil serta merta menyahuti tangis pertama sang bayi menyapa dunia.

Pertama kali mendengar suara bayinya, senyum mengurai di sudut bibir Asih. Tak terasa lagi kelelahan luar biasa itu, tak terasa lagi sakit itu, terganti oleh sebuah kebanggaan luar biasa sebab Asih resmi menjadi seorang ibu.

Semua yang menyaksikan lega dari ketegangan. Si Gila menyeringai, seakan merasakan kelegaan yang sama dengan perempuan pengupas bawang ataupun perempuan berkerudung cokelat tua, dan orang-orang sekitar tempat itu. Tangis sang bayi mereda. Jang Dani spontan meraih bayi merah itu, dengan tali ari-ari masih menjuntai. Tak ada rasa jijik atau risih, seakan bapaknya si bayi, Jang Dani mengumandangkan adzan di telinga kanan si bayi lalu ditimpali adzan subuh dari masjid-masjid saling bersahutan.

"Cucuku!" bahagianya Mak Acem, dia mengusapi ubun-ubun si bayi perlahan.

Mak Acem menemukan ada yang berbeda pada bayi Asih, sedikit janggal. Ekspresi wajah bayi itu terasa kaku. Jarang berkedip dengan pandangan mata terasa kosong. Sangat jarang geliat-geliat pergerakan seperti bayi pada umumnya. Bayi itu minim bergerak, kaku seperti boneka. Menangis pun, hanya sekali saat lahir saja. Tapi lenguh nafasnya, masih terasa, pertanda ada kehidupan pada si bayi. Mak Acem tak terus larut dalam kepenasaran mendapati kejanggalan bayi Asih, dia larut dalam kebahagiaan punya cucu baru, walaupun bukan bayi dari anak kandungnya sendiri.

"Punten-punten! Tolong beri jalan lewat!"

Seorang bidan jaga terlambat datang segera menghampiri. Dia tampak kerepotan menjinjing sekotak penuh peralatan, membelah kerumunan orang-orang yang menyaksikan kejadian itu. Disusul dua pria berpakaian putih-putih, berjibaku dengan beberapa orang di lorong sempit pasar, kerepotan membawa tandu. Asih segera dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih baik. Karena kondisi kelahiran prematur membuatnya rawan, sang bayi harus ditempatkan di inkubator untuk beberapa waktu mengikuti perawatan sang ibu.




[1] Dukun beranak.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates