SILIH asah,
silih asih, silih asuh, begitu
indah terdengar di telinga. Dalam semboyan itu terdapat semacam penekanan
keharusan di antara sesama manusia harus saling menyayangi, menghormati dan
melindungi. Sebuah prosedur tak tertulis yang berusaha menjamin kelestarian
kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan. Andai benar Asih termasuk bagian di
dalamnya, mestinya siapapun menyayangi dia, apalagi dengan keterpurukan
menanggung cobaan berat itu, bukan malah menghancurkan impiannya tentang
kebahagiaan dan perubahan. Bukan pula menyudutkan seolah tiada lagi selain Asih yang patut
dipersalahkan.
Seharusnya, siapapun menghormati apa
yang terjadi pada Asih, bukan menghakimi atas
ketidakberdayaannya menolak suratan takdir. Dan semestinya pula siapapun dapat
melindungi kodratiahnya sebagai wanita lemah, bukan mencegah dari memperbaiki
semua keadaan buruk yang menimpanya. Dengan nilai-nilai yang tercantum dalam
slogan-slogan filosofis itu, harusnya Asih dapat melanjutkan hidup dengan
kebahagiaan yang dia usahakan bersama Mardi dalam ikatan pernikahan. Atau
seharusnya Kosim tidak sakit, seharusnya Dadang tidak kena cacar. Dan,
seharusnya ada orang, atau ada sesuatu yang dapat mencegah lelaki asing itu
menghamili Asih.
"Neng, ulah diuk na lawang panto, pamali!
Bisi hese meunang jodo,"[1]
tiba-tiba saja terlintas
kalimat itu dalam relung pikirannya, yang sering diucapkan ibunya, saat Asih remaja.
Asih sempat berpikir, mungkin saja kemalangan yang
menimpa ada kaitan dengan kebiasaannya yang gemar duduk di depan pintu,
bersandar pada tulang kusen pintu kayu lalu begitu menikmati hamparan sawah dan
pepohonan di bukit seberang. Pada pagi hari, sering Asih begitu anteng menyaksikan warga desa dengan berbagai aktivitas di sawah. Sedangkan
pada petang, Asih sering begitu mengasyiki hijau rimbun pepohonan dan
burung-burung yang beterbangan di langit bertatah mega. Di beberapa desa, pamali[2]
adalah ketentuan yang harus ditaati, tapi kepuasan batin membuat Asih
mengabaikannya.
"Heh!" Asih tersenyum sinis.
Pamali begitu
akrab melingkupi seluruh kehidupan masyarakat desa dari kandungan, lahir,
kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, hingga meninggal dunia. Kata itu seolah menjelma pamong yang melarang ketidaklayakan menurut
pandangan adat kebiasaan suatu daerah. Tapi Asih mempertanyakan, apa pamali relevan? Pertanyaan yang hingga kini belum
Asih temukan jawaban, atau tak perlu jawaban, patuhi saja, tak usah membantah,
sebab orangtua dan para leluhur pun mematuhi, hasilnya akan membuat
terhindarkan dari akibat-akibat tertentu.
“Pamali, apa karena itu aku
gagal meraup kebahagiaan bersama Kosim, Dadang atau Mardi? Pamali,
itukah yang mengacaukan semuanya?”
0 komentar:
Posting Komentar