Sabtu, 02 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-4

Adhy M. Nuur


SILIH asah, silih asih, silih asuh, begitu indah terdengar di telinga. Dalam semboyan itu terdapat semacam penekanan keharusan di antara sesama manusia harus saling menyayangi, menghormati dan melindungi. Sebuah prosedur tak tertulis yang berusaha menjamin kelestarian kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan. Andai benar Asih termasuk bagian di dalamnya, mestinya siapapun menyayangi dia, apalagi dengan keterpurukan menanggung cobaan berat itu, bukan malah menghancurkan impiannya tentang kebahagiaan dan perubahan. Bukan pula menyudutkan seolah tiada lagi selain Asih yang patut dipersalahkan.
Seharusnya, siapapun menghormati apa yang terjadi pada Asih, bukan menghakimi atas ketidakberdayaannya menolak suratan takdir. Dan semestinya pula siapapun dapat melindungi kodratiahnya sebagai wanita lemah, bukan mencegah dari memperbaiki semua keadaan buruk yang menimpanya. Dengan nilai-nilai yang tercantum dalam slogan-slogan filosofis itu, harusnya Asih dapat melanjutkan hidup dengan kebahagiaan yang dia usahakan bersama Mardi dalam ikatan pernikahan. Atau seharusnya Kosim tidak sakit, seharusnya Dadang tidak kena cacar. Dan, seharusnya ada orang, atau ada sesuatu yang dapat mencegah lelaki asing itu menghamili Asih.
"Neng, ulah diuk na lawang panto, pamali! Bisi hese meunang jodo,"[1] tiba-tiba saja terlintas kalimat itu dalam relung pikirannya, yang sering diucapkan ibunya, saat Asih remaja.
Asih sempat berpikir, mungkin saja kemalangan yang menimpa ada kaitan dengan kebiasaannya yang gemar duduk di depan pintu, bersandar pada tulang kusen pintu kayu lalu begitu menikmati hamparan sawah dan pepohonan di bukit seberang. Pada pagi hari, sering Asih begitu anteng menyaksikan warga desa dengan berbagai aktivitas di sawah. Sedangkan pada petang, Asih sering begitu mengasyiki hijau rimbun pepohonan dan burung-burung yang beterbangan di langit bertatah mega. Di beberapa desa, pamali[2] adalah ketentuan yang harus ditaati, tapi kepuasan batin membuat Asih mengabaikannya.
"Heh!" Asih tersenyum sinis.
Pamali begitu akrab melingkupi seluruh kehidupan masyarakat desa dari kandungan, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, hingga meninggal dunia. Kata itu seolah menjelma pamong yang melarang ketidaklayakan menurut pandangan adat kebiasaan suatu daerah. Tapi Asih mempertanyakan, apa pamali  relevan? Pertanyaan yang hingga kini belum Asih temukan jawaban, atau tak perlu jawaban, patuhi saja, tak usah membantah, sebab orangtua dan para leluhur pun mematuhi, hasilnya akan membuat terhindarkan dari akibat-akibat tertentu.
Pamali, apa karena itu aku gagal meraup kebahagiaan bersama Kosim, Dadang atau Mardi? Pamali, itukah yang mengacaukan semuanya?”


[1] “Neng, Jangan duduk di depan pintu, pamali. Nanti susah jodoh.”
[2] Tabu. Pantangan atau larangan dalam masyarakat Sunda

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates