Sabtu, 09 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-16

Adhy M. Nuur
RABU subuh, Asih memutuskan urung berangkat ke pasar untuk membantu Mak Acem. Sejak kemarin sore
Asih merasa begitu malas dan enggan beranjak kemana-mana, hanya ingin diam di rumah saja. Selain hari Jumat, ketidakhadiran Ujang Permana kecil tanpa pemberitahuan sebelumnya, akan dipertanyakan para pedagang pasar. Bahkan seorang pedagang yang hari itu giliran mengasuh siangnya menyusul ke rumah, dia mengira sang bocah absen karena sakitnya parah. Kehadiran Ujang Permana kecil dapat menghangatkan suasana, menjadi hiburan tersendiri bagi para pedagang dan orang-orang yang berbelanja.

Subuh itu, sesuatu menuntun kaki Asih untuk melangkah keluar rumah. Di luar, Asih begitu menikmati udara awal pagi, walau dingin menyelusup kulit. Sambil menatap langit, menatap kuning telur bulan yang masih menggantung di sudut langit, Asih menerawang mengingati peristiwa-peristiwa yang membelokkan hidupnya sembilan puluh lima derajat. Seketika ingatan itu melintas, mengenang tak berdayanya dia saat menolak pengaruh memabukkan itu. Pemberontakannya sia-sia, Asih tak mampu berkelit dari iblis yang merasuk dalam sosok lelaki itu, hingga kesuciannya terenggut. Kecewa menggunung di ubun-ubun, sesak di dada memancing tangis, namun masih dapat Asih tahan oleh ketegaran yang terus dipelihara.

Siluet perempuan tua yang menyembul di kuning telur bulan spontan mengingatkan Asih pada Ema. Selanjutnya, siluet-siluet bayangan wajah Abah, Dadang, Mardi, dan Kosim. Ketika wajah Warya yang menyiluet di ujung cakrawala timur langit subuh, ada rasa kehilangan dan sensasi kerinduan yang cepat menjalar ke lubuk hati. Asih berandai dapat menemukan lagi sosok seperti Warya, mungkin sedikit meringankan, hari-hari dijalani lebih indah, waktu dilalui dengan taburan cinta. Tapi ketika wajah Surya, lelaki yang mati-matian terus mengejarnya akan menyembul di cakrawala, Asih segera menghablurkannya hingga hilang. Entah, Asih enggan mengingatinya.

Nista, dosa, ujian, cobaan, kutukan, dan karma, kata-kata itu berhamburan dalam pikiran. Semakin bergejolak, Asih menghakimi kata-kata itu atas kesusahan yang selama ini telah menimpanya. Yang paling sukar diterima Asih, kenapa sang anak turut menanggung kesusahan. Namun sebentuk ketabahan mencegah Asih untuk memvonis Allah telah berlaku kejam pada dia dan anaknya. Asih terus berusaha menguapkan aneka rasa sendu dengan campuran ketabahan dan senyum ketegaran.

Dengan tertunduk Asih lirih berbisik di hati, "Bukan salah iblis itu. Bukan salah Warya, Mardi, Kosim ataupun Dadang. Juga bukan salah Ajengan Maman yang seolah membela warga hingga aku terusir. Itu juga bukan salahku.” Asih lalu menengadah. “Aku berusaha tidak menyalahkan apa dan siapapun lagi," lirihnya, lagi, dalam tingkat ketegaran yang hampir sempurna.

Sejenak, sambil mengumpulkan lebih banyak serpihan ketegaran di hati, Asih masih terdiam kaku. Tatapan mata serasa kosong, hanya telinga terbuka menerima simfoni jangkrik yang masih mengalun. Hidung menangkap aroma yang dihantarkan angin subuh. Tapi masih saja sesuatu yang bernama kegundahan, melesat-lesat tak tentu arah dan mampir di hati Asih.

"Apa memang harus diganti lagi?" sejumput tanya tercetus di hati manakala terlintas wajah bocah kecilnya.

“Apa karena nama tidak cocok? Karena nama, sesederhana itukah? Mungkin saja, mungkin,” pikir Asih.

Asih mencoba berpikir sederhana. Selama ini begitu kacau. Begitu sulit menjangkau jawaban mengapa semua kesusahan itu harus menimpa, semestinya tidak. Padahal, dia merasa kehidupannya selama ini sudah sesuai dengan prinsip kebaikan. Tak sesiapapun yang Asih sakiti hatinya dengan sengaja.

Semakin Asih menatap semburat cahaya bulan, semakin terasa ada yang berbeda, terasa lebih akrab dan mempesona. Lebih lekat lagi menatap bulan, Asih merasa seakan bulan berbicara padanya tentang sebuah keindahan, ketabahan, dan tentang sebuah harapan. Cahaya, bulan, kata-kata itu menyelisik di telinga. “Ada apa dengan ‘bulan’?”

"Apa mengganti lagi nama bisa mengobati sakit anakku, supaya tak kambuh lagi?" tanyanya lagi di hati.

Kata "bulan" menyelinap ke dalam ruang pergumulan batin. Seolah bulan memperkenalkan diri pada Asih, mengajak bercanda ria untuk lebih intim. Seolah bulan berbicara tentang kebanggaan sebagai elemen penerang malam, yang sering diidentikkan dengan keindahan dan nuansa romantis. Seolah bulan berbicara tentang bulan, purnama, cahaya, dan malam.

"Nah, sepertinya harus diganti lagi!" Asih sedikit terperanjat, seolah menemukan ilham dan dia mengangguk-angguk sendiri.

"Ah, kurang cocok diberi nama "Bulan"? Dia bukan anak perempuan."

Asih berpikir lagi, menimbang, mengingat-ingat, memilih kata yang cocok untuk nama anaknya, tapi yang berhubungan dengan bulan.

“Bagaimana kalau “cahaya”? Ya, nama itu netral. Cocok untuk anak laki-laki atau perempuan.” Asih menghela nafas. “Tapi, nama itu terlalu netral. Tak jelas berhubungan dengan bulan atau mata hari. Bisa saja cahaya bulan, cahaya mata hari, atau malah cahaya lilin.” Asih kembali tercenung lebih dalam, mencari-cari beberapa kata yang berhubungan dengan bulan.

Sontak Asih mengepalkan kedua tangan, hampir saja melompat girang,"Ya, Komar, atau Komarudin. Sepertinya cocok."

Nama itu berhubungan dengan bulan, dan memang Komar diambil dari diksi Bahasa Arab yang berarti bulan. Nama yang menyimpan harapan, kelak nasib si anak akan bersinar seperti sinar bulan, dan dapat memberi terang bagi kehidupan mereka.

Keesokan siang, Mak Acem menyelenggarakan prosesi bubur merah bubur putih lagi, sekaligus mengumumkan penggantian nama cucu angkatnya. Para tetangga dan orang-orang di pasar menyambut baik. Semua berharap dengan bergantinya nama dari Ujang Permana Kusuma menjadi Komarudin, penyakit sang bocah bisa sembuh, setidaknya bisa lebih baik.

Anak Asih lalu lebih dikenal dengan panggilan Koma. Oleh sebab sang ibu berlidah "cedal" ketika memanggil anaknya dengan panggilan "Komal", itu dinilai lebih terdengar seperti kata "kumal" yang berarti sesuatu kurang bersih dan lusuh. Asih lebih enak memanggilnya "Koma". Hingga akhirnya tetangga dan orang-orang di pasar memanggil "Koma". Tak ada embel-embel Ujang, Asep, Aang, Aceng, atau embel-embel nama tradisional lain yang disematkan di depan namanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates