Minggu, 17 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-17

Adhy M. Nuur

JAM tiga pagi, Asih sudah berada di pasar untuk menyiapkan lapaknya. Koma kecil masih di rumah dalam asuhan Mak Acem. Pasar masih sepi, belum banyak pedagang yang bersiap memulai aktivitas niaganya. Di blok sayur, hanya ada Asih dan beberapa pedagang yang lapaknya berjauhan.

Asih yang tengah membersihkan dan memilah kubis terkejut kedatangan lelaki berperawakan pendek gempal, berkumis tebal dengan cambang tipis berderet tak beraturan. Mirja, sepagi itu sudah hadir di pasar. Kepala keamanan pasar ini terkenal malas, biasanya jam sembilan pagi baru datang.

"Dadasar[1] Neng?" sapa Mirja.

"Eh, Pak Mirja tumben sudah datang." Asih senyum kecil, menatap lelaki itu sejenak, lalu kembali mengalihkan perhatian pada sayuran yang tengah dipilahnya.

"Jangan panggil Pak dong, kan masih muda. Panggil saja Akang." Mirja berjongkok agar sejajar lebih dekat dengan Asih. Dia merogoh saku depan dan mengeluarkan rokok kretek. "Mak Acem belum datang?" tanya Mirja di sela merogoh saku jaket mencari-cari korek api.

"Masih di rumah Pak, eh Kang," jawab Asih.

"Bagaimana si Ujang Permana, masih sakit?" Mirja mengeluarkan korek api kayu.

"Sudah diganti, namanya Koma."

"Oh ya, aku baru tahu," kata Mirja sambil memantikkan sebatang korek api yang tak menyala dan patah. Kedua kalinya menyala dan disulutkan ke rokok yang menggantung di bibir pucat menghitam lelaki itu.

Satu tarikan nafas, asap mengepul dari mulut Mirja. Asih terbatuk, tak biasa menghirup asap rokok yang berloncatan ke berbagai arah disapu angin. Melihat Asih batuk-batuk, lelaki itu menjauhkan rokoknya dan mengepulkan ke arah lain.

"Apa bapak si Koma sudah datang menjenguk?" selidik Mirja.

Asih sedikit gugup. Lebih-lebih, terasa menyesakkan hati manakala ditanyakan bapak kandung Koma. Asih mengarang cerita jika dia telah mengabarkan kelahiran Koma, dan dua bulan lagi bapaknya akan datang menjenguk.

"Memang bapaknya di mana?"

"Sedang bekerja di perkebunan sawit. Di Kalimantan," karang Asih.

"Ooh," singkat Mirja.

Mata Mirja tajam menatapi Asih, menjelajah dari atas ke bawah. Mirja berdiri, melirik ke sekitar pasar, menengok ke berbagai arah seolah mencari dan memastikan sesuatu lalu kembali berjongkok di dekat Asih.

"Sudah berapa lama suamimu tak pulang?"

"Katanya dikontrak dua tahun. Sekarang sudah setahun lebih. Empat bulan sekali rutin menengok. Sudah lima bulan belum pulang," Asih kembali mengarang cerita. Jika ditanya ayah bayinya, mendadak Asih pandai mengarang cerita. Selalu saja ada jawaban yang membuat orang-orang tak lagi bertanya banyak dan lebih mendetail.

"Sudah lama juga ya!" Mirja semakin mendekat, hanya beberapa jengkal jarak dengan Asih.

"Apa kamu tak kesepian?" Tangan Mirja menyentuh pundak. Asih terkesiap, menepis dengan halus. Lelaki itu meludahkan rokok yang tinggal separuh menggantung di tengah bibirnya.

Mirja menggapai punggung, merayap hingga pinggang Asih. Semakin risih dengan perlakuan Mirja, Asih menepis lagi sambil memalingkan wajah dari pandangan buas lelaki itu. Seolah singa yang hendak menerkam mangsa buruannya, semakin ditepis, Mirja semakin kuat saja. Asih segera disergap ketakutan peristiwa pelecehan itu terjadi untuk kedua kalinya.

Asih mencoba bangkit menghindar, tapi Mirja lebih gesit meraih tangan Asih. Setan sudah merasuk dan bersekutu, membuat lelaki itu makin garang. Sekuat tenaga yang dimiliki, Asih berusaha terus berkelit, tapi tetap kalah kuat. Terlalu tak sepadan untuk mengimbangi tenaga seorang lelaki yang tengah dibuai nafsu bejat.

Mirja kian ganas mencengkram dari belakang. Di tengah kekalutan Asih meraih sebuah mentimun besar dan memukulkannya, tapi tak berarti banyak untuk mencegah perlakuan Mirja. Lelaki itu berusaha menciumi. Asih mengelak dan menjerit. Cekatan tangan kekar Mirja membekap calon korbannya agar tak bersuara.

Pergumulan tak seimbang yang menyebabkan tenaga Asih banyak terkuras. Tak peduli apa pun, yang penting saat itu bagi Mirja, nafsu bejatnya dapat terlampiaskan. Sudah cukup lama lelaki itu mengincar Asih.

Mirja semakin leluasa merebahkan paksa tubuh lemah Asih di atas lapak kayu. Hampir saja peristiwa kotor itu terjadi. Tapi Asih sangat tak menghendaki itu. Asih tak mau menyerah dan kembali merontaronta. Insting pertahanan muncul, Asih refleks menggigit tangan Mirja hingga bekapannya terlepas. Mirja mengaduh sakit. Kesempatan itu tak disia-siakan Asih untuk menjerit meminta tolong sejadi-jadinya. Mirja pun tak kalah gigih membungkam dengan kasar. Asih terpelanting di atas lapak, lunglai tak berdaya. Darah bergelora, Mirja siap beraksi mengakhiri penantian panjang untuk menikmati kemolekan tubuh Asih. ***



PEKIKAN Asih mengundang orang-orang di sekitar pasar, terutama beberapa penarik becak yang mangkal di depan pasar. Hampir terjadi perkelahian di antara orang-orang yang menolong Asih dengan Mirja. Sebagian orang yang hendak menolong Asih gentar setelah tahu sosok yang dihadapi adalah kepala keamanan pasar, mantan preman kawakan di daerah itu. Hanya sedikit orang yang berani melawan. Sudah lama, rata-rata pedagang di pasar geram dengan perbuatan sewenang-wenang Mirja.

"Ada apa Asih?" cari tahu seorang perempuan pedagang buah.

"Pak Mirja mencoba memperkosa saya!" Asih terisak-isak lunglai. Rambut acak-acakan. Sebagian baju koyak. Kelelahan luar biasa dirasakan Asih, setelah berjuang melepaskan diri dari cengkraman Mirja.

"Aku tidak memperkosa. Aku…"

"Bohong!" potong Asih.

"Bukankah kita melakukannya atas dasar suka sama suka? Ah, kau mengingkarinya, dasar wanita murahan!" kilah Mirja. "Kalau kau mengatakan yang sebenarnya, awas, kau akan menanggung akibatnya. Apa kau mau anakmu yang lucu itu celaka?" ancamnya setengah berbisik pada Asih. Tentu saja Asih tak ingin anak yang sedang tumbuh menjadi bocah lucu disukai banyak orang itu dicelakai Mirja.

"Sudah, kita laporkan saja ke polisi," usul seorang perempuan pedagang tempe.

"Ya betul, ayo kita laporkan!" seorang penarik becak mengamini.

"Ayo, lapor sana! Percuma kalian lapor. Aku kenal kepala polisi wilayah ini, dia tak akan berani apa-apa!" gertak Mirja. Sebagian orang di sana, jangankan memukuli Mirja, karena mereka tahu perkelahian adalah makanan keseharian Mirja dulu, mereka pun batal melapor.

"Lagi pula kita melakukannya suka sama suka, dan dia yang menggodaku lebih dulu. Coba kalian pikir, kalau Si Asih tidak menggoda, mana mungkin aku berani melakukannya. Lelaki mana yang tidak tergoda dengan kecantikannya," cukup tenang Mirja mengelak. Dia masih bisa santai seolah tak bersalah sedikit pun dan menyalakan sebatang rokok lagi. Mereka terdiam, tak ada yang berani mulai bicara.

"Heh, kalian jangan munafik. Apa kalian bisa tahan kalau digoda si Asih?" Mirja semakin pintar berkilah. "Apa aku atau dia yang memulainya. Kalian tanya sendiri pada si Asih!"

"Apa itu benar Asih? Apa benar kau yang menggodanya?" selidik seorang perempuan pedagang tempe.

Mirja memberi isyarat ancaman pada Asih, jika bicara sesungguhnya, dia tidak main-main. Asih menatap mata buas Mirja. Terlintas bayangan wajah Koma kecil dan sesuatu yang tak diharapkan akan menimpanya. Ibu mana yang rela membiarkan seseorang mencelakai buah hatinya. Asih hanya bisa diam.

"Tuh kan, dia diam saja tak menjawab apa-apa. Berarti benar kan dia yang menggoda?" cetus Mirja.

"Asih, benar kau yang menggoda?" tanya lagi perempuan pedagang tempe itu. Kedua kalinya Asih tak menjawab.

"Asih, kenapa kau diam saja? Ayo jawab! Benar kau yang mulai menggoda dia?" perempuan itu semakin tak sabar mengungkap kenyataan. Tapi Asih tetap bisu, tak berkutik di bawah ancaman Mirja.

"Ayo jawab Asih! Kalau kau diam seperti itu, tandanya benar memang kau yang memulainya!" Ditunggu beberapa saat, Asih tak juga buka suara.

"Benar kan, dia yang menggoda," celetuk Mirja.

"Oh, jadi benar si Asih yang menggoda. Sungguh tak disangka," ujar seorang perempuan pedagang buah.

"Nah, jelas ketahuan kan kalau dia itu wanita penggoda. Aku saja sampai tergoda, apa lagi kalian." Mirja menunjuk ke beberapa pria. "Kalian yang mempunyai suami, apa tidak takut kalau suami-suami kalian tergoda juga?" Mirja beralih ke beberapa perempuan. Mirja membela diri dengan memutarbalikkan fakta untuk mempengaruhi orang-orang.

"Pantas saja, dasar wanita penggoda! Suamiku sudah kau goda juga rupanya, sehingga dia suka memberikan beberapa buah dagangannya dengan alasan untuk si Koma," tambah seorang perempuan pedagang buah.

Keadaan berbalik, bukan membela Asih, mereka yang tadinya hendak menolong karena simpati, sekejap berubah antipati.

"Ya, suamiku juga mungkin sudah terjerat rayuannya. Akhir-akhir ini sikapnya berubah. Malah katanya ada yang melihat suamiku mendekati si Asih, berlagak membantunya. Dasar kau, wanita penggoda!" timpal seorang perempuan pedagang daging.

"Kita usir saja dia! Kalau tidak, suami-suami kita bisa berpaling pada si Asih,” usul seorang perempuan pedagang buah. Sampai di sini, Mirja merasa aman. Selangkah lagi dia selamat, dan menang.

“Tidak bisa begitu bu. Jangan main hakim sendiri, kita bicarakan dengan baik-baik,” bela seorang penarik becak.

“Ah, kamu membela si Asih karena kamu juga tergoda ya. Dasar lelaki!” tukas seorang perempuan pedagang tempe.

“Bukan begitu, tapi…”

“Halah, mengaku saja. Kamu juga ada main sama si Asih ya?” potong perempuan pedagang buah. Perdebatan demi perdebatan semakin sengit, hampir saja mencetuskan perang.

“Sudah-sudah, kalian jangan ribut! Memperkeruh suasana saja,” Mirja tampil meredakan suasana. “Sudah! Ini masalah pribadi antara aku dan si Asih. Hayo kalian bubar saja, tak usah ikut campur!”

“Tapi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini….”

“Ayo bubar…!” hardik Mirja. Orang-orang terperanjat ketakutan, si singa itu nampak akan mengganas. Mereka membubarkan diri dengan ketus. Dengan senyum kecut Mirja menatap Asih dan berlalu begitu saja. ***



MEMANG tidak ada penekanan pengusiran pada Asih. Tapi, Asih pikir untuk menghindari keburukan pada diri dan anaknya, dia memilih pergi. Bukan ketakutan lantaran ibu-ibu yang balik menuduhnya sebagai wanita penggoda yang takut suaminya berpaling pada Asih, tapi lebih karena ketakutan Mirja akan berusaha memperkosa Asih di lain waktu, jika ada kesempatan. Secara tak langsung, Asih terusir untuk kedua kalinya. Dengan terpaksa pagi harinya Asih meninggalkan rumah, pasar dan Mak Acem yang telah dianggap ibu sendiri.

Mak Acem tak rela Asih pergi. Selama ini kehidupannya terasa lebih terang semenjak kehadiran Asih. Jika Asih pergi, maka kehidupan remang kembali, sudah tentu kesepian akan mengisi hari-harinya lagi. Yang lebih berat lagi bagi perempuan tua itu, tak akan ada lagi tangis, canda, gelak tawa Koma kecil, yang begitu menjadi penghibur hari tuanya. "Pergilah ke alamat ini! Tinggallah di sana! Bawa surat ini. Jaga diri dan anakmu baik-baik," pesan terakhir Mak Acem sambil memberikan secarik kertas berisi beberapa paragraf tulisan. Tak ketinggalan beberapa kecupan untuk Koma kecil.




[1] Persiapan memulai aktivitas niaga.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates