Sabtu, 02 Juli 2016

Galau Kisanak

Adhy M. Nuur


Bagi lelaki tua itu, langit sore, terasa sangat biasa. Saking biasanya hingga terasa sedikit aneh. Tidak istimewa. Biasa seperti biasanya. Sangat biasa daripada biasanya. Ah, entah padanan kata apalagi untuk mendeskripsikannya. Sialnya, kelewat panjang, nanti malah menjadi kontradiktif kata-kata. Yang jelas, langit senja saat itu tidak berlembayung tak seperti beberapa hari, bahkan beberapa minggu lalu. Langit hanya digumuli beberapa kumpulan awan seputih kapas. Tidak mendung, seperti pertanda akan hujan. Lima menit kemudian, langit sore terasa biasa tetapi tidak biasa. Ah, absurd.

Lelaki tua itu melemparkan pandangan, bersamaan dengan raung panjang klakson. Sedikit terperanjat. Lintasan suara, seperti hampir merangsek ke telinga, hendak menggebuk gendang telinga sekuat-kuatnya. Beruntung tak jadi, sebab berbarengan dengan murka hati, umpatan yang urung terlontar. Selanjutnya mengusap-usap dada. Gemuruh roda besi beradu besi, perlahan menyenyap.

Sejenak dia hentikan gerakan tangannya mengupasi singkong. Berganti menyibaki beberapa lalat yang mengerumuni cangkang singkong lebam. Sekali sibak, lalat berhamburan. Sekian puluh detik, berkerumun lagi. Sempat pula itu lalat-lalat dia anggap teman akrab. Lucunya, terkadang serasa perlakuan sifat manusia terhadap manusia lainnya. Di satu kesempatan, kehadirannya dibutuhkan untuk menemani, tapi di satu kesempatan lain tak dikehendaki. Tapi dimanapun berada, lalat tetaplah lalat, dengan sifat-sifat kelalatannya. Mau bagaimana lagi, ketentuanNya menghendaki begitu.


Lelaki tua itu menarik nafas panjang. "...... eee... ora ono gunane..." Alunan dangdut koplo dari kaset DVD bajakan tetangga mengiringi helaan napas. Volume dinaikan beberapa desibel. Biasa saja, suara-suara bersumber dari tetangga itu tidak dia anggap sebagai tendensi mencemooh nasibnya maupun selingan hiburan. Netral saja. Jikapun mau membalas, distorsi siaran AM dari tape dua band-nya cukup bisa diandalkan untuk serangan balik, atau sekedar pancingan intimidasi. Dia anggap suara dari tetangga itu tidak lebih kejam dari pada desisan si ular besi yang saban tengah malam beberapa kali lalu-lalang.

Lelaki tua itu namanya Sanaki bin Madrobi. Tapi orang-orang di pasar, dan mereka yang mengenali sudah akrab memanggilnya Ki Sanak. Dahsyatnya serial kolosal, juga legenda kerajaan-kerajaan tanah air nempel di sebagian orang-orang. Macam kepingin merepresentasikan kerinduan masa silam pada tatanan sosial masa kini yang katanya sudah beranjak ke masa modern, tapi buram bagi secuil orang macam Aki Sanaki bin Madrobi. Bisa-bisa gembel perempuan tua, kumal, dan gimbal pun bakal dipanggilnya Mak Lampir.

Tiga keranjang bambu singkong sudah terkupas semua. Bau singkong, sudah sebegitu akrab, dan sangat akrab. Tetapi yang bersekutu menjadi aroma tubuhnya bukanlah singkong, melainkan percampuran antara bau ragi dan sedikit harum masam fermentasi. Itu aroma khas tubuhnya selama kurun 6 hari. Hanya hari Jum'at yang tak terlalu menyengat. Sebab di hari itu, dia selalu mandi lebih banyak dari hari biasanya.

Dua dasawarsa lebih Ki Sanak hijrah dari Swiss Pan Java ke Parijs Van Java. Dia tinggal di rumah kontrakan kecil, di sebuah kawasan pemukiman padat, berdesak-desakan, pinggir rel, dari arah Gede Bage hanya beberapa puluh meter sebelum Stasiun Kiaracondong. Bertaruh nasib di kota ini tidak lebih keras daripada di Ibukota. Parijs van Java masih sangat bersahabat, hampir sama seperti pertama kali dia datang dan memutuskan menghabiskan masa tua di kota ini. Hanya saja akselerasinya yang dia rasakan begitu trengginas, sangat bergegas, seolah sosok Sangkuriang di sepertiga malam ketakutan fajar segera menyingsing.

Ajakan karib dan kerabatnya untuk merantau ke Jakarta tak dia hiraukan. Meski diimingi kemegahan metropolitan dan nilai rupiah yang lebih banyak dibanding Bandung, Ki Sanak malah memutuskan berlabuh penuh di kota kembang. Sama sekali tak tergoda prestisius pusat perantauan orang-orang dari segala penjuru negeri ini. Yang dia silaukan, hanyalah Gedung Sate dan Concordia masa sekarang. Bukan pula lantaran jarak. Bahkan Ki Sanak pernah merantau ke pulau seberang, setahun lamanya.

Magrib segera menghampiri, adzan dari corong-corong pengeras masjid bersahutan. Ki Sanak beranjak. Dia tinggalkan singkong-singkong beserta separuh proses produksi yang menaungi mata pencahariannya. Dia bergegas menyongsong kenikmatan spiritual di shaf terdepan. Begitulah sehari-hari. Besok sore, adegan kupas-kupas singkong dan sibak-sibak lalat akan terjadi lagi. ***

"Aki, Nini pulang dulu nya. Sok aja Aki mah tenang di sini. Nini mah pingin istirahat dulu di desa," ucapan sang istri terngiang. Ki Sanak tak menduga, itu menjadi kalimat pamitan yang terakhir. Belasan tahun itu terlewati.

"Pan abah sudah tua. Mending di sini saja, ngumpul lagi sama keluarga. Tak usah khawatir, abah takkan kekurangan..." itu kata anak lelaki kedua Ki Sanak, ikut mampir dalam ruang otak saat mengumbar lamunan.

 "Daripada akang ngontrak, sendirian pula. Sudah saja akang ikut tinggal di rumah si Neng. Pan luas rumahnya, lagi pula suami si Neng sangat terbuka buat akang..." giliran ucapan adik perempuan Ki Sanak. "Mending bantu garap sawah saya Kang...." timpal adik ipar Ki Sanak.

Selanjutnya kata seorang kerabat, "Mang, sesepuh pesantren kita tinggal Apa Haji Somad, Mang Ajengan Dayat, dan Kang Purwa. Kasihan mereka Mang, ngurus pesantren sering kewalahan. Penerus-penerus, kebanyakan, malah pergi merantau. Sedikit yang bisa diandalkan..."

Ki Sanak beralih ke atas langit malam. Tertegun memandangi bulan separuh. Gestur tubuh pada umumnya seperti di adegan film lawas, yang merepresentasikan perasaan bimbang, kebanyakan penonton sudah dapat menerka apa yang dirasa si tokoh pemain. Ki Sanak Sesekali menghela nafas panjang. Sudah tentu kata-kata yang terngiang itu menjadikan perasaan tak tentu makin berkecamuk dalam batin. ***

Parijs van Java subuh sekarang tak sebeku beberapa dasawarsa lalu. Rasa senyapnya pun mulai berkurang. Aroma juga mulai berubah. Di beberapa tempat aroma karbon sudah bersenyawa dengan aroma rumput, makin lama makin kentara. Cerobong-cerobong berjamuran, berlomba-lomba menjangkau langit. Di separuh pelosok kota ini, dominasi suara jangkrik lepas tengah malam, kalah oleh deru-deru boiler dan generator-generator.

Pertumbuhan kota identik takkan lepas dari industrialisasi, begitu kata akademis peneliti sosial perkotaan. Ah, Ki Sanak tahu apa? bisa apa? mungkin tak terganggu dengan wacana semacam itu. Yang dia bisa, hanya ikut merasa proses diferensiasi dan pergeseran-pergeseran. Yang dia kenali hanyalah peuyeum alias tape singkong, rutinitas mondar-mandir ke pasar menyusuri bantaran rel, dan riuh pasar Kiaracondong, itu saja. Selebihnya, Ki Sanak tak menggubris sisi kritis sebagai seorang warga, baik sebagai pribumi ataupun pendatang. Hanya jiwa kebersahajaan desa yang melestari di rimba kota.

Dua dasawarsa lebih, Ki Sanak menikmati. Peperangan nasib di kota ini masih sangat luwes, boleh dikata masih bijak. Tapi itu yang dia rasakan, seputar daerah Kiaracondong saja. Istirahat, tidur, mempersiapkan dagangan, jualan, istirahat, jum'at jum'atan, kalau ada tahlilan atau selametan bila tak ada halngan ya ikutan, kalau tidak ada kegiatan bersama warga tetangga ya diam di rumah saja, begitulah alur keseharian Ki Sanak. Rutinitas berulang, tanpa petualangan lain, sudah cukup menyederhanakan pola pikir Ki Sanak.

Bagi Ki Sanak, tiada tempat yang istimewa selain Pasar Kiaracondong. Segala kebahagiaan, dan jati diri dunianya pun di sana. Bukan berarti lupa pada akar asal dia, tentu saja itu desa, kampung halaman. Lingkungan pasar, orang-orangnya, suasananya, suaranya, aromanya dan hal-hal lainnya yang menjadi satu padu pasar, yang bila diekspolorasi penulis cerita akan menjadi belasan alinea seting tempat, cerita pelengkap yang memikat. Ki Sanak memposisikan diri sebagai bagian kecil yang sangat penting dari satu kesatuan, pasar. Namun, akhir-akhir ini keresahan kerap singgah di hati Ki Sanak. Makin lama, jadi ketakutan. Ketakutan pada alur sejarah yang seringkali terdapat fragmen-fragmen meniadakan sesuatu, atau kalimat "...kini hanya tinggal kenangan".

Semakin menyadari rasa ketakutan yang sudah kadung tersemai, dibantu pula oleh kabar angin, perlahan-lahan semakin ia menyadari eksistensinya sebagai manusia. Di sekolah rakyat dulu, Ki Sanak mungkin tak belajar, atau sudah lupa, tentang seleksi alam, perubahan-perubahan, atau apapun teori tentang dinamika kehidupan. Yang dia sadari, akan ada perubahan di segala sesuatu. Sama seperti fisiknya yang berubah. Uban, kulit mengeriput, juga postur yang membengkok bungkuk. Dia juga menyadari, pasar akan berubah. Meminjam istilah kontemporer, lebih tepatnya transformatif. Ya, pasar juga suatu saat akan bertransformasi. Berubah bentuk, perbaikan, atau malah beralih fungsi.

Yang paling ditakutkan lelaki tua adalah pasar segera berubah. Seiring dengan keterbukaan cara pandang Ki Sanak, opini, argument dan perkiraan-perkiraan umumnya orang-orang di pasar mempengaruhi Ki Sanak, adalah kemungkinan terburuk yang mengancam eksistensi nasib mereka. Ialah, pasar berubah. Pasar dimodifikasi dari tradisional ke modern. Pasar bertransformasi jadi mall. Lalu opini negasi mereka serentak mengira kalau-kalau pasar berubah, suasana dan sejarah akan berubah pula. Sewa tempat jadi mahal, nuansa kekeluargaan bergeser, dan yang mengerikan adalah "kapitalisasi". Tentu saja menurut mereka yang akademis, itu baru hipotesa dan akan sangat mengasyikkan untuk diperdebatkan. ***

Kemungkinan perubahan sejarah menjadi sosok teror mencekam bagi Ki Sanak. "Pasar berubah! Pasar berubah! Pasar berubah!" intimidasi yang bergemuruh di bilik dada Ki Sanak.

"Oh, peuyeum. Peuyeum. Peuyum! Peuyeum.....!"

 "Tidak...! Jangan sekarang-sekarang! Tunggu, jangan cepat-cepat! Setidaknya setelah aku mati, barulah boleh berubah....!"

"Oh, peuyeum, peuyeuum! Pasaar....!!!"

Ki Sanak terperanjat, lamunan memudar cepat. Nafas terengah hebat di sela sesak menyebar di dada. Jantung bertalu kencang seperti berlomba dengan gebukan beduk masjid menjelang panggilan salat. Pandangan di sekitar perlahan meredup, lalu, sekali kilatan cahaya memercik, penglihatan makin meredup, meredup, meredup, sepersekian detik, gelap dan pekat. Suara-sara redam, volume mengecil terus, mengecil, makin sayup seperti berbisik. Suara, gemuruh roda kereta, sirine palang pintu perlintasan kereta, riuh pasar, semuanya jadi sayup, dan hening.***

Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates