Bagi lelaki tua itu, langit sore, terasa sangat biasa.
Saking biasanya hingga terasa sedikit aneh. Tidak istimewa. Biasa seperti
biasanya. Sangat biasa daripada biasanya. Ah, entah padanan kata apalagi untuk
mendeskripsikannya. Sialnya, kelewat panjang, nanti malah menjadi kontradiktif
kata-kata. Yang jelas, langit senja saat itu tidak berlembayung tak seperti
beberapa hari, bahkan beberapa minggu lalu. Langit hanya digumuli beberapa
kumpulan awan seputih kapas. Tidak mendung, seperti pertanda akan hujan. Lima
menit kemudian, langit sore terasa biasa tetapi tidak biasa. Ah, absurd.
Lelaki tua itu melemparkan pandangan, bersamaan dengan raung panjang klakson. Sedikit terperanjat. Lintasan suara, seperti hampir merangsek ke telinga, hendak menggebuk gendang telinga sekuat-kuatnya. Beruntung tak jadi, sebab berbarengan dengan murka hati, umpatan yang urung terlontar. Selanjutnya mengusap-usap dada. Gemuruh roda besi beradu besi, perlahan menyenyap.
Sejenak dia hentikan gerakan tangannya mengupasi singkong. Berganti menyibaki beberapa lalat yang mengerumuni cangkang singkong lebam. Sekali sibak, lalat berhamburan. Sekian puluh detik, berkerumun lagi. Sempat pula itu lalat-lalat dia anggap teman akrab. Lucunya, terkadang serasa perlakuan sifat manusia terhadap manusia lainnya. Di satu kesempatan, kehadirannya dibutuhkan untuk menemani, tapi di satu kesempatan lain tak dikehendaki. Tapi dimanapun berada, lalat tetaplah lalat, dengan sifat-sifat kelalatannya. Mau bagaimana lagi, ketentuanNya menghendaki begitu.
Lelaki tua itu melemparkan pandangan, bersamaan dengan raung panjang klakson. Sedikit terperanjat. Lintasan suara, seperti hampir merangsek ke telinga, hendak menggebuk gendang telinga sekuat-kuatnya. Beruntung tak jadi, sebab berbarengan dengan murka hati, umpatan yang urung terlontar. Selanjutnya mengusap-usap dada. Gemuruh roda besi beradu besi, perlahan menyenyap.
Sejenak dia hentikan gerakan tangannya mengupasi singkong. Berganti menyibaki beberapa lalat yang mengerumuni cangkang singkong lebam. Sekali sibak, lalat berhamburan. Sekian puluh detik, berkerumun lagi. Sempat pula itu lalat-lalat dia anggap teman akrab. Lucunya, terkadang serasa perlakuan sifat manusia terhadap manusia lainnya. Di satu kesempatan, kehadirannya dibutuhkan untuk menemani, tapi di satu kesempatan lain tak dikehendaki. Tapi dimanapun berada, lalat tetaplah lalat, dengan sifat-sifat kelalatannya. Mau bagaimana lagi, ketentuanNya menghendaki begitu.
Lelaki tua itu menarik nafas panjang. "......
eee... ora ono gunane..." Alunan dangdut koplo dari kaset DVD bajakan
tetangga mengiringi helaan napas. Volume dinaikan beberapa desibel. Biasa saja,
suara-suara bersumber dari tetangga itu tidak dia anggap sebagai tendensi
mencemooh nasibnya maupun selingan hiburan. Netral saja. Jikapun mau membalas,
distorsi siaran AM dari tape dua band-nya cukup bisa diandalkan untuk serangan
balik, atau sekedar pancingan intimidasi. Dia anggap suara dari tetangga itu
tidak lebih kejam dari pada desisan si ular besi yang saban tengah malam
beberapa kali lalu-lalang.
Lelaki tua itu namanya Sanaki bin Madrobi. Tapi orang-orang di pasar, dan mereka yang mengenali sudah akrab memanggilnya Ki Sanak. Dahsyatnya serial kolosal, juga legenda kerajaan-kerajaan tanah air nempel di sebagian orang-orang. Macam kepingin merepresentasikan kerinduan masa silam pada tatanan sosial masa kini yang katanya sudah beranjak ke masa modern, tapi buram bagi secuil orang macam Aki Sanaki bin Madrobi. Bisa-bisa gembel perempuan tua, kumal, dan gimbal pun bakal dipanggilnya Mak Lampir.
Lelaki tua itu namanya Sanaki bin Madrobi. Tapi orang-orang di pasar, dan mereka yang mengenali sudah akrab memanggilnya Ki Sanak. Dahsyatnya serial kolosal, juga legenda kerajaan-kerajaan tanah air nempel di sebagian orang-orang. Macam kepingin merepresentasikan kerinduan masa silam pada tatanan sosial masa kini yang katanya sudah beranjak ke masa modern, tapi buram bagi secuil orang macam Aki Sanaki bin Madrobi. Bisa-bisa gembel perempuan tua, kumal, dan gimbal pun bakal dipanggilnya Mak Lampir.
Tiga keranjang bambu singkong sudah terkupas semua.
Bau singkong, sudah sebegitu akrab, dan sangat akrab. Tetapi yang bersekutu
menjadi aroma tubuhnya bukanlah singkong, melainkan percampuran antara bau ragi
dan sedikit harum masam fermentasi. Itu aroma khas tubuhnya selama kurun 6
hari. Hanya hari Jum'at yang tak terlalu menyengat. Sebab di hari itu, dia
selalu mandi lebih banyak dari hari biasanya.
Dua dasawarsa lebih Ki Sanak hijrah dari Swiss Pan Java ke Parijs Van Java. Dia tinggal di rumah kontrakan kecil, di sebuah kawasan pemukiman padat, berdesak-desakan, pinggir rel, dari arah Gede Bage hanya beberapa puluh meter sebelum Stasiun Kiaracondong. Bertaruh nasib di kota ini tidak lebih keras daripada di Ibukota. Parijs van Java masih sangat bersahabat, hampir sama seperti pertama kali dia datang dan memutuskan menghabiskan masa tua di kota ini. Hanya saja akselerasinya yang dia rasakan begitu trengginas, sangat bergegas, seolah sosok Sangkuriang di sepertiga malam ketakutan fajar segera menyingsing.
Dua dasawarsa lebih Ki Sanak hijrah dari Swiss Pan Java ke Parijs Van Java. Dia tinggal di rumah kontrakan kecil, di sebuah kawasan pemukiman padat, berdesak-desakan, pinggir rel, dari arah Gede Bage hanya beberapa puluh meter sebelum Stasiun Kiaracondong. Bertaruh nasib di kota ini tidak lebih keras daripada di Ibukota. Parijs van Java masih sangat bersahabat, hampir sama seperti pertama kali dia datang dan memutuskan menghabiskan masa tua di kota ini. Hanya saja akselerasinya yang dia rasakan begitu trengginas, sangat bergegas, seolah sosok Sangkuriang di sepertiga malam ketakutan fajar segera menyingsing.
Ajakan karib dan kerabatnya untuk merantau ke Jakarta
tak dia hiraukan. Meski diimingi kemegahan metropolitan dan nilai rupiah yang
lebih banyak dibanding Bandung, Ki Sanak malah memutuskan berlabuh penuh di
kota kembang. Sama sekali tak tergoda prestisius pusat perantauan orang-orang
dari segala penjuru negeri ini. Yang dia silaukan, hanyalah Gedung Sate dan
Concordia masa sekarang. Bukan pula lantaran jarak. Bahkan Ki Sanak pernah
merantau ke pulau seberang, setahun lamanya.
Magrib segera menghampiri, adzan dari corong-corong
pengeras masjid bersahutan. Ki Sanak beranjak. Dia tinggalkan singkong-singkong
beserta separuh proses produksi yang menaungi mata pencahariannya. Dia bergegas
menyongsong kenikmatan spiritual di shaf terdepan. Begitulah sehari-hari. Besok
sore, adegan kupas-kupas singkong dan sibak-sibak lalat akan terjadi lagi. ***
"Aki, Nini pulang dulu nya. Sok aja Aki mah tenang
di sini. Nini mah pingin istirahat dulu di desa," ucapan sang istri
terngiang. Ki Sanak tak menduga, itu menjadi kalimat pamitan yang terakhir.
Belasan tahun itu terlewati.
"Pan abah sudah tua. Mending di sini saja,
ngumpul lagi sama keluarga. Tak usah khawatir, abah takkan kekurangan..."
itu kata anak lelaki kedua Ki Sanak, ikut mampir dalam ruang otak saat
mengumbar lamunan.
"Daripada
akang ngontrak, sendirian pula. Sudah saja akang ikut tinggal di rumah si Neng.
Pan luas rumahnya, lagi pula suami si Neng sangat terbuka buat akang..."
giliran ucapan adik perempuan Ki Sanak. "Mending bantu garap sawah saya
Kang...." timpal adik ipar Ki Sanak.
Selanjutnya kata seorang kerabat, "Mang, sesepuh
pesantren kita tinggal Apa Haji Somad, Mang Ajengan Dayat, dan Kang Purwa.
Kasihan mereka Mang, ngurus pesantren sering kewalahan. Penerus-penerus,
kebanyakan, malah pergi merantau. Sedikit yang bisa diandalkan..."
Ki Sanak beralih ke atas langit malam. Tertegun
memandangi bulan separuh. Gestur tubuh pada umumnya seperti di adegan film
lawas, yang merepresentasikan perasaan bimbang, kebanyakan penonton sudah dapat
menerka apa yang dirasa si tokoh pemain. Ki Sanak Sesekali menghela nafas
panjang. Sudah tentu kata-kata yang terngiang itu menjadikan perasaan tak tentu
makin berkecamuk dalam batin. ***
Parijs van Java subuh sekarang tak sebeku beberapa
dasawarsa lalu. Rasa senyapnya pun mulai berkurang. Aroma juga mulai berubah.
Di beberapa tempat aroma karbon sudah bersenyawa dengan aroma rumput, makin
lama makin kentara. Cerobong-cerobong berjamuran, berlomba-lomba menjangkau
langit. Di separuh pelosok kota ini, dominasi suara jangkrik lepas tengah
malam, kalah oleh deru-deru boiler dan generator-generator.
Pertumbuhan kota identik takkan lepas dari
industrialisasi, begitu kata akademis peneliti sosial perkotaan. Ah, Ki Sanak
tahu apa? bisa apa? mungkin tak terganggu dengan wacana semacam itu. Yang dia
bisa, hanya ikut merasa proses diferensiasi dan pergeseran-pergeseran. Yang dia
kenali hanyalah peuyeum alias tape singkong, rutinitas mondar-mandir ke pasar
menyusuri bantaran rel, dan riuh pasar Kiaracondong, itu saja. Selebihnya, Ki
Sanak tak menggubris sisi kritis sebagai seorang warga, baik sebagai pribumi
ataupun pendatang. Hanya jiwa kebersahajaan desa yang melestari di rimba kota.
Dua dasawarsa lebih, Ki Sanak menikmati. Peperangan
nasib di kota ini masih sangat luwes, boleh dikata masih bijak. Tapi itu yang
dia rasakan, seputar daerah Kiaracondong saja. Istirahat, tidur, mempersiapkan
dagangan, jualan, istirahat, jum'at jum'atan, kalau ada tahlilan atau selametan
bila tak ada halngan ya ikutan, kalau tidak ada kegiatan bersama warga tetangga
ya diam di rumah saja, begitulah alur keseharian Ki Sanak. Rutinitas berulang,
tanpa petualangan lain, sudah cukup menyederhanakan pola pikir Ki Sanak.
Bagi Ki Sanak, tiada tempat yang istimewa selain Pasar
Kiaracondong. Segala kebahagiaan, dan jati diri dunianya pun di sana. Bukan
berarti lupa pada akar asal dia, tentu saja itu desa, kampung halaman.
Lingkungan pasar, orang-orangnya, suasananya, suaranya, aromanya dan hal-hal
lainnya yang menjadi satu padu pasar, yang bila diekspolorasi penulis cerita
akan menjadi belasan alinea seting tempat, cerita pelengkap yang memikat. Ki
Sanak memposisikan diri sebagai bagian kecil yang sangat penting dari satu
kesatuan, pasar. Namun, akhir-akhir ini keresahan kerap singgah di hati Ki
Sanak. Makin lama, jadi ketakutan. Ketakutan pada alur sejarah yang seringkali
terdapat fragmen-fragmen meniadakan sesuatu, atau kalimat "...kini hanya
tinggal kenangan".
Semakin menyadari rasa ketakutan yang sudah kadung
tersemai, dibantu pula oleh kabar angin, perlahan-lahan semakin ia menyadari
eksistensinya sebagai manusia. Di sekolah rakyat dulu, Ki Sanak mungkin tak
belajar, atau sudah lupa, tentang seleksi alam, perubahan-perubahan, atau
apapun teori tentang dinamika kehidupan. Yang dia sadari, akan ada perubahan di
segala sesuatu. Sama seperti fisiknya yang berubah. Uban, kulit mengeriput,
juga postur yang membengkok bungkuk. Dia juga menyadari, pasar akan berubah.
Meminjam istilah kontemporer, lebih tepatnya transformatif. Ya, pasar juga
suatu saat akan bertransformasi. Berubah bentuk, perbaikan, atau malah beralih
fungsi.
Yang paling ditakutkan lelaki tua adalah pasar segera
berubah. Seiring dengan keterbukaan cara pandang Ki Sanak, opini, argument dan
perkiraan-perkiraan umumnya orang-orang di pasar mempengaruhi Ki Sanak, adalah
kemungkinan terburuk yang mengancam eksistensi nasib mereka. Ialah, pasar
berubah. Pasar dimodifikasi dari tradisional ke modern. Pasar bertransformasi
jadi mall. Lalu opini negasi mereka serentak mengira kalau-kalau pasar berubah,
suasana dan sejarah akan berubah pula. Sewa tempat jadi mahal, nuansa
kekeluargaan bergeser, dan yang mengerikan adalah "kapitalisasi".
Tentu saja menurut mereka yang akademis, itu baru hipotesa dan akan sangat
mengasyikkan untuk diperdebatkan. ***
Kemungkinan perubahan sejarah menjadi sosok teror
mencekam bagi Ki Sanak. "Pasar berubah! Pasar berubah! Pasar
berubah!" intimidasi yang bergemuruh di bilik dada Ki Sanak.
"Oh, peuyeum. Peuyeum. Peuyum!
Peuyeum.....!"
"Tidak...!
Jangan sekarang-sekarang! Tunggu, jangan cepat-cepat! Setidaknya setelah aku
mati, barulah boleh berubah....!"
"Oh, peuyeum, peuyeuum! Pasaar....!!!"
Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar