Selasa, 19 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-19

Adhy M. Nuur
SAMPAI di rumah, Koma kecil masih lelap tak terganggu. Asih membaringkan tubuh mungil anaknya di atas dipan kayu. Dipan beralas kasur kecil cukup keras yang hanya cukup untuk seorang dewasa dan bayinya. Asih menatap Koma, lalu mengecup keningnya. Beberapa titik air meluncur di sudut mata. Asih memalingkan pandangan dari bocah lugu itu dan menjauh dari dipan. Isaknya pelan. Asih tak ingin Koma terbangun dan menyaksikan ibunya menangis.

"Ya Allah, kasihan sekali nasibmu Nak! Harus menanggung cobaan yang berat seperti ini," ratap Asih dalam hati.

Satu sisi, dalam rasa kemanusiaan yang melemah, yang terkadang ada saat-saat berkeluh, Asih merasa hidupnya selalu dibayangi kesedihan. Pertanyaan yang selalu terbetik di hati manakala berkeluh kesah sendiri, mengapa Allah juga menimpakan ujian berat itu pada anaknya. Asih ikhlas menerima, ujian, cobaan atau hukuman sekalipun, tapi dia tak cukup rela jika Koma kecil harus ikut menanggungnya.

Kalaupun sebuah karma, balasan atas kesalahan yang pernah diperbuat, sengaja atau tidak sengaja, Asih hanya ingin menanggungnya sendirian. Anaknya tak berdosa sama sekali. Koma kecil hanya bayi yang bersih, belum sekalipun mengerti dosa dan nista. Asih merasa sangat bersalah, bocah malang itu ikut menanggung derita.

Dosa berzina sangat besar, tidak saja di akhirat, di dunia pun akan diganjar hukuman berat, Asih teringat kata-kata itu. Kata-kata yang dia dengar dulu saat mengaji dari salah seorang ustadz di masjid desa.

"Zina, apakah itu berzina? Jangankan menginginkan, bermimpi pun tidak," rutuk Asih dalam hati. Rekaman adegan pemerkosaan itu terputar kembali di ingatannya. Sedih, dan ketakberdayaan yang terbeberkan dalam benak.

Saat semakin dalam mengenang peristiwa itu, penyesalan kian menggunung, mengapa pada saat itu tak ada siapa pun atau apa pun yang dapat menolong. Misalkan, ada seseorang memergoki lelaki itu akan berniat jahat pada Asih lalu berusaha menghentikannya. Atau misalkan pula, ada kekuatan merasuk yang membuat Asih dapat menandingi kekuatan lelaki itu, dan dapat menghindarkannya. Apa daya, sudah terlanjur. Waktu tak mungkin bisa diputar balik.

"Ya Allah, aku sudah berusaha menghindari. Aku sudah berusaha sekuat tenaga menolaknya. Aku, sama sekali, tak mengharapkannya!" Kesedihan dan penyesalan semakin terasa begitu deras meluap.

"Kalaupun itu karma atas dosa keluarga atau leluhurku, ini tidak adil. Kenapa aku yang harus menanggungnya. Aku tidak menanam, kenapa justru aku dan anakku yang menuainya. Tapi, aku akan berusaha menerima. Kupaksakan ikhlas, tapi tidak pada anakku," keluh Asih, berlumur airmata.

Asih merunut dalam pikiran, berbagai peristiwa janggal yang menimpanya. Cinta yang bersemi kepada Warya adalah janggal. Cinta yang akan menemui berbagai rintangan kesulitan bila tetap dilanjutkan dalam kondisi keluarga yang tidak mempersilahkan. Lelaki yang telah menanam benih anak di rahim Asih, menghilang seolah ditelan bumi. Asih harus bertanggungjawab, membesarkan anaknya, sendirian. Tak ada yang dapat melacak jejak keberadaan si pemerkosa itu, dan itu pun dia rasa begitu janggal.

Meski beberapa kali gagal, namun Asih belum menutup hati untuk siapapun lelaki yang ingin serius menikahinya. Jika kelak menyatu dalam ikatan pernikahan, alasan utama Asih karena anaknya. Itu keharusan, agar jangan sampai Koma terus-terusan hidup dengan ketidakjelasan siapa bapaknya, dan agar anak belajar menjadi lelaki sejati pada ayahnya. Bagaimanapun buruknya, dan siapa pun, lelaki yang menjadi ayah dapat belajar menjadi lelaki sejati yang manis manakala bersama anaknya, dan lupa bahwa di luar rumah dia adalah macan buas.

Asih pikir, mungkin, bapak asli si Koma juga menanggung hukuman yang tak jauh beda dengan dirinya, di tempat lain, di tempat yang tak diketahui dan tak bisa dikunjungi siapa pun, atau lebih tepatnya mungkin sudah mati.

Bahkan terlintas di diri Asih, mungkin pula itu kutukan. Kutukan-kutukan yang merintangi Asih untuk memperbaiki semuanya. Kutukan itu membuat Kosim jatuh sakit, membuat Dadang terkena cacar, dan telah membunuh Mardi. Kutukan itu membuat warga terhasut Darman, lalu mengusir Asih, menjauhkan dia dari perlindungan yang paling aman, keluarga dan rumahnya. Kutukan yang membuat anaknya lahir lebih cepat dengan persalinan dramatis, di waktu dan tempat yang kurang pas. Kutukan itu juga yang memisahkannya dari manusia jelmaan malaikat penolong yang telah menyayanginya dengan luar biasa, dialah Mak Acem.

Tapi, kutukan itu membuat kehamilan Asih terjaga. Tak ada sesuatu pun yang menghalangi pertumbuhan janin di rahimnya. Tidak ada apa pun yang menggagalkan kelahiran bayinya. Kutukan itu membuat Koma kecil bertahan hidup dengan tubuh yang bersemayam epilepsi. Dan, kutukan itu pula yang membuat Mirja berusaha memperkosa, memutarbalikkan fakta, hingga leluasa memfitnah sekaligus menjadi lantaran Asih secara tak langsung terusir, untuk kedua kalinya dia harus terpisah dengan sosok seorang ibu. ***



"AKU hanya manusia lemah. Aku tidak berdaya tanpa pertolonganMu. Ya Rabb, tolong hamba, beri hamba kekuatan agar dapat menghadapi ujian ini dengan tabah.”

Hari-hari Asih senantiasa berusaha diisi dengan ketabahan diiringi ketaatan yang intensif. Doa-doa tak dia lewatkan dalam setiap peribadatannya, menjadi harapan untuk menjaring kesabaran dan kekuatan diri melalui hari-hari sulit. Selebihnya, doa-doanya adalah kumpulan harapan paling besar untuk Koma kecil agar lebih kuat dalam menjalani hari dengan epilepsinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates