Minggu, 03 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-8

Adhy M. Nuur

MENTARI bersiap meninggi di tengah langit. Di rumah, hanya Asih dan Eman yang urung pergi bekerja dengan alasan sakit perut. Surya, sang mantan kekasih yang masih ngotot ingin menikahi Asih, tiba-tiba datang. Asih tak menyangka Surya tahu keberadaannya, padahal Asih berpesan pada Abah agar tak siapapun orang-orang desa tahu, termasuk lelaki itu. Asih mengira, pasti Ema yang memberitahu.

Lelaki punya seribu cara mengejar wanita yang sangat diinginkannya. Kedatangan Surya, masih dengan tujuan sama, mengajak Asih kembali dan menikahinya. Lelaki itu tipikal yang tak main-main dengan tekadnya. Sekali sudah tertancap tekad itu, tak mudah tercerabut.

Adegan-adegan yang hampir sama seperti saat dulu, di rumah Asih, terulang di rumah Eman. Seperti adegan masa lalu yang direka ulang. Surya keukeuh[1] berharap, setia menunggu Asih agar mau menerima kembali dan bersedia dinikahi, apapun keadaannya. Juga dialog yang sama, andainya menikahi wanita lain, Surya ingin tetap bersama Asih dengan memadunya, atau bila harus, kelak Surya bersedia menceraikan istrinya. Hasilnya pun tak beda dengan sebelumnya. Terlampau sukar merubah pendirian Asih. Sekali tak mau, tetap tak mau, entah sampai kapan itu dipertahankan Asih. Lelah menempuh puluhan mil menemui Asih menjadi sia-sia manakala Surya terpaksa pulang membawa kekecewaan untuk kedua kalinya.

Eman yang menguping dibalik tirai dapur gusar dalam hati, "Kenapa kau menolak lelaki itu? Ah, bodoh sekali kau!"

Lepas kepergian Surya, Eman segera menghampiri Asih, "Lihat dirimu sekarang. Apa kau mau hidup seperti ini terus? Apakah kau tidak ingin memperbaiki keadaanmu?"

Pikir Eman, bodoh sekali Asih menolak malaikat penolong di saat kebanyakan gadis yang tertimpa kemalangan seperti itu sangat membutuhkannya. Begitu ceroboh membiarkan peluang emas berlalu dengan menampik kehadiran seseorang yang penuh ketulusan hendak menyelamatkan, memperbaiki keadaan, dan menghapuskan aibnya. Tapi, betapapun seolah tutup mata pada peluang, Asih berhak menerima atau menolaknya.

Sempat terlintas keinginan Asih untuk segera melepaskan diri dari situasi berat itu. Ketakutan akan nasib diri dan anaknya kelak, selalu membayangi. Akankah selamanya Asih di sana, di rumah Eman, sampai kapan, sedangkan kerinduan pada Abah, Ema dan desa tak mau berhenti bergelayut di hati, setiap hari. Bagaimana kelak bila bayi itu lahir Asih tak segera menemukan lelaki yang dapat menjadi bapak pengganti anaknya, dapat melindungi dia dan anaknya? Kekhawatiran-kekhawatiran lain susul menyusul membayangi.

Eman merasa perlu ikut campur, "Lalu bagaimana nasib anakmu nanti? Siapa yang akan membiayainya? Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri, tapi pikirkan juga nasib anakmu! Kalau kau menerima lelaki itu, hidupmu akan lebih baik, anakmu akan punya ayah, kelak setelah lahir anakmu takkan dipanggil anak haram. Lelaki itu takkan menyia-nyiakanmu, aku yakin dia sangat mencintaimu."

Ucapan Eman, lebih terasa mendikte, dalam sekejap menyentak di dada Asih. Selama ini Asih menerima baik buruk ucap dan sikap Eman. Semua yang dikehendaki Eman selalu Asih lakukan tanpa bertanya atau menyanggah. Kali ini, Asih merasa harus berontak. Dia merasa pengorbanannya tak dihargai sedikitpun. Sikap diamnya tak memperbaiki apa pun, malah bentuk penindasan itu semakin berlangsung. Seringkali Eman memanfaatkan Asih untuk mengeruk keuntungan dari lelaki yang berkunjung atas nama ketertarikan pada kecantikannya, meski mereka tahu Asih sedang hamil.

Yang paling tak bisa diterima Asih adalah kedatangan Surya yang dipersilahkan Eman. Itu lebih mirip pengkhianatan besar yang takkan tersedia kesempatan pengampunan secuil pun. Asih menjadi muak dengan Eman dan segala yang tentang rumah itu.

"Tidak! Mamang[2] picik!" Pemberontakan atas penindasan yang selama ini berlaku pada Asih di rumah Eman, hanya diwakili tiga kata itu saja.

"Heh Asih! Mau kemana kau?"

Asih tak menjawab, tak mempedulikan Eman, bahkan menoleh pun sama sekali tidak. Entah akan pergi kemana, Asih tak tahu, yang ada hanya sesak, emosi, rasa lelah teramat lelah menghadapi Eman dan keluarganya, juga Surya.

"Asih! Asih! Dasar udik!" Asih keluar, entah, dia sendiri bingung kemana arah akan dituju. Yang ada di pikirannya, hanya pergi, pergi dan pergi, kemana saja. Di benaknya hanya keluar, keluar dan keluar, untuk membebaskan diri dari kebosanan itu, melepaskan diri dari penindasan, dan sisanya adalah ketidaktahuan. Asih tak menghiraukan panggilan Eman, tak juga peduli di luar rumah banyak mata-mata beringas mengawasi seakan siap menjamah –dan menikmati kemolekannya.




[1] Teguh.

[2] Paman.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates