Selasa, 05 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-9

Adhy M. Nuur
ASIH melewati lorong-lorong gang sepi berliku tanpa terlintas ketakutan dijegal begal amatir yang beraksi dengan keterpaksaan –demi perut anak istrinya. Semburat sendu bercampur kebosanan memancar di wajah, terasa berat, membuat Asih tertunduk lesu.

Pegal di kaki memaksa langkah Asih terhenti di tepian Sungai Cidurian. Jemari yang setengah kelentikannya masih terjaga menyapu sebongkah batu sekedar menyingkirkan dedaunan kering, lalu rebah perlahan ditopang kedua tangan. Riak kecil arus sungai meliuk diantara batu-batu kecil nampak menggoda. Terlintas untuk bunuh diri saja. Asih merasa kelewat memasuki fase di mana ujian terasa mencekat, membuat sulit menghirup udara kebahagiaan. Allah menjadi kejam dalam pandangannya. Keputusasaan membuat Asih menyanggah jargon-jargon yang sering didawamkan ustadz-ustadz pengajian rutin malam Jum'at di desanya, bahwa Allah takkan memberikan ujian di luar batas kemampuan manusia. Asih sudah merasa lelah –tak berdaya–menghadapi ujian-ujian itu.

Sebuah logika menyadarkan, mengurungkan niat Asih mengakhiri hidup. Kalaulah terjun ke sungai yang tak begitu dalam airnya, bukannya mati, yang ada hanya luka memar. Ditambah, Asih teringat tekad dulu, saat menyadari kehamilannya, dia tak mau menambah dosa baru dengan membunuh jabang bayi tak bersalah dengan menggugurkan atau dengan cara apapun itu. Menjemput kematian untuk dirinya, sekaligus menjemput kematian untuk bayi yang dikandungnya, sama saja, itu serupa membunuh secara tidak langsung.

Sulur-sulur beringin menari kecil disapu angin sepoy. Sebatang dahan berdaun rimbun menjulur ke sungai, cukup meneduhkan. Lama sekali Asih tertegun memandangi arus sungai, sesekali sampah plastik menerobos celah batu terbawa air. Lantunan adzan dzuhur berkumandang, menghantarkan pada sebuah kesadaran lain. Sudah sangat terbiasa Asih mendengar panggilan salat itu, tapi dalam kondisi labil, suara adzan itu terasa begitu berbeda, membuatnya takjub. Adzan itu dikumandangkan seorang bocah, mengalun dengan pekikan khas, terasa polos namun lugas. Asih terpesona. Tergoda membayangkan bagaimana seandainya yang mengumandangkan adzan itu anaknya. Akan menjadi simfoni indah yang membanggakan. Asih teryakinkan untuk benar-benar membatalkan niat bunuh diri dengan terjun ke sungai, atau dengan cara apa saja.

Kesadaran itu menuntunnya mengelak dari sikap ceroboh, emosional, dan membimbingnya keluar dari jerat rasa kecewa. Kini Asih lebih menyadari, perlu kejernihan hati dan pikiran untuk dapat melepaskan diri dari situasi sulit itu. Bagaimanapun, nasib diri dan anaknya mesti diperhitungkan dengan cermat. Tapi keputusannya pergi dari rumah Eman, meninggalkan semua kemunafikan dan suasana tak ramah itu tak berubah. Ibarat bermain ular tangga, sekali melempar dadu, tak bisa ditarik kembali, tinggal tunggu berapa mata dadu menunjukkan angka untuk melangkah –naik tangga atau meluncur turun. Sebab seringkali hidup ibarat berjudi, kalau tidak menang pasti kalah, persoalannya adalah keberanian untuk bertaruh dan siap menerima menang atau kalah.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates