Minggu, 03 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-6

Adhy M. Nuur

MALAM di desa adalah saat menggembalakan mimpi dan meredam semua gejolak keinginan yang tak dapat ditemukan di sana. Tak ada keramaian berarti. Hanya derit binatang malam mengantarkan penduduk desa pada kesunyian yang nyaman. Tak menyisakan alasan untuk bergeliat ramai, selain tidur lebih baik.

Keheningan desa malam itu pecah oleh keributan belasan orang. Samar-samar, dan semakin jelas riuh suara itu mendekat menuju rumah Asih. Ema mengintip di balik kelambu jendela. Sedangkan Abah tak acuh, sambil menguap "Biar saja, tak usah ikut campur!"

"Sepertinya orang-orang itu menuju ke rumah kita Bah. Coba Abah lihat sendiri!" kata Ema.

Abah beranjak dengan sedikit malas menuju jendela. Belum lagi tangannya meraih tirai, satu batu seukuran kepalan tangan menembus kaca jendela, mendarat di ruang depan, hampir saja mengenai Abah. Tanpa aba-aba, batu berikutnya menyusul menghantam bilik bambu dinding rumah. Batu menghantam atap, genting pecah. Abah menarik Ema menuju belakang lemari kayu jati untuk berlindung.

"Abah…! Ada apa ini?" Ema panik ketakutan.

"Asih…! Iroh…! Berlindung!" teriak Abah.

Belasan orang bersenjata kayu dan bambu, bahkan beberapa membekali diri dengan parang, menghujani rumah dengan batu dan bersiap menyerang. Raut-raut wajah dipenuhi amarah. Sesekali mereka melontarkan umpatan.

"Usir dari desa kita!"

"Usir! Usir! Usir!" beberapa orang menimpali.

"Asih, keluar kau! Dasar pembawa sial," teriak seorang di antara kerumunan.

Abah masih berlindung di balik lemari setinggi perut dewasa. Doa-doa berhamburan di mulut dan hati Abah, berharap tak ada kejadian buruk menimpa keluarganya. Ema juga, berkali-kali melafalkan doa yang terdengar samar tak beraturan lantaran panik luar biasa.

Di sela itu, seorang pria paruh baya berbaju putih tergopoh-gopoh menghampiri sumber keributan, disusul dua pemuda berkain sarung mengikuti di belakangnya. Terlambat beberapa menit saja, rumah bisa hancur, andai Ajengan Maman tak keburu mencegah. Mungkin lebih parah, rumah bisa hangus dibakar mereka.

Ajengan Maman, sigap menahan orang-orang yang merangsek siap menghancurkan apapun di rumah Asih, "Berhenti…! Sabar bapak-bapak ibu-ibu. Ada apa ini?"

Seorang santri Ajengan Maman mencium gelagat kericuhan itu segera melapor pada sang ajengan. Sebagai tokoh, Ajengan Maman merasa berkewajiban dan harus ikut campur mencegah keributan itu supaya tak makin kacau. Kericuhan reda untuk sesaat, orang-orang segan pada pamor sang tokoh.

"Ada apa ini? Mengapa ribut-ribut di sini?" tanya sang Ajengan.

"Maaf pangersa[1], kami menuntut agar Asih diusir. Dia menyebabkan kita banyak ditimpa bencana," jawab Darman, di barisan depan kerumunan.

"Ya, desa ini mendapat kutukan akibat si Asih," seorang perempuan di belakang menimpali.

"Sabar bapak-bapak ibu-ibu! Jangan main hakim sendiri!" redam Ajengan. "Musibah yang menimpa kita itu ujian dari Allah, bukan karena Asih," lanjutnya. Tapi itu tak cukup menahan warga yang frustasi dengan kondisi desa yang berkali-kali ditimpa musibah dan menuduh itu disebabkan Asih. Mereka terlanjur emosi, hendak melampiaskan dengan merusak rumah dan mengusir Asih.

"Dia telah berbuat dosa, aib, mencemarkan desa kita! Dia menyebabkan Mardi mati, dia membunuh Mardi," sambut Kokom, adik perempuan Mardi yang masih belum bisa menerima kematian kakaknya dan menuduh Asih penyebabnya.

"Ayo seret dia! Usir dari desa kita! Agar desa kita kembali tentram," seorang pria di barisan tengah kerumunan. Suasana kembali memanas, hampir tak terkendali.

"Acim, keluar kau! Jika kau kasihan pada kami, usir anakmu dari desa ini!"

"Sabar bapak-bapak! Sabar!" seorang santri Ajengan Maman membantu menenangkan warga, tak cukup ampuh. Warga malah semakin memanas, tetap menyerukan tuntutannya agar Asih diusir.

"Tenang…!" Ajengan Maman setengah teriak. "Tenang! Semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik. Tak perlu ada keributan seperti ini." Kericuhan reda untuk beberapa saat. Ajengan Maman menghela nafas, "Coba bicarakan baik-baik, jangan pakai emosi."

"Pangersa, kami menuntut agar Asih diusir saja. Dia pembawa malapetaka bagi desa kita. Sejak dia hamil desa kita banyak ditimpa bencana. Kalau dibiarkan saja, kondisi desa kita akan semakin memburuk!" tegas Darman.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian saya harap bisa tenang! Jangan emosi. Biar saya membantu menyelesaikan dengan baik-baik. Saran saya, biar saya yang mewakili bapak-ibu sekalian menyampaikan tuntutannya pada keluarga Asih. Semoga ada penyelesaian yang lebih baik tanpa keributan," usul Ajengan. Darman terdiam sejenak, saling pandang dengan warga lain.

"Baiklah pangersa.” Darman beralih mengomandoi warga lain, “Semua tenang! Kita tunggu pangersa menyelesaikannya." Ajengan Maman segera menemui keluarga Asih.

Bukan tak ada pilihan, tapi menurut Ajengan Maman, satu-satunya pilihan terbaik adalah memenuhi tuntutan warga. Mulanya Abah menolak. Namun karena Ajengan Maman memberi pengertian itu demi menyelamatkan keluarga dan ketentraman desa, Abah berlapang dada menerima. Pikir Abah, semoga keputusan begitu berat itu adalah jalan terbaik bagi Asih, anak gadis yang sangat disayanginya. Begitu pun Ema, dengan sangat terpaksa akan merelakan kepergian Asih. Sedangkan bagi Asih, apa pun yang menimpanya, tak sedikit pun coba ditampiknya, dia sudah pasrah. ***


santei dulu, mampir dulu lah di marih ya


"BAGAIMANA Pangersa?" bahkan baru saja Ajengan Maman keluar rumah, Darman menyerobot dengan antusias.

Di antara warga lain, Darman yang paling ngotot menuntut Asih diusir. Darman, satu di antara deretan laki-laki yang ditolak Asih. Sebegitu sakit hatinya hingga dia tak rela melihat Asih bahagia. Jika bisa, keinginan terbesarnya adalah melihat Asih dan keluarganya hancur. Bahkan Darman dan beberapa orang yang merasa kecewa dengan Asih menjadi pencetus di balik aksi itu. Darman menghasut orang-orang untuk mengusir Asih dengan memanfaatkan kejadian buruk yang menimpa desa, mengarang cerita, dan mengaitkan penyebab itu semua bersumber dari kehamilan Asih.

"Setelah saya berdiskusi, Asih dan keluarga bersedia memenuhi tuntutan bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Jadi, sekarang bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian tidak usah ada keributan lagi. Besok, Asih akan meninggalkan desa. Semoga dengan begitu dapat memperbaiki semuanya," jelas Ajengan Maman.

"Loh, besok? Kenapa tidak sekarang saja? Lebih cepat lebih baik!" Darman tak sabar menyaksikan awal kehancuran Asih.

"Saya harap ada kebijakan dan pengertian dari warga semuanya. Sekarang sudah malam, tidak baik kalau Asih harus pergi sekarang, kasihan dengan keadaannya sekarang."

"Apa jaminannya kalau Asih akan menepati? Bagaimana kalau bohong?" sergah Kokom.

"Jaminannya saya! Saya akan memastikan kepergian Asih besok. Apa kalian tidak percaya?" Sang Ajengan berubah gusar. "Kalau perlu salah seorang di antara kalian bisa menjadi saksi, memastikan Asih benar-benar meninggalkan desa ini besok," tambahnya.

"Maaf Pangersa, kami percaya," redam Darman.

"Baiklah kalau begitu, berarti sudah ada jalan penyelesaiannya. Saya harap sekarang bapak-ibu sekalian dapat kembali ke rumahnya masing-masing, supaya tidak mengganggu kenyamanan warga yang lain." Cukup puas, warga lalu membubarkan diri.





[1] Panggilan hormat untuk tokoh agama (Sunda).

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates