Rabu, 20 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-20

Adhy M. Nuur
PAGI hari, seseorang mengetuk pintu kamar. Asih pungkas dzikir selepas Duhanya dengan hamdalah dan menyapukan dua tangan ke wajah. Segera dia lucuti mukena yang membungkus tubuh dan merapikan sajadah yang menghampar di depannya. Asih mempercepatnya ketika ketukan itu semakin cepat dan keras.

"Asih! Sedang apa kau? Apa kau masih tidur?" seorang pria di luar kamar, suaranya cukup Asih kenal.

"Ya, tunggu sebentar Pak!"

Asih mendapati pria yang mengetuk pintu kamarnya adalah Herman, anak tertua mendiang Mak Anih. Pria yang jika hatinya sedang halus dia akan selembut salju, namun bila sedang buas maka dia akan seganas singa kelaparan, apa pun dapat diterkamnya. Terbukti ketika Asih menyaksikan sendiri, Herman membuat terkapar seorang pria yang diketahui mengganggu istrinya.

Pada dasarnya Herman baik, tapi tak punya cukup kekuatan untuk meneguhkan pendiriannya. Tidak ada siapa pun yang dia percayai dan dituruti kata-katanya selain dua orang wanita paling berpengaruh, ibu dan istrinya. Herman sangat mencintai dan teramat takut kehilangan istrinya itu. Seakan Herman berada dalam jajahan istri, dan seperti kerbau dicucuk hidung, apa pun yang dikatakan sang istri, dia akan menurut saja.

"Mari silahkan Pak!" Asih mempersilahkan Herman masuk. Laki-laki itu duduk di kursi kayu bercat hijau yang sudah memudar. Asih duduk di atas dipan di samping Koma kecil yang masih pulas.

"Ada yang harus aku sampaikan," Herman mengawali percakapan. Asih merasa tak enak hati manakala mendapati mimik wajah Herman yang nampak kaku tanpa ekspresi.

"Ada masalah apa Pak?" Asih penasaran, mencium firasat buruk akan menimpa dirinya lagi. Namun, dalam kondisi ketegaran yang semakin mumpuni, Asih bersiap menerima berbagai kemungkinan, yang terburuk sekalipun.

"Apa benar anakmu epilepsi?"

"Seminggu yang lalu saya memeriksakan anak saya ke Rancabadak.[1] Betul Pak! Anak saya sakit epilepsi," Asih menjawab dengan mantap.

"Bagaimana kondisinya sekarang? Apakah epilepsinya sering kambuh?"

"Alhamdulillah lumayan baik! Kemarin kambuh, tapi tidak terlalu parah Pak!"

"Hmm…" Ada kebimbangan dalam gurat wajah Herman yang kaku tanpa senyum ramah. Herman sebenarnya tak tega, tapi entah sayang atau mungkin rasa takut yang lebih besar pada istrinya, membuat dia terpaksa melakukannya.

Asih terdiam menunggu apa lagi yang akan disampaikan Herman selanjutnya. Asih merasa ada yang berbeda dalam sikap lelaki itu. Biasanya Herman cukup bersahabat, dan biasanya juga acuh tak acuh, karena pembawaannya memang begitu.

"Sebenarnya aku tak tega, tapi terpaksa harus kulakukan demi keluarga," Herman menjadi sedikit ragu, dia membetulkan posisi duduknya agar kursi yang sudah reyot itu tidak semakin rusak.

"Ya Pak, kalau ada masalah sampaikan saja. Saya siap!"

"Maaf ya Asih! Karena penyakit anakmu itu berbahaya, kami takut tertular. Apalagi tetangga dan orang-orang yang mengontrak di rumah kami juga ketakutan. Kalau mereka ketakutan lantas pindah, kan kami yang rugi. Kalau sampai warga di sini ketakutan, dan berita ini sampai menyebar, bisa-bisa tak ada yang mau menyewa kontrakan kami lagi. Jadi…"

Belum lagi Herman menyelesaikan ucapannya, Asih lalu memotong, "Cukup Pak! Ya, saya tahu apa yang harus saya lakukan."

Asih ingin menyanggah Herman, kalau kenyataannya tidak seperti yang ditakutkan tetangga dan orang-orang. Kenyataannya adalah seperti yang dikatakan Dokter Budi bahwa epilepsi tidaklah menular. Tapi Asih pikir percuma, bahkan dia takut Herman menjadi emosi.

"Siang ini juga kami akan pergi. Terima kasih Pak Herman dan keluarga sudah bersedia menampung kami. Saya minta maaf karena sudah merepotkan, dan belum bisa membalas kebaikan keluarga Pak Herman."

Asih tahu Herman sudah terpengaruh sang istri sehingga lelaki itu mengusir Asih secara halus dari rumah kontrakannya. Kamar yang ditempati Asih berada tepat di belakang, temboknya menyatu dengan rumah keluarga Herman. Sejak awal kedatangan di rumah itu, Asih merasa istri Herman tidak menyukainya. Tak ada sedikit pun simpati untuk bersikap ramah dan terbuka. Asih menumpang di rumah kontrakan dengan gratis. Seharusnya kamar itu diisi penyewa dengan bayaran beberapa rupiah, yang berarti sebuah kerugian bagi Herman dan istrinya. Dan, yang paling membuat tak suka, karena seringkali istri Herman ketakutan suaminya akan tergoda dan berpaling pada Asih yang lebih muda dan lebih cantik.

"Baiklah kalau kau sudah mengerti. Sebaiknya secepatnya kau pergi dari sini!" Herman menengok ke luar, memastikan tak ada siapa pun menyaksikan. Pintu kontrakan tak tertutup, sengaja dibiarkan Asih terbuka sedikit untuk menghindarkan kecurigaan tetangga. Herman bangkit dari kursinya, berjalan pelan menuju Asih, menengok sekali lagi untuk memastikan tak ada yang melihatnya.

"Ini, bawalah untuk kalian berdua! Jangan bilang-bilang siapa pun!" bisik Herman, mengeluarkan beberapa lembar rupiah dan memberikannya kepada Asih lalu bergegas keluar.

"Terima kasih banyak! Bapak baik sekali! Semoga Allah membalas dengan balasan yang berlipat," kata Asih. Herman beranjak keluar, tak menjawab, bahkan sekadar menoleh pada Asih pun tidak. Asih terdiam memegangi beberapa lembar uang pemberian Herman. Dia menatap Koma kecil yang pulas tertidur diselimuti kain tipis bermotif bunga matahari. Berarti, ini yang ketiga kalinya Asih terusir. Asih memandangi uang itu, nilai yang cukup untuk biaya hidup beberapa hari ke depan bersama Koma. Uang itu serupa tanda kasihan, atau lebih tepat sebagai uang pengusiran. Kompensasi untuk segera pergi secepatnya, supaya rumah Herman lepas dari bayang-bayang ketakutan epilepsi si Koma kecil.




[1] Sebutan populer beberapa dekade ke belakang untuk RS Hasan Sadikin, Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates