Jumat, 01 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-1

Adhy M. Nuur
TASIKMALAYA, April 1985. Asih berdiri di balik jendela, menghisap segar udara pagi desa beraroma khas. Bau yang begitu akrab dia kenal. Karunia kehidupan desa yang banyak menjanjikan ketenangan, begitu dinikmati penuh syukur, dan seolah menjadi sempurna dengan karunia kecantikan fisik yang tak diberikan pada sekian banyak wanita, termasuk pada Iroh, kakak perempuan Asih.

Asih memiliki aura kecantikan yang kerap terselip dalam dongeng-dongeng pengantar tidur, yang menceritakan sosok putri jelita, sempurna. Kecantikan alami gadis desa. Wajah berseri tak tersepuh bedak. Bibir merona tanpa polesan gincu. Gigi seputih tepung rapi berderet. Rambut hitam terawat menjuntai hingga pinggang, menggoda lelaki untuk sekedar membelai merasai halusnya. Banyak orang mengira, Asih titisan Sri Pohaci , atau mungkin bidadari yang terperangkap dalam jasad gadis desa.

Satu sisi Asih banyak dikagumi, satu sisi lain tak sedikit dicemburui. Mereka yang tidak senang, mengembuskan isu kecantikan Asih didapat dengan cara tak wajar. Hingga beredar ke penjuru desa gosip Asih menganut ilmu hitam, mengamalkan kinasihan , bahkan tuduhan memakai susuk sempat ramai digunjingkan. Beberapa lelaki yang termakan isu awalnya mati-matian berusaha mendapatkan cinta Asih, perlahan mundur. ***

BUNGA di taman hati Asih bermekaran tatkala terpercik asmara. Banyak simfoni digubah, banyak romantisme puisi dikarang, banyak goresan gambar dan warna pada kanvas, semua itu untuk mendeskripsikan dan membumbui wacana cinta. Asih berharap kehadiran cinta dapat memaniskan perjalanan hidupnya hingga menjadi kian bermakna. Dengan mencintai seorang laki-laki, Asih ingin membahagiakan, sekaligus berharap imbalan berupa kebahagiaan darinya, dan itu adil. Kebanyakan wanita, ingin mempertaruhkan hidup di pundak seorang pria yang mencintainya dalam kemasan rumah tangga, itu pun menjadi impian Asih. Baginya, menikah sama dengan cara halus menyembunyikan kelemahan kodratiah di balik punggung sosok yang menjadi suaminya.

"Apa sebetulnya pengertian cinta sejati itu? Seperti apa pembuktiannya, Pernikahankah?" Asih tercenung.

Dalam lamunan, semakin jauh lamunan semakin menjelajah ke suatu interval masa depan, terlalu jauh ke depan. Jejalan khayalan penuh gradasi warna-warni membentuk impresi gambaran kehidupannya suatu saat, entah kapan itu. Kelak, ketika dua cinta itu menyatu dan dilegalkan dalam ikatan sah, pernikahan. Bagaimanapun, khayalan seringkali menawarkan prediksi dan berbagai kemungkinan. Imajinasi dengan komposisi tak seimbang. Lebih banyak rekaan manis ketimbang pahit untuk merasa-rasakan bagaimana indahnya mencintai seorang ayah dari anak-anaknya, melayani imamnya, tentu itu yang diinginkan kebanyakan gadis manakala pernikahan sudah dianggap perlu dan dibutuhkan.

Pada hati yang tersentuh cinta, di awal-awal, dan mungkin enggan mengenal batas hingga kapan, senantiasa berharap ingin selalu bahagia. Namun kenyataannya, kehadiran cinta tak selalu memunculkan bahagia. Saat menemui kekecewaan, cinta seringkali dijadikan kambing hitam, dituduh sebagai pengkhianat yang menyaru menjadi bahagia padahal sebenarnya adalah bibit luka.

Berpuas diri dengan cinta yang seolah selalu manis, ibarat membuat rangka bangunan dengan menumpuk kartu remi, terlalu riskan roboh tertiup angin. Kalaulah cinta mengajarkan sesuatu, pelajarannya adalah bahwa dalam cinta –dan dalam hal apa pun, kita tak dapat menghindari masalah dan kehilangan. Kebahagiaan dari cinta bukanlah seni memelihara sebuah hubungan yang bebas dari masalah. Keberhasilan meraih bahagia dalam cinta adalah bagaimana kesuksesan untuk merespons setiap apa yang tak terduga.

Satu kekecewaan menghancurkan pandangan Asih tentang bangunan cinta yang semula tersusun indah jadi porak poranda. Masalahnya, untuk Asih, bukan terletak pada sesuatu yang rusak itu dapat diperbaiki lagi, tapi pengkhianatan itu dia anggap sebuah dosa besar dalam peperangan yang bisa berakibat kekalahan telak. Terlampau sulit untuk mendapatkan pengampunan atau dispensasi apa pun. Kekecewaan itu mendarah di tubuh Asih, menjelma serupa penyakit yang sulit diobati. Tak ada tabib dan obat ampuh dapat menyembuhkannya. Jangankan dalam fase pernikahan, sebelum itu pun, kekecewaan akibat pengkhianatan adalah noktah hitam di hati Asih, sebagaimana pun kerasnya dihapus, tetap membekas.

"Cukup sekali, ini tak boleh terulang lagi!" Asih mengusap-usap perut yang terasa semakin membesar dari minggu ke minggu.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates