Jumat, 01 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 1-2

Adhy M. Nuur




SURYA kerepotan,kedua tangannya menjinjing keranjang. Di sela pinggang dan sikut kanannya terapit bungkusan kertas warna cokelat muda. Dia melangkah tergesa seakan memburu sesuatu. Rambutnya berderak diterpa angin kecil. Peluh kecil melumuri cambang tipisnya, membuat berkilau disorot sinar mentari pagi. Penampilan necis kaum ningrat mestinya tak kerepotan dan seharusnya Surya diiringi kacung yang membawakan barang-barang tepat mengikutinya di belakang.
Lamunan Asih pudar manakala melihat lelaki yang dikenalnya muncul dari kelokan menyusuri pematang, semakin mendekat. Seakan melihat makhluk menakutkan yang harus dihindari cepat, setengah berlari, Asih menuju kamarnya, bersembunyi dan mengunci pintu.
Sampai di depan rumah, Surya menurunkan dua keranjang beserta bungkusan yang diapit di pinggangnya. Dia keluarkan sapu tangan polos warna jingga dari saku kiri dan mengelapkan pada kening bercucuran peluh. Hari masih pagi, tapi terasa menyengat. Dia mengibaskan sapu tangan untuk mendapatkan angin sekedar menyejukkan tubuhnya. Sebelum naik ke beranda rumah panggung itu, Surya merapikan rambut dan kemejanya.
Pintu tampak terbuka, Surya semringah, pikirnya sang pribumi sedang berada di rumah. Akan sangat membantu bila Abah dan Ema ada. Intervensi kedua orang tua itu akan membantu memuluskan usaha Surya. Kerepotan membawakan buah tangan pun tidak seberapa, itu harga yang layak dikeluarkan. Serupa membeli suara, strategi pendekatan untuk mengumpulkan dukungan suara.
"Sampurasun…" Surya melongo ke dalam rumah.
"Sampurasun..." untuk kedua kalinya tak ada jawaban.
Waktu yang kurang pas. Seharusnya sore atau malam, di saat seluruh penghuni berada di rumah, Surya datang. Sedangkan pagi hingga siang, adalah saat-saat kebanyakan penghuni sibuk di luar rumah, entah pergi ke ladang atau bekerja. Desa akrab dengan keheningan. Sebagaimanapun keramaian terjadi, tidak akan bertahan lama, setelahnya, desa kembali sepi.
"Sampurasun..."
Setengah kesabaran tergerus cuaca yang mulai terik. Berkali-kali uluk salam, tiada balasan. Dari depan tak nampak keberadaan seorang pun. Surya menahan kesabarannya yang tersisa separuh. Ingin segera masuk memastikan ada orang yang ditujunya, namun terhalang tata krama. Masuk begitu saja sebelum dipersilahkan tuan rumah adalah ketidaksopanan, akan berbuah kecurigaan, bisa-bisa disangka maling hendak menyatroni rumah.
Tak menemukan ada orang untuk bertanya, Surya mencari ke belakang rumah, di kandang kambing yang condong berdiri di atas sungai kecil, juga tak mendapati ada orang. Dia kembali ke beranda rumah, menunggu beberapa saat lagi.
"Sampurasun, Neng!"
Surya tahu, Asih gadis rumahan, sangat jarang keluar, atau tak perlu jika tidak terpaksa. Sebab, rumah bagi Asih adalah habitat teraman untuk berlindung dari berbagai bahaya yang terdapat di luar sana.
Habis sudah kesabaran, Surya naik ke beranda rumah, mengetuk pintu sekali lagi, "Sampurasun... Punten..." Surya menaruh barang-barang bawaannya di atas meja bambu. Tak lagi tertahan tata krama, dan tak peduli ada mata memandang curiga, Surya melangkah masuk.
"Abah..." Masih tak ada jawaban. Surya menyusuri ruang depan, di belakang, dapur, tak tampak satu pun. Dia lalu menuju pintu kamar Asih.
"Neng…" Tak ada jawaban. Sekali lagi Surya memanggil, “Neng..” Masih tak ada jawaban. Ketiga kalinya surya memanggil, jika tak ada sahutan, dia memutuskan pulang dan mungkin kembali lagi besok sore. Sekali lagi, sambil mengetuk pintu kamar Asih dia menyeru, “Neng…”
"Buat apa ke sini lagi," Asih menyambut tak ramah.
"Bukalah dulu, sebentar saja! Ada yang ingin akang bicarakan," rayu Surya.
"Tidak! Lebih baik Akang pergi saja!" jawaban Asih semakin ketus. Surya tak cukup terpengaruh, itu sudah diperkirakan sebelumnya.
"Ayolah Neng! Sebentar saja."
"Tidak! Pergi…!" teriak Asih. Surya bergeming, tetap menunggu Asih keluar menemuinya.
"Akang mohon, sebentar saja. Akang janji, setelah ini Akang tak akan mengganggu Neng lagi," Surya makin gencar merayu.***

SUARA kunci terdengar ragu, isyarat pintu segera terbuka. Ada rasa tak biasa di hati Surya. Puluhan kali bertemu, baru kali ini jantung Surya berdebar lebih hebat daripada pertama kali dia jatuh cinta pada Asih. Kecanggungan bergulung dengan keraguan. Walau terbesit kegagalan, Surya berusaha menyanggah sangkaan hasil tak sesuai harapan.
Asih keluar dengan langkah kaki nampak berat dimuati ragu. Kedua mata bertemu pandang, masing-masing dengan kilau tatapan berbeda. Surya tersenyum kecil serupa basa-basi untuk meredakan kecanggungannya. Asih membalas senyum lelaki itu sedikit saja, senyum kosong, tak berarti apa-apa, di dalamnya hanya keterpaksaan.
Surya, anak lelaki tunggal Juragan Tirta, pengusaha tambang pasir terbesar di kabupaten yang disegani selain lantaran wibawa dan kekayaannya, juga karena kedermawanannya. Rupa dan penampilan Surya, sangat padan untuk anak bangsawan. Perempuan mana tak ingin mendapatkan cinta Surya. Ibu mana tak silau dan tak berharap anak gadisnya disunting keturunan orang terkaya di desa. Rumah berlantai tiga yang tak dimiliki penduduk desa lain, sawah dan tanah, mobil, serta berbagai aksesoris kemewahan lain siap diwarisi Surya. Jaminan kehidupan enak bergelimangan harta membuat dia menjadi sosok lelaki sempurna secara penilaian keduniawian.
Bukan kekayaan yang membuat Asih gampang melabuhkan cintanya. Tapi sebagai gadis desa, Asih pun terbilang naif. Dia tak menyangkal, awal mula ketertarikan hingga jatuh hati, itu karena ketampanan Surya. Namun, ketulusan Surya yang akhirnya meruntuhkan tebal dinding hati Asih.
"Dasar gadis bodoh! Masa menolak disunting anak orang berada yang sudah terang dapat memberikan kehidupan enak." Ucapan tetangganya itu seringkali terngiang di telinga Asih.
Bukan kemewahan yang Asih inginkan. Kesederhanaan yang melekat kuat, saking kuat, membuat tak tergiur kesenangan di atas kekayaan.
"Silahkan duduk! Sebentar, Neng ambilkan minum dulu." Tak berapa lama Asih muncul dari balik tirai dapur dengan segelas teh. Genggamannya sedikit gemeretak.
"Bagaimana kabarnya Neng?" Tanya Surya. Sedikit basa basi mungkin akan meredakan ketegangan.
"Baik," singkat saja. Asih tertunduk. Tak berani memalingkan pandangan menuju wajah Surya.
Beberapa saat suasana hening. Kata-kata menjadi berat untuk meluncur di bibir Surya. Padahal, banyak kalimat ingin diungkapkan. Begitupun Asih, hanya bisu menunggu, tak lebih berani dari Surya untuk mengawali percakapan.
"Neng, bagaimana? Apakah masih ada kesempatan untuk Akang?" Keberanian Surya terkumpul penuh, dia kembali membuka percakapan, tapi tak sepatah pun Asih menjawab, lagi-lagi diam tertunduk.
"Akang janji akan membahagiakan Neng. Apa pun yang Neng minta akan Akang berikan," rayu Surya. Asih tetap diam, bahkan jawaban singkat ya atau tidak, masih belum buka suara.
"Sungguh, Akang sangat mencintai Neng! Neng, minta apa? Akan Akang penuhi. Rumah, tanah, atau perhiasan paling mahal sekalipun, akan Akang berikan. Neng minta sarat apa pun, akan Akang Lakukan."
"Tidak, bukan itu yang Neng inginkan."
"Terus apa?"
"Yang Neng mau, Akang berhenti mengganggu Neng. Jangan pedulikan Neng lagi!" Ada banyak sesak di dada Asih. Ingin menumpahkan, tapi semakin ingin tertumpah, semakin tertahan.
"Mari kita mulai kembali dari awal!"
"Tidak… Cukup Kang! Neng benar-benar tidak yakin." 
Surya tahu di balik kelembutan si kembang desa tersimpan pendirian yang lebih keras dari batu karang, tak mudah tergoyahkan. Jika hanya dengan air, butuh waktu sangat lama untuk melubangi batu karang itu. Ibarat gelombang ombak yang tak bosan melubangi karang, seperti itulah Surya.
Surya diam sejenak, lekas memutar otak mencari cara apa lagi untuk dapat meyakinkan Asih. Awalnya sangat sulit bagi Surya menerima keadaan Asih saat itu. Tak mudah menjaga kembang desa agar tak layu tersentuh nafsu. Bahkan Surya tak terlintas untuk mencoba memetiknya, namun kenyataan pahit, kembang desa itu telah dipetik lelaki lain. ***

CINTA, membuat mata telinga Surya tertutup untuk melihat dan mendengar ironi keadaan Asih. Ketulusan, sangat langka dimiliki lelaki yang dengan setumpuk uang mampu membeli gadis manapun yang diinginkan. Surya, sungguh sosok yang hampir sempurna, selain kemapanan dia juga punya ketulusan. Punya pemahaman lain bahwa cinta bukanlah sekedar rasa kebanggaan fisik, ataupun retorika nafsu belaka.
Pengorbanan dalam cinta, begitu manis diucapkan tapi sulit dilakukan. Memaknai pengorbanan ukuran Surya adalah menerima bagaimanapun keadaan, termasuk kehamilan Asih dari benih lelaki lain. Pengorbanan itu bagi Surya adalah menerima Asih. Bukan sekadar memahami konsekuensi dari pengorbanan, namun kebesaran cinta membuat Surya berkeras membawa kembali Asih ke untaian cita-cita cinta yang telah lama disusunnya. 
Kehormatan seorang wanita adalah pertaruhan paling mahal. Pada saat itu, tak banyak yang bisa menerima seorang gadis dengan mahkota yang sudah terenggut. Di desa, masih terasa sulit memberi toleransi bagi gadis yang pernah melakukan ritual intim di luar ikatan perkawinan, bahkan korban budak nafsu yang merasuk dalam sosok lelaki pun adalah serupa kehinaan. Apa yang terjadi pada korban, adalah kesialan teramat sangat, atau serupa kutukan.
"Akang sudah tahu semua yang menimpa Neng."
"Kalau sudah tahu, mengapa Akang masih menginginkan Neng? Neng sudah hancur! Tak ada lagi yang dapat diharapkan dari wanita yang sudah hancur." Berat menahan beban emosi, tak kuasa, dua titik air meluncur menggores pipi Asih.
"Yakinlah Neng! Akang menerima apa adanya keadaan Neng. Meski bukan darah daging sendiri, Akang akan menyayangi anak itu layaknya anak sendiri," Surya kian mantap. "Itu sudah suratan takdir. Biarkanlah berlalu, mari kita melangkah ke depan! Kita coba perbaiki semuanya dari awal!"
"Neng tak bisa Kang!"
Surya tersentak, "Kenapa?"
"Pokoknya Neng tak bisa."
"Berikan alasan tepat mengapa Neng tak bisa! Agar Akang tidak lagi berharap." Sebetulnya di balik kalimat ‘tidak lagi berharap’ itu tersimpan sebuah pengharapan besar.
"Tak perlu alasan, yang jelas Neng tidak bisa, titik! Silahkan cari gadis yang lebih layak, yang lebih baik dari Neng."
Surya tak segera menerima keputusan Asih. Semakin ditolak, semakin keras Surya berusaha mendapatkan Asih lagi. Takkan mudah menerima sebuah keputusan besar dengan dalih dalam kata-kata sederhana 'tak perlu alasan', dan sesungguhnya di balik itu terdapat banyak yang disembunyikan. Untuk sementara Surya meredam, berusaha tak memberi semacam tekanan pada Asih.
"Baiklah, kali ini Akang terpaksa terima keputusan Neng. Tapi, percayalah, Akang tulus, sama seperti dahulu. Sampai kapan pun Akang hanya menginginkan Neng! Teramat sulit menggantikan Neng dengan gadis manapun."
"Cukup Kang!" Asih bangkit untuk beranjak. Gesit Surya meraih tangan Asih, menahannya agar tak segera pergi.
"Entah harus dengan cara apa lagi Akang meyakinkan Neng. Pada akhirnya, mungkin saat ini tak ada pilihan lain selain menerima keputusan Neng. Tapi, kelak, walaupun Akang menikah dengan wanita lain, sungguh Akang tak bisa memberikannya cinta seperti cinta untuk Neng. Kalau boleh, nanti jika Akang sudah menikah, dan andai Neng dapat membuka hati, Akang akan mempoligami Neng. Bahkan jika harus, Akang bersedia menceraikannya agar bisa selalu bersama Neng."
"Sudah cukup Kang!" Asih benar-benar pergi, tak lagi peduli pada lelaki yang sangat menaruh harapan besar padanya.
Surya kaku menatapi kepergian Asih. Kali ini tak sedikit pun Surya tergerak menahan Asih. Samar-samar suara isak Asih menyelinap di celah-celah bilik bambu. Surya takkan menyerah, tekadnya, suatu saat dia akan mencoba lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates