SURYA kerepotan,kedua tangannya menjinjing keranjang.
Di sela pinggang dan sikut kanannya terapit bungkusan kertas warna cokelat
muda. Dia melangkah tergesa seakan memburu sesuatu. Rambutnya berderak diterpa angin kecil. Peluh kecil melumuri cambang tipisnya, membuat
berkilau disorot sinar mentari pagi. Penampilan necis kaum ningrat mestinya tak
kerepotan dan seharusnya Surya diiringi kacung yang membawakan barang-barang
tepat mengikutinya di belakang.
Lamunan Asih pudar manakala melihat lelaki yang
dikenalnya muncul dari kelokan menyusuri pematang, semakin mendekat. Seakan
melihat makhluk menakutkan yang harus dihindari cepat, setengah berlari, Asih
menuju kamarnya, bersembunyi
dan mengunci pintu.
Sampai di depan rumah, Surya menurunkan dua keranjang
beserta bungkusan yang diapit di pinggangnya. Dia keluarkan sapu tangan polos warna jingga dari saku kiri
dan mengelapkan pada kening bercucuran peluh. Hari masih pagi, tapi terasa
menyengat. Dia mengibaskan sapu tangan untuk mendapatkan angin sekedar
menyejukkan tubuhnya. Sebelum naik ke beranda rumah panggung itu, Surya
merapikan rambut dan kemejanya.
Pintu tampak terbuka, Surya semringah, pikirnya sang
pribumi sedang berada di rumah. Akan sangat membantu bila Abah dan Ema ada.
Intervensi kedua orang tua itu akan membantu memuluskan usaha Surya. Kerepotan
membawakan buah tangan pun tidak seberapa, itu harga yang layak dikeluarkan.
Serupa membeli suara, strategi pendekatan untuk mengumpulkan dukungan suara.
"Sampurasun…" Surya melongo ke dalam
rumah.
"Sampurasun..." untuk kedua kalinya
tak ada jawaban.
Waktu yang kurang pas. Seharusnya sore atau malam, di
saat seluruh penghuni berada di rumah, Surya datang. Sedangkan pagi hingga
siang, adalah saat-saat kebanyakan penghuni sibuk di luar rumah, entah pergi ke
ladang atau bekerja. Desa akrab dengan keheningan. Sebagaimanapun
keramaian terjadi, tidak akan bertahan lama,
setelahnya, desa kembali sepi.
"Sampurasun..."
Setengah kesabaran tergerus cuaca yang mulai terik.
Berkali-kali uluk salam, tiada balasan. Dari depan tak nampak keberadaan
seorang pun. Surya menahan kesabarannya yang tersisa separuh. Ingin segera
masuk memastikan ada orang
yang ditujunya, namun terhalang tata krama. Masuk begitu saja sebelum
dipersilahkan tuan rumah adalah ketidaksopanan, akan berbuah kecurigaan,
bisa-bisa disangka maling hendak menyatroni rumah.
Tak menemukan ada orang untuk bertanya, Surya mencari
ke belakang rumah, di kandang kambing yang condong berdiri di atas sungai
kecil, juga tak mendapati ada orang. Dia kembali ke beranda rumah, menunggu
beberapa saat lagi.
"Sampurasun, Neng!"
Surya tahu, Asih gadis rumahan, sangat jarang keluar,
atau tak perlu jika tidak terpaksa. Sebab, rumah bagi Asih adalah habitat
teraman untuk berlindung dari berbagai bahaya yang terdapat di luar sana.
Habis sudah kesabaran, Surya naik ke beranda rumah,
mengetuk pintu sekali lagi, "Sampurasun... Punten..."
Surya menaruh barang-barang bawaannya di atas meja bambu. Tak lagi tertahan
tata krama, dan tak peduli ada mata memandang curiga, Surya melangkah masuk.
"Abah..." Masih tak ada jawaban. Surya menyusuri
ruang depan, di belakang, dapur, tak tampak satu pun. Dia lalu menuju pintu
kamar Asih.
"Neng…" Tak ada jawaban. Sekali lagi Surya
memanggil, “Neng..” Masih tak ada jawaban. Ketiga kalinya surya memanggil, jika
tak ada sahutan, dia memutuskan pulang dan mungkin kembali lagi besok sore.
Sekali lagi, sambil mengetuk pintu kamar Asih dia menyeru, “Neng…”
"Buat apa ke sini lagi," Asih menyambut tak
ramah.
"Bukalah dulu, sebentar saja! Ada yang ingin
akang bicarakan," rayu Surya.
"Tidak! Lebih baik Akang pergi saja!" jawaban
Asih semakin ketus. Surya tak cukup terpengaruh, itu sudah diperkirakan
sebelumnya.
"Ayolah Neng! Sebentar saja."
"Tidak! Pergi…!" teriak Asih. Surya
bergeming, tetap menunggu Asih keluar menemuinya.
"Akang mohon, sebentar saja. Akang janji, setelah
ini Akang tak akan mengganggu Neng lagi," Surya makin gencar merayu.***
SUARA kunci terdengar ragu, isyarat pintu segera
terbuka. Ada rasa tak biasa di hati Surya. Puluhan kali bertemu, baru kali ini
jantung Surya berdebar lebih hebat daripada pertama kali dia jatuh cinta pada
Asih. Kecanggungan bergulung dengan keraguan. Walau terbesit kegagalan, Surya
berusaha menyanggah sangkaan hasil tak sesuai harapan.
Asih keluar dengan langkah kaki nampak berat dimuati
ragu. Kedua mata bertemu pandang, masing-masing dengan kilau tatapan berbeda.
Surya tersenyum kecil serupa basa-basi untuk meredakan kecanggungannya. Asih
membalas senyum lelaki itu sedikit saja, senyum kosong, tak berarti apa-apa, di
dalamnya hanya keterpaksaan.
Surya, anak lelaki tunggal Juragan Tirta, pengusaha
tambang pasir terbesar di kabupaten yang disegani selain lantaran
wibawa dan kekayaannya, juga karena kedermawanannya.
Rupa dan penampilan Surya, sangat padan untuk anak bangsawan. Perempuan mana
tak ingin mendapatkan cinta Surya. Ibu mana tak silau dan tak berharap anak
gadisnya disunting keturunan orang terkaya di desa. Rumah berlantai tiga yang tak
dimiliki penduduk desa lain, sawah dan tanah, mobil, serta berbagai aksesoris
kemewahan lain siap diwarisi Surya. Jaminan kehidupan enak bergelimangan harta
membuat dia menjadi sosok lelaki sempurna secara penilaian keduniawian.
Bukan kekayaan yang membuat Asih gampang melabuhkan
cintanya. Tapi sebagai gadis desa, Asih pun terbilang naif. Dia tak menyangkal,
awal mula ketertarikan hingga jatuh hati, itu karena ketampanan Surya. Namun,
ketulusan Surya yang akhirnya meruntuhkan tebal dinding hati Asih.
"Dasar gadis bodoh! Masa menolak disunting anak
orang berada yang sudah terang dapat memberikan kehidupan enak." Ucapan
tetangganya itu seringkali terngiang di telinga Asih.
Bukan kemewahan yang Asih inginkan. Kesederhanaan yang
melekat kuat, saking kuat, membuat tak tergiur kesenangan di atas kekayaan.
"Silahkan duduk! Sebentar, Neng ambilkan minum
dulu." Tak berapa lama Asih muncul dari balik tirai dapur dengan segelas
teh. Genggamannya sedikit gemeretak.
"Bagaimana kabarnya Neng?" Tanya Surya.
Sedikit basa basi mungkin akan meredakan ketegangan.
"Baik," singkat saja. Asih tertunduk. Tak
berani memalingkan pandangan menuju wajah Surya.
Beberapa saat suasana hening. Kata-kata menjadi berat
untuk meluncur di bibir Surya. Padahal, banyak kalimat ingin diungkapkan. Begitupun
Asih, hanya bisu menunggu, tak lebih berani dari Surya untuk mengawali
percakapan.
"Neng, bagaimana? Apakah masih ada kesempatan
untuk Akang?" Keberanian Surya terkumpul penuh, dia kembali membuka
percakapan, tapi tak sepatah pun Asih menjawab, lagi-lagi diam tertunduk.
"Akang janji akan membahagiakan Neng. Apa
pun yang Neng minta akan Akang berikan," rayu
Surya. Asih tetap diam, bahkan jawaban singkat ya atau tidak, masih belum buka
suara.
"Sungguh, Akang sangat mencintai Neng! Neng,
minta apa? Akan Akang penuhi. Rumah, tanah, atau perhiasan paling mahal sekalipun, akan Akang berikan. Neng minta sarat
apa
pun, akan Akang Lakukan."
"Tidak, bukan itu yang Neng inginkan."
"Terus apa?"
"Yang Neng mau, Akang berhenti mengganggu Neng.
Jangan pedulikan Neng lagi!" Ada banyak sesak di dada Asih. Ingin
menumpahkan, tapi semakin ingin tertumpah, semakin tertahan.
"Mari kita mulai kembali dari awal!"
"Tidak… Cukup Kang! Neng benar-benar tidak
yakin."
Surya tahu di balik kelembutan si kembang desa
tersimpan pendirian yang lebih keras dari batu karang, tak mudah tergoyahkan.
Jika hanya dengan air, butuh waktu sangat lama untuk melubangi batu karang itu.
Ibarat gelombang ombak yang tak bosan melubangi karang, seperti itulah Surya.
Surya diam sejenak, lekas memutar otak mencari cara
apa lagi untuk dapat meyakinkan Asih. Awalnya sangat sulit bagi Surya menerima
keadaan Asih saat itu. Tak mudah menjaga kembang desa agar tak layu tersentuh
nafsu. Bahkan Surya tak terlintas untuk mencoba memetiknya, namun kenyataan
pahit, kembang desa itu telah dipetik lelaki lain. ***
CINTA, membuat mata telinga Surya tertutup untuk
melihat dan mendengar ironi keadaan Asih. Ketulusan, sangat langka dimiliki
lelaki yang dengan setumpuk uang mampu membeli gadis manapun yang diinginkan.
Surya, sungguh sosok yang hampir sempurna, selain kemapanan dia juga punya
ketulusan. Punya pemahaman lain bahwa cinta bukanlah sekedar rasa
kebanggaan fisik,
ataupun retorika nafsu belaka.
Pengorbanan dalam cinta, begitu manis diucapkan tapi
sulit dilakukan. Memaknai pengorbanan ukuran Surya adalah menerima bagaimanapun
keadaan, termasuk kehamilan Asih dari benih lelaki lain. Pengorbanan itu bagi
Surya adalah menerima Asih. Bukan sekadar memahami konsekuensi dari
pengorbanan, namun kebesaran cinta membuat Surya berkeras membawa
kembali Asih ke untaian cita-cita cinta yang telah lama disusunnya.
Kehormatan seorang wanita adalah pertaruhan paling
mahal. Pada saat itu, tak banyak yang bisa menerima seorang gadis dengan
mahkota yang sudah terenggut. Di desa, masih terasa sulit memberi toleransi
bagi gadis yang pernah melakukan ritual intim di luar ikatan perkawinan, bahkan
korban budak nafsu yang merasuk dalam sosok lelaki pun adalah serupa kehinaan.
Apa yang terjadi pada korban, adalah kesialan teramat sangat, atau serupa
kutukan.
"Akang sudah tahu semua yang menimpa Neng."
"Kalau sudah tahu, mengapa Akang masih menginginkan Neng?
Neng sudah hancur! Tak ada lagi yang dapat diharapkan dari wanita yang sudah
hancur." Berat menahan beban emosi, tak kuasa, dua titik air meluncur
menggores pipi Asih.
"Yakinlah Neng! Akang menerima apa adanya keadaan
Neng. Meski bukan darah daging sendiri, Akang akan menyayangi anak itu layaknya
anak sendiri," Surya kian mantap. "Itu sudah suratan takdir.
Biarkanlah berlalu, mari kita melangkah ke depan! Kita coba perbaiki semuanya
dari awal!"
"Neng tak bisa Kang!"
Surya tersentak, "Kenapa?"
"Pokoknya Neng tak bisa."
"Berikan alasan tepat mengapa Neng tak bisa! Agar
Akang tidak lagi berharap." Sebetulnya di balik kalimat ‘tidak lagi berharap’ itu tersimpan sebuah pengharapan
besar.
"Tak perlu alasan, yang jelas Neng tidak bisa,
titik! Silahkan cari gadis yang lebih layak, yang lebih baik dari Neng."
Surya tak segera menerima keputusan Asih. Semakin ditolak, semakin keras Surya berusaha mendapatkan Asih lagi.
Takkan mudah menerima sebuah keputusan besar dengan dalih dalam kata-kata
sederhana 'tak perlu alasan', dan sesungguhnya di balik itu terdapat banyak
yang disembunyikan. Untuk sementara Surya meredam, berusaha tak memberi semacam
tekanan pada Asih.
"Baiklah, kali ini Akang terpaksa terima
keputusan Neng. Tapi, percayalah, Akang tulus, sama seperti dahulu. Sampai
kapan pun Akang hanya menginginkan Neng! Teramat sulit menggantikan Neng dengan
gadis manapun."
"Cukup Kang!" Asih bangkit untuk beranjak.
Gesit Surya meraih tangan Asih, menahannya agar tak segera pergi.
"Entah harus dengan cara apa lagi Akang
meyakinkan Neng. Pada akhirnya, mungkin saat ini tak ada pilihan lain selain
menerima keputusan Neng. Tapi, kelak, walaupun Akang menikah dengan wanita
lain, sungguh Akang tak bisa memberikannya cinta seperti cinta untuk Neng.
Kalau boleh, nanti jika Akang sudah menikah, dan andai Neng dapat membuka hati,
Akang akan mempoligami Neng. Bahkan jika harus, Akang bersedia menceraikannya
agar bisa selalu bersama Neng."
"Sudah cukup Kang!" Asih benar-benar pergi,
tak lagi peduli pada lelaki yang sangat menaruh harapan besar padanya.
Surya kaku menatapi kepergian Asih. Kali ini tak
sedikit pun Surya tergerak menahan Asih. Samar-samar suara isak Asih menyelinap
di celah-celah bilik bambu. Surya takkan menyerah, tekadnya, suatu saat dia
akan mencoba lagi.
0 komentar:
Posting Komentar