Senin, 18 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-18

Adhy M. Nuur


SESUAI janji minggu lalu, siang ini Asih akan menerima hasil pemeriksaan dari dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin. Ketimbang terlambat, satu jam sebelumnya Asih bersama Koma sudah siap menunggu. Jam di dinding lobi rumah sakit menunjukkan pukul satu lewat tujuh menit. Dengan harap-harap cemas Asih tak sabar ingin tahu hasil diagnosa kesehatan Koma kecil dari dokter di rumah sakit itu.

Asih dipersilahkan menunggu. Di bangku depan lorong menuju ruang UGD Asih menunggu, hanya duduk termenung, sesekali bangkit, mengintip ke kaca jendela ruang dokter spesialis saraf. Sedangkan Koma kecil lelap tak terganggu. Lebih dari satu jam menanti, pintu ruang dokter spesialis saraf terbuka. Dua orang keluar, disusul kemudian seorang perawat mempersilahkan Asih masuk. ***



"APAKAH anak saya baik-baik saja? Bisakah anak saya sembuh Pak Dokter?" belum juga duduk, Asih memberondong Dokter Budi dengan pertanyaan penuh penasaran.

"Sebentar, silahkan duduk dulu Bu Asih!" Sang dokter menangkap kecemasan dari roman muka Asih.

"Bagaimana Pak Dokter? Tidak ada penyakit yang parah kan dengan anak saya? Apakah anak saya bisa disembuhkan Pak Dokter?" Asih membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman.

Dokter Budi memberikan selembar map merah tua, di dalamnya berisi dua lembar catatan. Asih langsung menyambar dan membukanya tergesa. Segera dia baca, lembar pertama dari tulisan paling atas, belum dimengertinya. Beralih pada lembar kedua, ditelusuri kalimat demi kalimat, hingga bagian bawah kesimpulan hasil pemeriksaan menerangkan Koma kecil mengidap epilepsi. Epilepsi, begitu asing di telinga Asih. Bahkan baru kali itu dia temukan dari catatan pemeriksaan Dokter Budi. Yang dia tahu hanya sakit tipes, pilek, batuk, atau rematik –penyakit yang diderita Mak Acem bertahun-tahun.

Mata Asih tertuju lagi pada kata "epilepsi" dan kembali mencari-cari kelanjutan keterangan yang lebih memperjelas apa sebenarnya epilepsi itu. Kata per kata, kalimat per kalimat, dengan cermat, tapi masih saja tak dia mengerti. Separuh tulisan banyak istilah-istilah kedokteran yang tak dipahami Asih.

"Anak saya mengidap epilepsi?”

"Menurut pemeriksaan, kami menyimpulkan anak Bu Asih mengidap epilepsi.”

“Epilepsi itu apa Pak Dokter?" tanya Asih. Kekhawatiran semakin menyeruak di hati dan pikirannya.

“Epilepsi itu penyakit yang terjadi karena ketidaknormalan sinyal dari neuron ke otak, sehingga mengganggu saraf otak dan dampaknya bisa menyebabkan anak Bu Asih mengalami kejang-kejang. Penyakit ini bukanlah penyakit menular, dan…" Dokter Budi menghentikan penjelasannya. Dia mendapati alis mata Asih mengerut yang membuatnya tak kuasa melanjutkan.

Sejak awal membaca laporan hasil pemeriksaan, dahi mengerut, alis turut mengerut, hidung dan telinga merekah, bahkan dahi Asih semakin mengerut lagi manakala Dokter Budi memberikan penjelasan yang sulit dia cerna.

"Pak Dokter, saya tak mengerti!" polos Asih. Tergelitik dengan keluguan pasiennya, Dokter Budi tersenyum sedikit naif namun berusaha tetap ramah.

"Jadi begini Bu Asih, epilepsi itu semacam sakit kepala yang cukup parah. Karena itu anak Bu Asih sering mengalami kejang-kejang," jelas Dokter Budi, berharap penjelasan sesederhana itu dapat dimengerti Asih.

"Astagfirullah, apakah bisa disembuhkan pak dokter?"

Dilematis, satu sisi sebagai dokter, harus memberitahukan yang sebenarnya, di satu sisi lain, Dokter Budi tak tega. Dia merasa tak enak hati akan membuat pasiennya lebih khawatir.

"Pak Dokter, apa sakit anak saya bisa sembuh?" tanya Asih lagi.

"Insya Allah, kita sama-sama berusaha mengupayakannya," Dokter Budi sedikit diplomatis.

"Jadi bagaimana Pak Dokter? Anak saya bisa sembuh atau tidak?" Asih butuh kepastian.

"Sulit untuk disembuhkan seratus persen, tapi intensitas kekambuhannya bisa ditekan, mudah-mudahan bisa sampai tak kambuh. Saya tak dapat menjamin dan memastikannya. Semua tergantung kepada kehendak Allah, serta segenap usaha kita untuk mengikhtiarkan pengobatannya," sang dokter meyakinkan.

"Jadi saya harus bagaimana Pak dokter?"

"Bu Asih jangan putus asa. Yakinlah jika berusaha dengan sebaik-baiknya dan tawakal kepada Allah, Insya Allah bisa sembuh. Salah satu cara untuk membantu pengobatan anak Bu Asih, ibu harus mengikuti saran dan anjuran saya!" jelas Dokter Budi.

"Ya Pak Dokter! Supaya anak saya bisa sembuh, saya akan menuruti kata-kata pak dokter."

"Saya sudah catatkan resep obat, nanti Bu Asih bisa tebus di apotek. Obatnya harus diminum dengan rutin dan teratur." Sang Dokter menunjukkan secarik kertas kecil resep obat yang dilampirkan di dalam map itu.

"Ya Pak Dokter! Terus saya harus bagaimana lagi?" Asih makin antusias.

Dokter Budi menghela nafas, bersiap memberikan penjelasan yang cukup panjang. Lagi-lagi di dalam hati dia merasa sangsi apakah Asih dapat mengerti dan mengingatnya.

"Begini Bu Asih, pertama, jaga kondisi fisiknya. Anak ibu tidak boleh terlalu lelah dan istirahatnya harus cukup. Hindari aktivitas berlebihan yang dapat menguras tenaganya. Kedua, Bu Asih harus memperhatikan makanannya. Anak ibu harus banyak mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Jangan terlalu banyak makan daging. Dan usahakan juga agar dapat buang air besar dengan teratur. Ketiga, awasi dengan hati-hati. Jangan biarkan bermain api, memanjat pohon, berdiri di pinggir sungai atau di kolam, karena itu bisa membahayakan anak Bu Asih." Dokter Budi jeda sejenak mengambil helaan nafas. Asih mangut-mangut kecil, berusaha mengingatinya.

"Keempat, kalau terlihat gejala penyakit anak Bu Asih akan kambuh, segera berikan satu hingga dua sendok garam dan dihirupkan bau bawang putih, itu untuk mencegahnya kambuh lebih parah. Kelima, kalau anak Bu Asih sudah pingsan, segera baringkan telentang dan pakaiannya dilonggarkan, bila perlu sumpal mulutnya dengan kain bersih yang sudah dilipat atau benda apa saja yang halus agar lidahnya tidak tergigit. Bagaimana, Bu Asih mengerti dan bisa mengingat apa yang saya jelaskan barusan?"

"Aduh Pak Dokter, saya tak bisa mengingatnya. Panjang sekali ya.” Asih menggaruk pipi.

“Hmm,” Sekian panjang dan jelas menerangkan, Asih tak mampu mengingatinya. Sang dokter tergelitik, dongkol sekaligus geli melihat respon Asih.

“Ditulis saja ya Pak Dokter! Nanti saya hafalkan."

"Baiklah, saya tulis saja. Nanti bu asih hafalkan. Awas, jangan sampai lupa ya!" Dokter Budi menyobek selembar kertas dari sebuah buku catatan dan meraih pulpen yang terselip di saku jas kemejanya. Beberapa menit Dokter Budi mencatat, Asih sabar menunggu dan memperhatikan dengan polosnya. Keringat kecil mengucur di sudut kiri kening Dokter Budi.

"Ini Bu Asih catatannya," Dokter Budi menyodorkan pada Asih. "Bagaimana Bu Asih, tulisannya jelas kan?" Tanya Dokter Budi.

"Jelas Dokter. Ini saja ya?"

"Ya!" ***



USAI menyelesaikan administrasi dan menebus resep obat di loket rumah sakit, Asih melangkah tertatih pelan. Matanya terpusat pada kalimat demi kalimat catatan dari Dokter Budi. Kepala Koma kecil yang lelap di gendongannya tertutupi kertas. Sambil berjalan, mulut Asih bergumam menghafal. Saking fokus membaca, hampir saja dia menabrak perawat yang berpapasan menuju ke arahnya. Sampai di luar gerbang rumah sakit, Asih menyebrang jalan dan mencegat angkutan umum untuk langsung pulang. Di dalam angkutan, perhatian Asih kembali terpusat pada kertas yang digenggamnya. Cukup lama tertegun pada catatan itu, tujuan perhentiannya terlewat. Asih tersadar setelah sopir mengingatkan angkutan sudah masuk perhentian terakhir, terminal Dago. Asih menengok sekitar angkutan, tinggal dirinya seorang dan bocah yang terlelap di gendongannya. Dia bergegas turun, membayar ongkos lalu naik angkutan arah kebalikan dengan jurusan yang sama menuju tujuannya, pulang ke rumah baru, tempat tinggal baru sesuai saran Mak Acem. Rumah mendiang Mak Anih, sahabat karib sekampung Mak Acem.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates