Jumat, 22 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-22

Adhy M. Nuur
SUATU sore cerah, saat paling mengasyikan bagi Koma untuk bermain di pematang sawah depan rumah. Koma kecil bermain di sungai kecil pematang, airnya tak begitu dalam, biasa dipakai saluran irigasi. Saat berjalan menyusuri bibir sungai kecil itu, tiba-tiba Koma terhuyung-huyung lalu roboh. Badan kejang-kejang disertai buih meluncur deras di mulutnya. Seorang petani mendapati Koma hampir tenggelam menolong dan berteriak memanggil ibunya. Sang ibu panik luar biasa. Selain panik dengan keadaan anaknya, dia takut epilepsi Koma terendus sang petani.

Asih segera membawa Koma masuk dan membaringkannya di kursi, segera memberikan pertolongan sesuai petunjuk Dokter Budi yang masih dia ingat. Awalnya petani itu menganggap Koma terjatuh membentur sesuatu hingga pingsan dan hampir tenggelam, tapi melihat kejang-kejang Koma, sang petani memberondong Asih dengan banyak tanya. Asih tak mampu segera menjawab, yang ada hanya panik bercampur bingung. Entah benar-benar bingung, atau sebuah akting yang ditunjukkan untuk menyembunyikan epilepsi Koma, atau entah keduanya.

Kebetulan sekali Karman berada di rumah. Biasanya dia sukar tinggal berlama-lama di rumah. Hobinya keluyuran tak karuan. Meski kakak lelaki Asih itu tak acuh, seringkali tidak peduli dengan keadaan keluarganya di rumah, tetapi dia masih punya sisi baik, sisi kepedulian yang tercetus lantaran menyaksikan sesuatu yang menuntut nurani bertindak sesuai dengan keharusannya sebagai manusia. Karman ikut memberikan pertolongan pada kemenakannya, walau dia sendiri salah tingkah. Untung, Karman masih bisa tenang. karman teringat anjuran Abah agar merahasiakan epilepsi Koma. Mengikuti anjuran Abah memang tak ada untung atau ruginya, tetapi sisi baiknya sedang muncul.

Sang petani tak berhenti bertanya apa, mengapa dan kenapa dengan Koma. Karman mewakili sang adik menjawabnya. Dia mendadak cerdas mengarang cerita, memberikan penjelasan pada sang petani kalau kejang-kejang bocah itu akibat digigit ular. Untuk lebih meyakinkan, Karman berpura-pura tahu apa yang seharusnya dilakukan. Dia berakting melakukan pertolongan pada Koma. Cukup berhasil, sang petani dibuat percaya, tak lagi banyak bertanya, lalu pamit setelah yakin anak itu ditangani dengan layak.

Sebetulnya bukan akting Karman semata yang berhasil menyembunyikan epilepsi Koma dari si petani, mereka patut berterimakasih pada lumpur. Lumuran lumpur menyamarkan busa yang berhamburan dari mulut Koma manakala epilepsinya kambuh. Untuk sementara, tak ada orang luar yang tahu epilepsi Koma. ***



KEDUA kalinya, di suatu siang, bocah-bocah desa menemukan Koma kejang-kejang di bawah pohon rambutan. Sekujur tangan Koma dikerubungi semut merah. Koma bermain terlalu jauh dari jangkauan pengamatan Asih. Beruntung anak-anak desa belum mengerti yang sebenarnya menimpa Koma. Asih mudah saja mengarang cerita lagi, dan begitu gampangnya bocah-bocah desa itu percaya kejang-kejang Koma disebabkan alergi gigitan semut. ***



SABTU malam, Asih membawa serta Koma pada kenduri di rumah kerabatnya. Di tengah keramaian hajat, epilepsi Koma mendadak kambuh. Bukan saja Asih yang panik, Ema, warga yang hadir dan sang empunya hajat dibuat kalang kabut. Akhirnya semua mata di sana menyaksikan langsung kekambuhan epilepsi Koma.

Asih mencari-cari alasan lagi, kejang-kejang Koma mungkin disebabkan keracunan makanan. Tapi, kali ini Asih salah langkah, cerita itu memancing tanya besar, sekaligus menimbulkan sangkaan pada sang empunya hajat. Kalaupun makanan di hajatan yang disuguhkan itu mengandung racun, mengapa warga atau anak-anak lain tidak keracunan juga. Perdebatan kecil dan saling sangka pecah dalam keramaian kenduri. Bahkan ada di antara tamu yang hadir menduga Koma kerasukan jin. Itu diiyakan saja oleh Asih dan keluarga sebagai bumbu yang dapat menutupi epilepsi Koma.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates