Kamis, 21 Juli 2016

Rindu itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi - Stadium 2-21

Adhy M. Nuur
LANGKAH kaki Asih gontai menyusuri trotoar jalan. Peluh bercucur bercampur debu jalanan yang lalu-lalang diterpa angin. Terik menyengat. Koma kecil merengek memberi tanda jika dia kepanasan. Asih menutupi Koma dengan ujung sinjang kebat[1] cokelat dengan warna yang memudar. Koma kecil tak berhenti merengek, seakan dia bertanya; apa yang terjadi dan mengapa?

Halte bus ramai calon penumpang, Asih berhenti sekadar berteduh dari terik siang yang semakin menyengat. Dia menaruh tas berisi beberapa potong pakaian. Itulah harta berharga yang mereka punya.

Asih duduk di kursi tembok halte. Sebelah kiri, seorang perempuan tua mengemis. Pengemis tua itu mengingatkan Asih pada sosok ibunya. Lalu tercetus, mungkin pulang saja ke desa, kampung halamannya. Tapi dia sangsi. Orang desa sudah jelas-jelas tak menginginkan kehadirannya. Asih dianggap membawa petaka bagi desa. Tapi kerinduan pada Abah dan Ema semakin mencuat. Asih tak begitu tahu angkutan apa saja yang dapat ditumpangi menuju desa, tapi dia masih ingat jalan pulang dari terminal Singaparna menuju rumahnya.

Asih yakin, Abah dan Ema sudah sangat ingin bertemu dia. Bertahun-tahun Asih tak bertemu keluarganya. Terlebih, dia bersama Koma, tentu mereka ingin sekali melihat cucunya. Orang-orang di desa mungkin juga takkan tega menghakimi anak tak berdosa itu. Dengan kehadiran Koma, Asih berharap warga di desa akan terbuka menerima kembali untuk memperbaiki semuanya. Dan lagi, pikir Asih, kehidupan desa lebih cocok untuk Koma, akan membantu kestabilan kesehatannya. ***



BUS Damri jurusan terminal Cicaheum berhenti di hadapan Asih untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Tak pikir panjang lagi, Asih segera meraih tas yang diletakkan di bawah. Dia melangkah mantap menuju pintu bus dan naik, berjejalan dengan penumpang lain yang berdiri di pintu bus, lalu berdesakan untuk mencari tempat berpegangan. Aroma peluh berterbangan menghiasi seisi bus yang sesak penumpang. Tak tersisa satu pun bangku kosong. Seorang pemuda baik hati mempersilahkan Asih duduk di kursinya.

Bus yang ditumpangi Asih melewati Cicadas, daerah yang pernah dia tinggali dengan segala romantikanya. Serentak, Asih terbayang sosok perempuan tua yang telah tulus menyayanginya, dengan terbuka menerima dan menganggapnya sebagai bagian utuh dari ikatan kekeluargaan, dialah Mak Acem. Dia juga teringat pasar dengan suasana dan baunya. Dalam hati, suatu hari Asih akan mengunjungi Mak Acem, entah kapan, belum pasti, suatu hari nanti, dia berjanji. Karena begitu sulit melupakan sosok orang yang banyak berjasa kepadanya. Tak mudah melepaskan orang yang sangat berarti, yang dengan tulus mencintai dan menerima apa adanya.

Beberapa menit, bus sampai di pintu gerbang Terminal Cicaheum. Begitu turun dari bus, Asih bertanya pada orang-orang di terminal angkutan apa yang mesti dia tumpangi untuk menuju kampung halamannya. Tak menunggu lagi, Asih segera menuju bus yang akan membawa ke tujuannya, Terminal Singaparna. Dari sana, Asih dapat menyambung angkutan desa menuju kampung halaman yang sekian lama ditinggalkannya.

Sebentar saja bus mengetem di terminal. Ada rasa ragu bersemayam dalam diri, mungkinkah ini langkah tepat. Tapi, tak ada pilihan lain yang lebih baik bagi Asih. Sebagai seorang wanita, atau tepatnya seorang ibu, ini sebuah keberanian besar menempuh segala resiko untuk mencoba memulai kembali dari awal, memperbaiki semuanya, di desa, bersama orang-orang yang pernah tega membuangnya jauh dari keluarga. ***



DUA setengah jam perjalanan cukup melelahkan. Bus melaju dengan lancar, tak ada kemacetan yang menghambat, hanya sekali singgah untuk beristirahat di sebuah tempat makan, sekadar meredakan lelah supir dan penumpang lain. Bus sampai di perhentian Terminal Singaparna, satu kali lagi menumpang angkutan umum, angkutan pedesaan atau ojek sepeda motor, akan sampai di kampung halamannya. Asih melangkah turun dari bus. Ketakutan hal buruk kembali terjadi pada diri dan anaknya di desanya nanti, menyeruak, membuat pijakan langkah oleng, ragu berjalan.

“Sudahlah kembali saja, atau pergi ke tempat lain, selain ke rumah, selain ke desa. Mungkin akan ada sesuatu yang lebih buruk dari sebelumnya,” celoteh ragu kata hati Asih. Tapi, Asih pikir itu juga bukan pilihan tepat. Sisa uang takkan cukup. Lagi pula Asih tak tahu ke mana lagi harus pergi. Asih putuskan meneruskan tujuannya dengan segala resiko yang siap dihadapi. Koma kecil menjadi penguat langkahnya. Khawatir keraguan itu akan menjegal, Asih segera mempercepat langkah.

Lama sekali Asih meninggalkan desa, banyak yang berubah. Bangunan-bangunan baru, banyak di antaranya persawahan disulap jadi perkampungan. Desa menjadi lebih ramai. Bayangan wajah Abah dengan jenggot tipisnya kembali terlintas, mungkin saat ini sudah panjang atau sudah habis dicukurnya. Benjolan kecil di sudut kening kiri Ema mungkin saat ini sudah membesar atau hilang sama sekali. ***



MOBIL berhenti tepat di depan gapura, tiga ratus meter menuju rumah. Sudah lama Asih tak pernah menaiki angkutan pedesaan itu. Mobil tua dengan bising knalpotnya, lebih tua dibanding usia Asih, tapi masih gesit melahap kelokan dan tanjakan-tanjakan pedesaan. Kerinduan tak terbendung lagi, Asih semakin mempercepat langkah.

Gapura itu tampak baru direnovasi. Dulu, sudah condong dan hampir ambruk. Seingat Asih, dulu tak ada tulisan selamat datang. Asih menghela nafas, dapat lagi menikmati sejuk udara dan bau desa. Bau desa yang lebih lugas dan lebih ramah. Berbeda dengan bau di pasar, yang aneka ragam campuran bau menyatu membuat semakin bias, sulit dipilah dan dijelaskan jenis baunya.

Beberapa orang masih ingat Asih, kembang desa ternoda yang sempat menghebohkan desa. Mereka melihat kedatangan Asih menunjukkan rasa sinisnya. Berpapasan, membuang pandangan, bahkan membalas sapaan Asih pun tidak. Seolah dalam hati mereka berkata, "Tuh si pembawa bencana kembali lagi ke desa." Beberapa lainnya acuh tak menghiraukan. Ada pula yang hanya melemparkan senyum sekadar basa basi.

Saat kedatangan Asih, Ceu Iroh kebetulan sedang di rumah, menyambut penuh kerinduan pada adiknya yang sekian lama tak dijumpai. Sebuah pelukan hangat dari Ceu Iroh, walau seringkali kakak adik itu tak akur lantaran kecemburuan sebab seringkali si bungsu paling dimanja dari anak-anak lain

Asih lekas duduk di kursi kayu beralas jok kulit imitasi yang cukup keras. Kursi itu tak banyak berubah, hanya kayunya yang merapuh. Di kursi itu mereka sering menghabiskan waktu sore untuk berbincang tentang apa saja. Ema muncul dari balik tirai dapur. Asih segera bangkit menuju sang ibu, lalu bersimpuh di kakinya. Kerinduan segera tertumpah ruah. Hampir dua tahun lebih Ema kehilangan jejak, bahkan Ema telah mengikhlaskan, hidup atau mati sang anak yang paling dibanggakan karena penurut, rajin dan sangat jarang membantah. Tak seperti Ceu Iroh yang berjiwa pemberontak lantaran cemburu karena Ema sering memanjakan Asih dari pada dirinya. Tak juga seperti Kang Karman, kakak lelaki Asih, yang walaupun sangat jarang menunjukkan pemberontakannya, tapi sangat tak acuh pada apa pun yang berhubungan dengan keluarga. Seperti manakala Asih diusir dari desa, Karman tak berbuat banyak, apalagi membela, dan seolah merestui hal itu terjadi.

Sesungguhnya Ema berusaha tidak membeda-bedakan memperlakukan anak-anaknya. Tapi, kadang lebih mengutamakan Asih, sebab itu amanat ibunya Ema yang berpesan supaya memberikan perhatian lebih pada Asih. Si bungsu punya keistimewaan dan kelemahan lebih dibanding saudara-saudaranya. Entah apa keistimewaan dan kelemahan itu, Ema tak tahu, yang terpenting memenuhi amanat.

Ema menyambut Koma kecil, yang menjadi cucu pertamanya, karena baik Ceu Iroh maupun Kang Karman, belum juga menikah. Entah serupa kutukan yang menimpa keluarga itu, hampir semua anak Ema selalu menemukan kesulitan dan kegagalan dalam urusan jodoh. Itu terjadi pada Asih, yang seringkali gagal di tengah jalan. Juga terjadi pada Ceu Iroh yang hampir menikah dengan lelaki pilihannya, tapi dua minggu sebelum pertunangan, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Ceu Iroh membatalkan pertunangannya. Padahal, tak ada alasan kuat yang memaksa mereka berpisah.

Ema menjelma wartawan yang haus berita, sangat antusias menggali seluruh informasi apa pun dari narasumbernya, Asih. Banyak tanya terlontar dari Ema, kenapa, dimana dan sederet kata tanya lain. Seperti dulu, Ema adalah muara kasih sayang, muara segalanya bagi Asih. Apa pun yang terjadi, bahkan apa saja yang melintas di benak, Asih selalu bercerita dan bertanya pada sang ibu. Kedekatan yang umum terjadi di antara anak perempuan dan ibunya.

Berkali-kali Ema mengelus dada. Tersirat kesedihan di mata sang ibu saat mendengar kisah perjalanan Asih selama jauh dari desa. Sungguh tragis, saat itu Ema pun tak dapat berbuat apa-apa selain berdoa.

Asih berniat tinggal di desa lagi. Baginya, tiada perlindungan yang lebih aman dan nyaman selain keluarga sendiri. Tidak ada sosok malaikat pelindung yang paling telaten selain Ema. Tak ada sosok pembela yang lebih kuat selain Abah. Dan, tak ada lingkungan yang lebih nyaman selain di desa, lebih sehat dan lebih sesuai untuk pertumbuhan Koma kecil. Ema menyambut senang, dia tak mau terpisah jauh dari Asih lagi. Tapi tidak bagi sebagian warga yang masih belum bisa menerima Asih. Mereka masih terlalu takut untuk mengulang beberapa peristiwa janggal, dan kejadian-kejadian buruk yang menimpa desa. Mereka skeptis dengan kehadiran Asih. Tapi tak sedikit pula yang berbelas kasihan dengan tulus menerima Asih kembali. Sebagian lagi, tak peduli, mereka tak merasa untung atau dirugikan dengan kehadiran Asih kembali.

Asih bercerita kondisi Koma kecil. Ema kaget dan begitu sedihnya mendengar itu, begitupun Abah. Mereka berinisiatif merahasiakan epilepsi cucunya itu, agar penyakit Koma tak dijadikan alasan untuk kembali menjauhkan Asih dari keluarga. Abah juga menyarankan agar Asih mengarang cerita siapa ayah si Koma yang sekarang. Asih mengamininya, itu jalan terbaik untuk membuatnya bertahan di desa. ***



KOMA kecil akan tumbuh menjadi anak desa. Lingkungan desa akan lebih mendukung kestabilan kesehatannya. Koma kecil senang bermain di sawah. Meski belum punya teman akrab anak seusianya, dia cenderung anteng bermain sendiri, dan malah merasa tak nyaman bila berinteraksi dengan anak-anak lain, apalagi dengan orang-orang baru. Pematang sawah dan halaman depan berumput menjadi tempat kesukaannya bermain. Asih tak khawatir membiarkan Koma bermain sendirian, dia dapat mengawasi dari beranda rumah.

Koma kecil mendapat pengawasan ekstra ketat dari sang ibu, terutama saat berada di luar rumah. Asih dan keluarga terpaksa membatasi gerak-gerik Koma untuk keluar rumah dan bergaul dengan orang-orang.

Insting Asih terhadap gejala kekambuhan penyakit Koma semakin lama semakin terasah. Dia dapat merasakan gejala kekambuhan penyakit anaknya. Bila gejala itu muncul, Asih bersegera membawa Koma masuk dan menyembunyikannya dari pandangan siapa pun, termasuk dari tetangga yang sekaligus masih kerabat. Hingga beberapa bulan berlalu, tak ada satu pun tetangga dan warga desa yang tahu epilepsi Koma.




[1] Kain Batik panjang, biasa digunakan pakaian bagian bawah kaum perempuan Sunda.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates