Rabu, 05 Agustus 2009

Euforia Champion

Adhy M. Nuur
Cerpen Adhy M. Nuur

Empat kaleng minuman ringan tanpa alkohol. Satu bungkus kemasan besar kacang. Rokok dua bungkus, korek api dan asbak besar sudah siap di atas meja. Apalagi yang kurang? Bukankah persiapan yang baik akan sangat menentukan hasil yang akan diraih? Bukankah permulaan yang baik akan menentukan akhir yang baik pula? Seperti perang saja, semua harus dipersiapkan dengan baik. Kata dia, dalam perang, kekurangan dan kesalahan sekecil apapun akan berakibat besar.

Jam di dinding masih menunjukan pukul dua belas lewat lima menit. Kira-kira satu setengah jam lebih lagi. Baginya, semua harus dipersiapkan dengan sempurna. Kalau tidak begitu, pasti uring-uringan. Sebentar-sebentar meracau, “Serasa ada yang kurang. Sepertinya tidak lengkap. Kurang inilah, kurang itulah.” Seperti sudah berkompromi, aku tidak pernah memperdebatkannya. Tapi, kuncinya, karena aku dan dia sudah tahu kapan salah satu diantara kami harus mengalah atau ngotot mempertahankan egonya. Aku pikir, toleransi dan pengertian adalah kunci utama langgengnya sebuah hubungan yang terjalin.

Jujur saja, sebenarnya aku tak suka. Bagiku terasa berlebihan. Tapi karena toleransi, aku memakluminya. Meski harus berpura-pura menunjukan sikap yang sama dengannya. Begitulah manusia, untuk mempertahankan sesuatu, kadang harus berpura-pura, kadang harus menyembunyikan ketidaksukaan. Untuk mendapatkan sesuatu, acapkali mesti dibayar dengan keterpaksaan melakukan sesuatu yang sebetulnya tak disukainya.

Beberapa kali ia menoleh jam dinding. Berkali-kali ia memindahkan saluran televisi. Entah acara apa yang hendak dicarinya. Gelagatnya seperti sedang menantikan sesuatu yang penting. Diraihnya sekaleng minuman lalu direguknya dengan cepat. Regukannya terasa kentara, seolah kehausan yang amat sangat. Mungkin begitulah yang dilakukannya sekadar meredakan ketegangan. Kira-kira setengah jam lebih lagi pertandingan akan dimulai. Setengah jam yang terasa setengah tahun baginya. Baginya menunggu adalah hal yang sangat melelahkan, meskipun itu hanya setengah jam.

Setiap kali ia mengeluh lamanya menunggu setengah jam, saat itu aku merasa jengah. Hampir lima detik sekali saluran tv di bolak-balik. Pening kepalaku menyaksikan hal itu. Apa mau dikata, aku tak berani menunjukan ketidaksukaan itu. Aku mengalihkannya dengan mengutak-atik handphone, seolah sibuk membalas sms.

Ponselnya berdering, lalu diangkatnya. Sudah kuduga, yang diobrolkannya tak jauh-jauh dari topik itu. Ia tampak serius dengan lawan bicaranya di seberang sana. Sayup-sayup terdengar seperti sedang berbicara dengan seorang lak-laki. Aneh, kupikir ia tak pernah membawa urusan bisnis ke rumahnya, apalagi di jam-jam seperti saat ini. Namun aku masih penasaran, apa yang sedang dibicarakannya. Jangan-jangan membicarakan salah seorang wanita incarannya. Tapi, kalau soal wanita, hampir tidak ada rahasia diantara kami. Aku tahu wanita-wanita mana saja yang sedang ia dekati untuk dijadikannya teman selingkuh.

***

Mengapa harus sepakbola, bukan bulutangkis, voli, atau setidaknya golf. Menurutnya, ada sesuatu yang aneh kalau laki-laki tidak gila bola. Baginya, berbicara sepakbola, bukan sekedar bicara menendang bola, lapangan rumput hijau, gawang, atau penalti. Berbicara sepakbola, juga berbicara seni, gaya hidup, trend dan segudang alasan lain yang dijadikannya pembenaran untuk meneruskan kegilaannya itu. Katanya, topik apa lagi yang lajim dibicarakan diantara sesama laki-laki, kalau bukan wanita dan sepakbola.

Aku tak pernah tahu alasan yang paling mendasar mengapa ia menggilai sepakbola. Aku juga tak tahu mengapa ia tak mau melewatkan pertandingan bergengsi antara klub terutama klub papan atas Eropa. Mungkin kegilaannya pada sepakbola adalah warisan dari genotif tertentu yang diturunkan dari ayah atau ibunya. Sepakbola sudah mengalir dalam darahnya. Tak ada nafas yang menghembus selain di dalamnya ada sepakbola. Sampai-sampai ia punya peribahasa versinya sendiri, “tiada hari tanpa sepakbola”.

Aku salut padanya, sebegitu gilanya pada sepakbola hingga banyak yang telah dikorbankan deminya. Sudah tak terhitung berapa jumlah rupiah yang ia keluarkan untuk sepakbola. Entah itu membeli pernak pernik sepakbola, sampai tak pernah ketinggalan menonton klub lokal Indonesia langsung di stadion. Selalu ada pos anggaran untuk sepakbola, terutama untuk tim kesayangannya Manchester United. Ia adalah Hooligan sejati. Sungguh ia pernah kecewa manakala isterinya melahirkan bayi perempuan, sedangkan ia sangat mengidamkan anak laki-laki supaya kelak bisa menjadi pemain sepakbola terkenal seperti idolanya.

Untuk mengobati kekecewaannya, ia memberi nama anak perempuannya dengan nama Seruni Komalasari. Nama yang mendekati pelafalan untuk salah satu pemain MU, Wayne Rooney. Ia lebih suka memanggil anaknya dengan panggilan Runi, bukan Komala, atau Sari. Akan lain ceritanya kalau anak sulungnya laki-laki. Mungkin ia akan memberinya nama Ronaldo ditambah embel-embel nama belakangnya, menjadi Ronaldo Mulyana. Mungkin ia akan memanggilnya dengan sebutan Naldo, Aldo atau Ronal.

Tidak hanya itu, karena sepakbola isterinya juga ikut-ikutan jadi korban. Seringkali isterinya tak dihiraukannya, bahkan manakala isterinya itu sedang ingin-inginnya bermesraan dengan suaminya itu ketika ada siaran langsung pertandingan, apalagi saat si ‘setan merah’ bertanding. Tak jarang, ia juga sering cekcok dan bertengkar lantaran sepakbola.

****

Setengah jam lagi pertandingan bergengsi memperebutkan tempat pertama di jajaran klub-klub raksasa Eropa dimulai. Setengah jam baginya seperti setengah tahun penantian. Waktu menjadi sangat lama berjalan. Detik-detik yang bergulir seperti satu hari. Penantian yang hampir sama seperti ketika menanti saat hari pernikahan tiba dan malam pertama seusai akad nikah. Rasa tak sabar mulai menyinggahi hatinya. Gelisah semakin tak terbendung.

Aku tak begitu tertarik pada sepakbola apalagi tergila-gila. Aku lebih suka pencak silat, atau olahraga ekstrim lainnya yang penuh tantangan adrenalin. Hobi yang maskulin. Memang, sepakbola juga kegemaran maskulin. Mungkin beda orang beda selera. Aku tidak suka hanya karena supaya tidak disebut kurang pergaulan mendadak aku ikut-ikutan menjadi maniak sepakbola. Bukan juga karena gengsi. Yang jelas, aku tidak begitu menyukai sepakbola. Demi menghormatinya aku ikut saja menyaksikan pertandingan ini sambil berusaha menemukan alasan tepat untuk lebih menyukai sepakbola.

Saat yang ditunggunya tiba, tapi pertandingan belum dimulai, hanya obrolan pembuka oleh beberapa komentator. Pertandingan kira-kira sepuluh menit lagi. Kembali ia meracau, sepuluh menit, rasanya sepuluh hari saja menunggu. Ia mengoceh, terus mengoceh. Ocehannya hampir mengalahkan komentator yang sedang membawakan acara. “Ini pertandingan antara hidup dan mati,” ocehnya. Aku tak terlalu menanggapinya. Lagipula sejak awal aku tidak suka dengan tingkahnya itu. “Kamu megang MU kan?” Terpaksa kujawab ya, aku takut ia tersinggung, sebab sudah pasti ia menjagokan MU. Aku sebetulnya tidak tidak punya tim yang dijagokan. Tapi karena suara orang-orang yang menilai Barcelona sebagai tim tangguh yang mempunyai mental juara, mempunyai permainan yang indah dari kaki ke kaki. Aku jagokan Barcelona saja. Tapi aku berpura-pura mendukung tim yang sama dengannya. “Ah, kau ikut-ikutan aku saja. Tak seru kalau kita menjagokan tim yang sama. Aku kira kau akan mendukung Barcelona.” Kupikir ia akan senang ketika aku berpura-pura juga menjagokan MU. “ Tidak, aku juga mendukung MU. Begini-begini aku juga pendukung sejati MU jamannya Beckham.” Aku berkilah begitu, karena aku tak ingin merusak suasana.

Kick off dimulai, ia semakin meracau. Aku seperti bukan menyaksikan pertandingan sepakbola, tapi seperti menyaksikan pertandingan dua komentator. Yang satu, pengantar siaran langsung, meski memakai bahasa Inggris, aku cukup menikmatinya. Tapi komentar-komentar dia, mirip suara kaleng yang jatuh dari lantai atas rumah melewati seribu anak tangga. “Ah, mandul. Dikasih makan apa kau. Mengoper bola begitu saja tidak becus,” ocehnya menyumpahi salah seorang pemain MU. Lima menit pertandingan berlangsung, seperti lima jam saja. Aku tak kuat mendengar ocehannya. Kusulut rokok untuk meredakan semua ini. Kuraih beberapa gengam kacang tanah, kumakan dengan perlahan.

Ia tampak begitu serius dan tegang. Tak semenitpun matanya lepas dari layar televisi. Selain ketegangan ketika menghadapi kemarahan atasan yang sekaligus mertuanya, aku belum pernah melihatnya setegang ini. “Depan kosong. Bawa, bawa terus. Oper, ayo oper..., yah payah.” Ia sudah persis pelatih di pinggir lapangan yang berteriak-teriak memberi instruksi kepada pemain saja. “Bagus, ya bagus. Ah....” keluhnya. “Hadang, hadang terus. Begitu, dapat. Ayo, langsung umpan terobosan. Ah, terlalu banyak digocek.” Kepalaku serasa mau pecah mendengarkan ocehannya itu.

Anehnya, setiap kali aku mendengar ocehan dan keluhan serta umpatannya, aku semakin senang. Dalam hal ini aku merasa menang. Memang dalam berbagai hal seringkali aku kalah darinya. Aku kalah darinya karena dia mempunyai isteri yang cantik, kedudukan di kantor karena mertuanya adalah pemilik tunggal perusahaan, dan berbagai hal lainnya. Pertandingan semakin seru dan menegangkan. Aku juga terpancing ingin berteriak, mengumpat, sama seperti yang dilakukannya. Tapi kutahan. Aku tak ingin menimbulkan kegaduhan yang akan menggangu kenyamanan anak isterinya. Lagipula aku takut menyulut pertengkaran.

“Auw....” lenguhnya panjang. Aku baru pertama kali melihat mimik kekecewaan darinya. Tangannya mengepal keatas, diikuti dongakan kepalanya. matanya terpejam menahan kecewa. Dia tampak sangat kecewa ketika Samuel Eto’o menyambut bola rebound dan menyarangkannya ke gawang Van Der Sar. Gol di separuh jalan babak pertama membuatnya kecewa. Kalau aku juga sebagai penggila bola, dan pendukung sejati MU seperti dirinya, aku memahami kekecewaan yang dirasakannya. Aku berpura-pura menunjukkan kekecewaan yang sama. Padahal dalam hatiku bersorak, tapi tentu saja aku tak menunjukannya. Itu sama saja dengan menabuh genderang perang. Sementara, saat ini aku merasa menang darinya. “Tenang, masih ada separuh babak pertama dan babak kedua. Aku yakin CR7 bisa membalasnya.” Aku coba menghibur, aku coba berdiplomasi seolah aku juga penggila sepakbola.

Babak pertama tinggal menghitung detik, Rooney dan kawan-kwan belum juga menyamakan kedudukan. Babak pertama usai. Sejak MU kebobolan gol pertama, sejak itulah untuk saat itu sikapnya berubah drastis. Ia seperti menjadi orang asing yang tak kukenal. Sikapnya sulit diterka. Seperti anak autis saja. Tidak, seperti makhluk planet yang bahasa dan sikapnya sulit kumengerti. Sedikit-sedikit meracau. Sedikit sedikit mengoceh kalau permainan MU di babak pertama jelek, seperti tim lokal yang masih baru di kompetisi bergengsi, gagap.

Jeda istirahat pertandingan, lagi-lagi ia tak bisa diam, gelisah menunggu babak kedua segera dimulai. Baginya, menunggu adalah hal yang menyebalkan. Disela jeda pertandingan istirahat, lagi-lagi mengoceh. Lebih baik dikecilkan suara televisinya lalu gantian ia yang jadi komentatornya. Biar puas, seenak udelnya mau bicara apapun. Aku merasa jenuh dengan sikapnya ini, sekaligus, aku merasa senang. Aku merasa ada sebuah pembalasan. Dalam hati aku berharap agar tim yang menang adalah Barcelona.

Babak kedua dimulai, mimiknya semakin serius dari sebelumnya. Entahlah, aku melihat ada sebuah kekhawatiran yang besar. “Kalau sampai MU kalah, mati aku. Habislah aku.” Ocehan klasik. Sebegitunyakah demi MU? Euforia yang menjemukan. Kali ini giliran aku yang merutuk dalam hati. Menit-demi menit yang berjalan menjadi penantian panjang bagiku. Menunggu saatnya selesai ia mengoceh. Baiklah, aku berharap MU dapat membalas gol, supaya dia berhenti mengoceh. Mungkin dengan kemenangan MU, dia bisa berhenti meracau.

Separuh babak kedua berjalan terasa cepat, dia terus mengomel karena belum juga MU menyamakan kedudukan, skor masih satu kosong untuk Barcelona. Omelannya semakin menjadi-jadi manakala Xavi memberikan umpan silang kepada Messi. Messiah yang berada di posisi tepat tak menyiakan kesempatan untuk menyundulkan bola hingga menggetarkan gawang MU untuk kedua kalinya. Ia semakin tertunduk lesu. Keluhannya semakin tak tertahan, kali ini menjadi umpatan. Ia terus mengumpat pemain-pemain MU.

“Mati aku, Nyo. Kalau sampai MU kalah, matilah aku. Habislah aku.” Lagi-lagi euforia kesedihan yang kini dipertontonkannya padaku. Dia menjadi semakin tak terkendali, ibarat kuda yang lepas dari tali kekangnya. Aku tak dapat berbuat banyak untuk mengendalikannya. Aku hanya berharap tidak terjadi hal yang lebih parah yang akan menimpanya. Apapun dapat terjadi di lapangan selama dua kali empat puluh lima menit. Sama sekali diluar dugaannya. Kalau tadi ia berharap waktu berjalan dengan cepat, kali ini ia ingin waktu berjalan dengan lambat. Ia sangat berharap separuh waktu babak kedua yang tersisa, MU dapat menyamakan kedudukan, bahkan menang.

Sepuluh menit waktu tersisa, adernalinnya semakin menggelegak. Ketegangan yang luar biasa. Mungkin tak dapat digambarkan dalam bentuk kata. Memang aku juga merasakan ketegangan yang luarbiasa yang sulit diungkapkan. Delapan menit, enam menit, tiga menit. Bagiku waktu terasa berjalan sangat lambat. Aku ingin ini segera berakhir. Aku ingin segera mengakhiri penderitaanku. Ubun-ubunku sudah panas sekali. Aku ingin keluar dari tempat ini, lalu beranjak tidur untuk melupakan ini sebagai mimpi buruk di ranjang kesayanganku.

Satu menit waktu normal tersisa, MU belum bisa menyarangkan satu gol pun ke gawang Barcelona. Bahkan El Barca semakin menggempur MU. Pasukan MU tampak kewalahan. “Edan, sepertinya MU kalah Nyo. Mampuslah aku, Nyo,” umpatnya. Aku tak tahu apakah aku harus prihatin dengan kondisinya itu. Apakah aku harus bersorak karena 99% tim yang kujagokan akan menang dan keluar sebagai juara Champion Eropa. Aku tak tahu juga apakah aku harus senang karena dalam hal ini aku merasa menang darinya. Waktu tambahan tiga menit. Permainan semakin memanas, MU semakin ngotot untuk dapat mengejar ketertinggalannya itu.

Saat bukan keberuntungan MU, juga bukan keberuntungannya. Hingga waktu pertandingan habis, MU tunduk dua kosong di tangan raksasa Catalan. Aku menangkap kekecewaan yang luar biasa besar di matanya. Sekaligus kesedihan yang teramat dalam. Aku salut dengan begitu besar kecintaan pada tim kebanggaannya. Mungkin hal kesekian yang paling dicintainya selain keluarganya adalah sepakbola dan MU. Ia sangat kecewa karena MU gagal mengulang kesuksesannya memangku trofi bergengsi. Sudah tentu Barcelona yang akan naik podium dan bereuforia merayakan kemenangannya.

“Tenanglah, Bi. Ini hanya pertandingan. Dalam pertandingan selalu ada yang menang dan selalu ada yang kalah,” hiburku. Dia tak menjawab sepatahpun. Rasanya inilah saatnya penderitaanku berakhir. Ia tampak sudah berhenti total meracau. Ia sudah tak lagi mengoceh dan mengumpat. Pikirku, ia sudah bisa menerima kenyataan kalau tim yang dijagokannya kalah dengan terhormat.

Aku bermaksud pamit untuk pulang. Tapi ia mencegahnya, katanya tanggung sebentar lagi pagi. Katanya, dia ingin mengajakku sarapan pagi bersama anak dan isterinya. Aku ditahannya untuk tak segera pergi. Lagi-lagi aku tak punya alasan kuat untuk menolaknya. Kupikir babak kedua penderitaanku akan dimulai lagi. Aku bersiap menampung ocehannya lagi mengenai pertandingan tadi, mengenai kekalahan MU. “Kau jangan dulu pulang. Di sini saja sambil menunggu pagi. Bila kau mengantuk, tidur saja di kursi. Nanti pagi istriku akan membangunkanmu.” Dia beranjak masuk kamar. Kupikir ia segera tidur. Atau melampiaskan kekecewaannya dengan mengajak istrinya bercumbu hingga pagi. Kali ini aku senang aku takkan mendengar ocehannya yang menjemukan itu.

Esok pagi aku mesti berangkat ke kantor agak awal, aku sedang dikejar deadline. Ada waktu tiga jam untukku memanfaatkan sisa waktu untuk tidur. Tak menunggu lama aku segera terlelap. Aku tak tahu sudah berapa jam tertidur di kursi hingga “Aaa…., ya Tuhan. Tolong-tolong…..” sebuah jeritan mengagetkanku hingga aku terperanjat. Dengan segera aku bangun. Aku mendengar jeritan perempuan, suara perempuan yang tak asing di telingaku. Jeritan minta tolong yang berulang-ulang. Aku yakin itu suara isterinya.

Jeritan itu berasal dari kamarnya. Aku segera berlari menghampiri suara itu berada. Kamarnya masih dikunci, kugedor-gedor tak ada yang menjawab ataupun segera membukakan pintu, hanya terdengar tangisan isterinya. Terpaksa, dengan sisa tenaga yang kupunya, kudobrak dan kudapati isterinya terduduk di depan pintu kamar mandi dengan tangisan yang menjadi-jadi. Kutengok sahabatku tak ada di kasur. Kudekati ia dan kutanyakan apa yang terjadi. Ia tak menjawab, hanya menunjuk ke arah kamar mandi dan menyebut nama suaminya berulang kali. Aku sangat penasaran, ada apa di dalam kamar mandi yang menyebabkan isterinya menangis. Perlahan kubuka pintu kamar mandi. Aku terkejut bukan kepalang. Kudapati sahabatku tergantung dengan seutas tambang yang melilit lehernya di atas plafon kamar mandi. Aku kaget, seperti tersapu ombak tsunami yang amat besar secara tiba-tiba. Kutemukan ia sudah tak bernyawa.

Kuraih selembar kertas yang masih berada digenggamannya, lantas kubaca “Untuk Binyo sahabat baikku. Nyo, tolong jaga dengan baik anak dan isteriku. Sampaikan juga permohonan maafku untuk orangtua dan mertuaku. Aku sudah banyak mengorbankan keluargaku hanya demi sepakbola dan MU. Aku telah mempertaruhkan semuanya demi MU. Tapi MU kalah, dan aku juga kalah. Kini biarkan giliranku yang menjadi korbannya.” ***

1 komentar:

  1. emang kueren banget!!!
    tapi jangan..jangan diangkat dari pengalaman pribadi ya bro...
    gak..gak..gak..

    BalasHapus

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates