Cerpen Adhy M. Nuur
Empat kaleng minuman ringan tanpa alkohol. Satu bungkus kemasan besar kacang. Rokok dua bungkus, korek api dan asbak besar sudah siap di atas meja. Apalagi yang kurang? Bukankah persiapan yang baik akan sangat menentukan hasil yang akan diraih? Bukankah permulaan yang baik akan menentukan akhir yang baik pula? Seperti perang saja, semua harus dipersiapkan dengan baik. Kata dia, dalam perang, kekurangan dan kesalahan sekecil apapun akan berakibat besar.
Jam di dinding masih menunjukan pukul dua belas lewat lima menit. Kira-kira satu setengah jam lebih lagi. Baginya, semua harus dipersiapkan dengan sempurna. Kalau tidak begitu, pasti uring-uringan. Sebentar-sebentar meracau, “Serasa ada yang kurang. Sepertinya tidak lengkap. Kurang inilah, kurang itulah.” Seperti sudah berkompromi, aku tidak pernah memperdebatkannya. Tapi, kuncinya, karena aku dan dia sudah tahu kapan salah satu diantara kami harus mengalah atau ngotot mempertahankan egonya. Aku pikir, toleransi dan pengertian adalah kunci utama langgengnya sebuah hubungan yang terjalin.
Jujur saja, sebenarnya aku tak suka. Bagiku terasa berlebihan. Tapi karena toleransi, aku memakluminya. Meski harus berpura-pura menunjukan sikap yang sama dengannya. Begitulah manusia, untuk mempertahankan sesuatu, kadang harus berpura-pura, kadang harus menyembunyikan ketidaksukaan. Untuk mendapatkan sesuatu, acapkali mesti dibayar dengan keterpaksaan melakukan sesuatu yang sebetulnya tak disukainya.
Beberapa kali ia menoleh jam dinding. Berkali-kali ia memindahkan saluran televisi. Entah acara apa yang hendak dicarinya. Gelagatnya seperti sedang menantikan sesuatu yang penting. Diraihnya sekaleng minuman lalu direguknya dengan cepat. Regukannya terasa kentara, seolah kehausan yang amat sangat. Mungkin begitulah yang dilakukannya sekadar meredakan ketegangan. Kira-kira setengah jam lebih lagi pertandingan akan dimulai. Setengah jam yang terasa setengah tahun baginya. Baginya menunggu adalah hal yang sangat melelahkan, meskipun itu hanya setengah jam.
Setiap kali ia mengeluh lamanya menunggu setengah jam, saat itu aku merasa jengah. Hampir lima detik sekali saluran tv di bolak-balik. Pening kepalaku menyaksikan hal itu. Apa mau dikata, aku tak berani menunjukan ketidaksukaan itu. Aku mengalihkannya dengan mengutak-atik handphone, seolah sibuk membalas sms.
Ponselnya berdering, lalu diangkatnya. Sudah kuduga, yang diobrolkannya tak jauh-jauh dari topik itu. Ia tampak serius dengan lawan bicaranya di seberang sana. Sayup-sayup terdengar seperti sedang berbicara dengan seorang lak-laki. Aneh, kupikir ia tak pernah membawa urusan bisnis ke rumahnya, apalagi di jam-jam seperti saat ini. Namun aku masih penasaran, apa yang sedang dibicarakannya. Jangan-jangan membicarakan salah seorang wanita incarannya. Tapi, kalau soal wanita, hampir tidak ada rahasia diantara kami. Aku tahu wanita-wanita mana saja yang sedang ia dekati untuk dijadikannya teman selingkuh.
***
Mengapa harus sepakbola, bukan bulutangkis, voli, atau setidaknya golf. Menurutnya, ada sesuatu yang aneh kalau laki-laki tidak gila bola. Baginya, berbicara sepakbola, bukan sekedar bicara menendang bola, lapangan rumput hijau, gawang, atau penalti. Berbicara sepakbola, juga berbicara seni, gaya hidup, trend dan segudang alasan lain yang dijadikannya pembenaran untuk meneruskan kegilaannya itu. Katanya, topik apa lagi yang lajim dibicarakan diantara sesama laki-laki, kalau bukan wanita dan sepakbola.
Aku tak pernah tahu alasan yang paling mendasar mengapa ia menggilai sepakbola. Aku juga tak tahu mengapa ia tak mau melewatkan pertandingan bergengsi antara klub terutama klub papan atas Eropa. Mungkin kegilaannya pada sepakbola adalah warisan dari genotif tertentu yang diturunkan dari ayah atau ibunya. Sepakbola sudah mengalir dalam darahnya. Tak ada nafas yang menghembus selain di dalamnya ada sepakbola. Sampai-sampai ia punya peribahasa versinya sendiri, “tiada hari tanpa sepakbola”.
Aku salut padanya, sebegitu gilanya pada sepakbola hingga banyak yang telah dikorbankan deminya. Sudah tak terhitung berapa jumlah rupiah yang ia keluarkan untuk sepakbola. Entah itu membeli pernak pernik sepakbola, sampai tak pernah ketinggalan menonton klub lokal Indonesia langsung di stadion. Selalu ada pos anggaran untuk sepakbola, terutama untuk tim kesayangannya Manchester United. Ia adalah Hooligan sejati. Sungguh ia pernah kecewa manakala isterinya melahirkan bayi perempuan, sedangkan ia sangat mengidamkan anak laki-laki supaya kelak bisa menjadi pemain sepakbola terkenal seperti idolanya.
Untuk mengobati kekecewaannya, ia memberi nama anak perempuannya dengan nama Seruni Komalasari. Nama yang mendekati pelafalan untuk salah satu pemain MU, Wayne Rooney. Ia lebih suka memanggil anaknya dengan panggilan Runi, bukan Komala, atau Sari. Akan lain ceritanya kalau anak sulungnya laki-laki. Mungkin ia akan memberinya nama Ronaldo ditambah embel-embel nama belakangnya, menjadi Ronaldo Mulyana. Mungkin ia akan memanggilnya dengan sebutan Naldo, Aldo atau Ronal.
Tidak hanya itu, karena sepakbola isterinya juga ikut-ikutan jadi korban. Seringkali isterinya tak dihiraukannya, bahkan manakala isterinya itu sedang ingin-inginnya bermesraan dengan suaminya itu ketika ada siaran langsung pertandingan, apalagi saat si ‘setan merah’ bertanding. Tak jarang, ia juga sering cekcok dan bertengkar lantaran sepakbola.
****
Setengah jam lagi pertandingan bergengsi memperebutkan tempat pertama di jajaran klub-klub raksasa Eropa dimulai. Setengah jam baginya seperti setengah tahun penantian. Waktu menjadi sangat lama berjalan. Detik-detik yang bergulir seperti satu hari. Penantian yang hampir sama seperti ketika menanti saat hari pernikahan tiba dan malam pertama seusai akad nikah. Rasa tak sabar mulai menyinggahi hatinya. Gelisah semakin tak terbendung.
Aku tak begitu tertarik pada sepakbola apalagi tergila-gila. Aku lebih suka pencak silat, atau olahraga ekstrim lainnya yang penuh tantangan adrenalin. Hobi yang maskulin. Memang, sepakbola juga kegemaran maskulin. Mungkin beda orang beda selera. Aku tidak suka hanya karena supaya tidak disebut kurang pergaulan mendadak aku ikut-ikutan menjadi maniak sepakbola. Bukan juga karena gengsi. Yang jelas, aku tidak begitu menyukai sepakbola. Demi menghormatinya aku ikut saja menyaksikan pertandingan ini sambil berusaha menemukan alasan tepat untuk lebih menyukai sepakbola.
Saat yang ditunggunya tiba, tapi pertandingan belum dimulai, hanya obrolan pembuka oleh beberapa komentator. Pertandingan kira-kira sepuluh menit lagi. Kembali ia meracau, sepuluh menit, rasanya sepuluh hari saja menunggu. Ia mengoceh, terus mengoceh. Ocehannya hampir mengalahkan komentator yang sedang membawakan acara. “Ini pertandingan antara hidup dan mati,” ocehnya. Aku tak terlalu menanggapinya. Lagipula sejak awal aku tidak suka dengan tingkahnya itu. “Kamu megang MU kan?” Terpaksa kujawab ya, aku takut ia tersinggung, sebab sudah pasti ia menjagokan MU. Aku sebetulnya tidak tidak punya tim yang dijagokan. Tapi karena suara orang-orang yang menilai Barcelona sebagai tim tangguh yang mempunyai mental juara, mempunyai permainan yang indah dari kaki ke kaki. Aku jagokan Barcelona saja. Tapi aku berpura-pura mendukung tim yang sama dengannya. “Ah, kau ikut-ikutan aku saja. Tak seru kalau kita menjagokan tim yang sama. Aku kira kau akan mendukung Barcelona.” Kupikir ia akan senang ketika aku berpura-pura juga menjagokan MU. “ Tidak, aku juga mendukung MU. Begini-begini aku juga pendukung sejati MU jamannya Beckham.” Aku berkilah begitu, karena aku tak ingin merusak suasana.
Kick off dimulai, ia semakin meracau. Aku seperti bukan menyaksikan pertandingan sepakbola, tapi seperti menyaksikan pertandingan dua komentator. Yang satu, pengantar siaran langsung, meski memakai bahasa Inggris, aku cukup menikmatinya. Tapi komentar-komentar dia, mirip suara kaleng yang jatuh dari lantai atas rumah melewati seribu anak tangga. “Ah, mandul. Dikasih makan apa kau. Mengoper bola begitu saja tidak becus,” ocehnya menyumpahi salah seorang pemain MU. Lima menit pertandingan berlangsung, seperti lima jam saja. Aku tak kuat mendengar ocehannya. Kusulut rokok untuk meredakan semua ini. Kuraih beberapa gengam kacang tanah, kumakan dengan perlahan.
Ia tampak begitu serius dan tegang. Tak semenitpun matanya lepas dari layar televisi. Selain ketegangan ketika menghadapi kemarahan atasan yang sekaligus mertuanya, aku belum pernah melihatnya setegang ini. “Depan kosong. Bawa, bawa terus. Oper, ayo oper..., yah payah.” Ia sudah persis pelatih di pinggir lapangan yang berteriak-teriak memberi instruksi kepada pemain saja. “Bagus, ya bagus. Ah....” keluhnya. “Hadang, hadang terus. Begitu, dapat. Ayo, langsung umpan terobosan. Ah, terlalu banyak digocek.” Kepalaku serasa mau pecah mendengarkan ocehannya itu.
Anehnya, setiap kali aku mendengar ocehan dan keluhan serta umpatannya, aku semakin senang. Dalam hal ini aku merasa menang. Memang dalam berbagai hal seringkali aku kalah darinya. Aku kalah darinya karena dia mempunyai isteri yang cantik, kedudukan di kantor karena mertuanya adalah pemilik tunggal perusahaan, dan berbagai hal lainnya. Pertandingan semakin seru dan menegangkan. Aku juga terpancing ingin berteriak, mengumpat, sama seperti yang dilakukannya. Tapi kutahan. Aku tak ingin menimbulkan kegaduhan yang akan menggangu kenyamanan anak isterinya. Lagipula aku takut menyulut pertengkaran.
“Auw....” lenguhnya panjang. Aku baru pertama kali melihat mimik kekecewaan darinya. Tangannya mengepal keatas, diikuti dongakan kepalanya. matanya terpejam menahan kecewa. Dia tampak sangat kecewa ketika Samuel Eto’o menyambut bola rebound dan menyarangkannya ke gawang Van Der Sar. Gol di separuh jalan babak pertama membuatnya kecewa. Kalau aku juga sebagai penggila bola, dan pendukung sejati MU seperti dirinya, aku memahami kekecewaan yang dirasakannya. Aku berpura-pura menunjukkan kekecewaan yang sama. Padahal dalam hatiku bersorak, tapi tentu saja aku tak menunjukannya. Itu sama saja dengan menabuh genderang perang. Sementara, saat ini aku merasa menang darinya. “Tenang, masih ada separuh babak pertama dan babak kedua. Aku yakin CR7 bisa membalasnya.” Aku coba menghibur, aku coba berdiplomasi seolah aku juga penggila sepakbola.
Babak pertama tinggal menghitung detik, Rooney dan kawan-kwan belum juga menyamakan kedudukan. Babak pertama usai. Sejak MU kebobolan gol pertama, sejak itulah untuk saat itu sikapnya berubah drastis. Ia seperti menjadi orang asing yang tak kukenal. Sikapnya sulit diterka. Seperti anak autis saja. Tidak, seperti makhluk planet yang bahasa dan sikapnya sulit kumengerti. Sedikit-sedikit meracau. Sedikit sedikit mengoceh kalau permainan MU di babak pertama jelek, seperti tim lokal yang masih baru di kompetisi bergengsi, gagap.
Jeda istirahat pertandingan, lagi-lagi ia tak bisa diam, gelisah menunggu babak kedua segera dimulai. Baginya, menunggu adalah hal yang menyebalkan. Disela jeda pertandingan istirahat, lagi-lagi mengoceh. Lebih baik dikecilkan suara televisinya lalu gantian ia yang jadi komentatornya. Biar puas, seenak udelnya mau bicara apapun. Aku merasa jenuh dengan sikapnya ini, sekaligus, aku merasa senang. Aku merasa ada sebuah pembalasan. Dalam hati aku berharap agar tim yang menang adalah Barcelona.
Babak kedua dimulai, mimiknya semakin serius dari sebelumnya. Entahlah, aku melihat ada sebuah kekhawatiran yang besar. “Kalau sampai MU kalah, mati aku. Habislah aku.” Ocehan klasik. Sebegitunyakah demi MU? Euforia yang menjemukan. Kali ini giliran aku yang merutuk dalam hati. Menit-demi menit yang berjalan menjadi penantian panjang bagiku. Menunggu saatnya selesai ia mengoceh. Baiklah, aku berharap MU dapat membalas gol, supaya dia berhenti mengoceh. Mungkin dengan kemenangan MU, dia bisa berhenti meracau.
Separuh babak kedua berjalan terasa cepat, dia terus mengomel karena belum juga MU menyamakan kedudukan, skor masih satu kosong untuk Barcelona. Omelannya semakin menjadi-jadi manakala Xavi memberikan umpan silang kepada Messi. Messiah yang berada di posisi tepat tak menyiakan kesempatan untuk menyundulkan bola hingga menggetarkan gawang MU untuk kedua kalinya. Ia semakin tertunduk lesu. Keluhannya semakin tak tertahan, kali ini menjadi umpatan. Ia terus mengumpat pemain-pemain MU.
“Mati aku, Nyo. Kalau sampai MU kalah, matilah aku. Habislah aku.” Lagi-lagi euforia kesedihan yang kini dipertontonkannya padaku. Dia menjadi semakin tak terkendali, ibarat kuda yang lepas dari tali kekangnya. Aku tak dapat berbuat banyak untuk mengendalikannya. Aku hanya berharap tidak terjadi hal yang lebih parah yang akan menimpanya. Apapun dapat terjadi di lapangan selama dua kali empat puluh lima menit. Sama sekali diluar dugaannya. Kalau tadi ia berharap waktu berjalan dengan cepat, kali ini ia ingin waktu berjalan dengan lambat. Ia sangat berharap separuh waktu babak kedua yang tersisa, MU dapat menyamakan kedudukan, bahkan menang.
Sepuluh menit waktu tersisa, adernalinnya semakin menggelegak. Ketegangan yang luar biasa. Mungkin tak dapat digambarkan dalam bentuk kata. Memang aku juga merasakan ketegangan yang luarbiasa yang sulit diungkapkan. Delapan menit, enam menit, tiga menit. Bagiku waktu terasa berjalan sangat lambat. Aku ingin ini segera berakhir. Aku ingin segera mengakhiri penderitaanku. Ubun-ubunku sudah panas sekali. Aku ingin keluar dari tempat ini, lalu beranjak tidur untuk melupakan ini sebagai mimpi buruk di ranjang kesayanganku.
Satu menit waktu normal tersisa, MU belum bisa menyarangkan satu gol pun ke gawang Barcelona. Bahkan El Barca semakin menggempur MU. Pasukan MU tampak kewalahan. “Edan, sepertinya MU kalah Nyo. Mampuslah aku, Nyo,” umpatnya. Aku tak tahu apakah aku harus prihatin dengan kondisinya itu. Apakah aku harus bersorak karena 99% tim yang kujagokan akan menang dan keluar sebagai juara Champion Eropa. Aku tak tahu juga apakah aku harus senang karena dalam hal ini aku merasa menang darinya. Waktu tambahan tiga menit. Permainan semakin memanas, MU semakin ngotot untuk dapat mengejar ketertinggalannya itu.
Saat bukan keberuntungan MU, juga bukan keberuntungannya. Hingga waktu pertandingan habis, MU tunduk dua kosong di tangan raksasa Catalan. Aku menangkap kekecewaan yang luar biasa besar di matanya. Sekaligus kesedihan yang teramat dalam. Aku salut dengan begitu besar kecintaan pada tim kebanggaannya. Mungkin hal kesekian yang paling dicintainya selain keluarganya adalah sepakbola dan MU. Ia sangat kecewa karena MU gagal mengulang kesuksesannya memangku trofi bergengsi. Sudah tentu Barcelona yang akan naik podium dan bereuforia merayakan kemenangannya.
“Tenanglah, Bi. Ini hanya pertandingan. Dalam pertandingan selalu ada yang menang dan selalu ada yang kalah,” hiburku. Dia tak menjawab sepatahpun. Rasanya inilah saatnya penderitaanku berakhir. Ia tampak sudah berhenti total meracau. Ia sudah tak lagi mengoceh dan mengumpat. Pikirku, ia sudah bisa menerima kenyataan kalau tim yang dijagokannya kalah dengan terhormat.
Aku bermaksud pamit untuk pulang. Tapi ia mencegahnya, katanya tanggung sebentar lagi pagi. Katanya, dia ingin mengajakku sarapan pagi bersama anak dan isterinya. Aku ditahannya untuk tak segera pergi. Lagi-lagi aku tak punya alasan kuat untuk menolaknya. Kupikir babak kedua penderitaanku akan dimulai lagi. Aku bersiap menampung ocehannya lagi mengenai pertandingan tadi, mengenai kekalahan MU. “Kau jangan dulu pulang. Di sini saja sambil menunggu pagi. Bila kau mengantuk, tidur saja di kursi. Nanti pagi istriku akan membangunkanmu.” Dia beranjak masuk kamar. Kupikir ia segera tidur. Atau melampiaskan kekecewaannya dengan mengajak istrinya bercumbu hingga pagi. Kali ini aku senang aku takkan mendengar ocehannya yang menjemukan itu.
Esok pagi aku mesti berangkat ke kantor agak awal, aku sedang dikejar deadline. Ada waktu tiga jam untukku memanfaatkan sisa waktu untuk tidur. Tak menunggu lama aku segera terlelap. Aku tak tahu sudah berapa jam tertidur di kursi hingga “Aaa…., ya Tuhan. Tolong-tolong…..” sebuah jeritan mengagetkanku hingga aku terperanjat. Dengan segera aku bangun. Aku mendengar jeritan perempuan, suara perempuan yang tak asing di telingaku. Jeritan minta tolong yang berulang-ulang. Aku yakin itu suara isterinya.
Jeritan itu berasal dari kamarnya. Aku segera berlari menghampiri suara itu berada. Kamarnya masih dikunci, kugedor-gedor tak ada yang menjawab ataupun segera membukakan pintu, hanya terdengar tangisan isterinya. Terpaksa, dengan sisa tenaga yang kupunya, kudobrak dan kudapati isterinya terduduk di depan pintu kamar mandi dengan tangisan yang menjadi-jadi. Kutengok sahabatku tak ada di kasur. Kudekati ia dan kutanyakan apa yang terjadi. Ia tak menjawab, hanya menunjuk ke arah kamar mandi dan menyebut nama suaminya berulang kali. Aku sangat penasaran, ada apa di dalam kamar mandi yang menyebabkan isterinya menangis. Perlahan kubuka pintu kamar mandi. Aku terkejut bukan kepalang. Kudapati sahabatku tergantung dengan seutas tambang yang melilit lehernya di atas plafon kamar mandi. Aku kaget, seperti tersapu ombak tsunami yang amat besar secara tiba-tiba. Kutemukan ia sudah tak bernyawa.
Kuraih selembar kertas yang masih berada digenggamannya, lantas kubaca “Untuk Binyo sahabat baikku. Nyo, tolong jaga dengan baik anak dan isteriku. Sampaikan juga permohonan maafku untuk orangtua dan mertuaku. Aku sudah banyak mengorbankan keluargaku hanya demi sepakbola dan MU. Aku telah mempertaruhkan semuanya demi MU. Tapi MU kalah, dan aku juga kalah. Kini biarkan giliranku yang menjadi korbannya.” ***
Rabu, 05 Agustus 2009
Warisan Dari Bapak
Adhy M. Nuur
19.33
Cerpen Adhy M. Nuur
Pagi yang seperti biasanya. Kusibak selimut biru peninggalan ibu yang menutupi sebagian tubuhku. Aku belum segera melangkahkan kaki dari dipan tua tak berkasur. Aku masih duduk termenung. Rasanya malas untuk menjejakkan kaki di atas lantai tanah yang masih lembab terkena embun. Selintas aku teringat wanita separuh baya dengan cerlang senyum yang tak henti menghiasi hari-hari. Walau susah atau senang, senyumnya ranum bermekaran tak mengenal musim. Dialah ibu. Biasanya, ibulah yang pertama kali bangun. Dan hingga saat ini, entahlah, setiap kali aku bangun, wajah ibulah yang pertama melintas diingatanku.
“Nak, kau harus bisa menjadi pengganti ibu,” begitulah kata-kata ibu yang selalu terngiang di telingaku. Kata-kata itulah yang selalu menjadi suluh, menjadi alasan mengapa setiap hari aku terbiasa bangun shubuh.
Aku biarkan diriku dipermak oleh keadaan. Memang tubuhku seorang lelaki, namun hati dan otakku seorang wanita yang lembut dan penuh tanggungjawab. Jujur saja, aku merasa agak risih melakukan banyak pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh seorang wanita. Mencuci, memasak, bahkan melayani semua keperluan bapak dan adikku. Aku hanya bisa menyerah dengan kata terpaksa, lantaran tak ada wanita di rumah ini. Dan aku tak tahu, mengapa sampai saat ini bapak memilih tak mencari ibu baru bagi aku dan adikku. Mungkin bapak terlalu cinta sama ibu, atau bapak takut tidak bisa memberikan kebahagiaan baik pada ibu maupun pada kami anak-anaknya.
Setelah puas aku mengenang ibu, aku langsung menimba air, memenuhi bak dan semua ember untuk keperluan kami semua hari ini. Adzan belum lagi tiba menyapa telinga. Namun, sudah terbiasa, bunyi kerekan timba air di sumur belakang rumah kami yang pertama kali memecah sunyi. Setelah adzan tiba, aku bergegas ke mushola menunaikan sholat shubuh. Sehabis itu, seperti biasa, bercengkerama dengan tungku perapian, apalagi kalau bukan memasak. Aku, bapak dan adikku, seperti biasanya, terpaksa melakoni drama hidup berjudul 'keprihatinan'.
***
Agak miris jika aku bercerita keadaan diriku. Hampir sudah dua tahun ibu meninggal. Harta yang kami miliki hanyalah sebuah gubuk kecil untuk berlindung dari hujan dan terik mentari. Sedangkan bapak, hanyalah seorang kuli dan kerjaannya serabutan. Adikku masih kecil, sekarang duduk di kelas lima SD. Sebenarnya aku ingin melanjutkan sekolah ke SMA, namun terlalu berat bagi bapak membiayainya. Akhirnya aku hanya bisa menamatkan sekolah sampai SMP. Itupun ijazahku belum ditebus, dan kini masih disita sekolah karena belum membayar tunggakan SPP dan uang ujian. Untuk membantu biaya sekolah dan keperluan sehari-hari, aku juga menjadi kuli angkut di pasar, kadang menyemir sepatu, walau penghasilannya acapkali tidak sebanding dengan tenaga yang kukeluarkan. Kesimpulannya, aku hidup serba kekurangan.
Walau bapak seorang kuli, tapi aku bangga dengannya. Bapak hanya tamatan SD, namun semangat belajarnya tak kalah dengan mahasiswa. Selain sholat, membaca adalah kegiatan bapak yang tak pernah terlewatkan setiap harinya. Bahkan bukan hanya buku atau majalah-majalah lusuh yang dibacanya, malah koran bekas bungkus kacangpun tak dilewatkannya untuk dibaca. Bapak orangnya tak pernah mau diam. Selalu ada saja yang dikerjakannya.
Yang tak bisa kulupakan dari bapak, setiap malam sehabis pulang bekerja, hampir tak pernah dilewatkannya untuk membaca. Duduk bersandar di kursi goyang tua, disinari temaram lampu lima watt, bapak tak tergoyahkan. Ditemani segelas seduhan air asam kandis dan sedikit gula Jawa. Kata bapak, air itu dapat membantu meningkatkan konsentrasi. Bagaikan seorang resi yang sedang bertapa, tak satupun diantara kami yang berani mengganggunya. Bahkan manakala aku terjaga dari tidurku, bapak masih asyik membaca. Saking asyiknya membaca bahkan lewat tengah malam bapak baru beranjak.
Selalu saja ada buku atau majalah walaupun terbitan lima tahun lalu yang bapak bawa untuk dibaca dirumah. Kebanyakan buku yang bapak bawa ke rumah didapatnya dari pak Halim, seorang mantri desa yang tak pernah keberatan buku-bukunya dipinjam bapak. Selain buku-buku umum, juga buku-buku kedokteran pun tak segan dipinjamkan pak Halim kepada bapak. Bahkan bagi pak Halim, bapak menjadi teman yang enak untuk berdiskusi.
***
Lagi-lagi aku merasa ini tak adil bagiku. Setelah dua minggu lamanya bapak terbaring sakit, akhirnya bapak meninggalkan kami selamanya. Seharusnya bapak dirawat di rumah sakit, tapi mau bagaimana lagi, untuk makan dan biaya sekolah adikku saja sudah sulit, apalagi biaya berobat ke rumah sakit. Sebenarnya, saat itu aku menyesal, kami membiarkan Tuhan menentukan takdir bapak. Usahaku, hanya mampu membelikan bapak obat warung dan membuatkannya jamu.
Nasib adikku, sama denganku, hanya sampai tamat SMP. Dibanding diriku, adikku lebih beruntung, ijazahnya tak disita sekolah, karena kepala sekolah berbaik hati membebaskan semua tunggakan. Sebagai keluarga miskin, tentu saja bapak tak mewariskan apa apa, hanya sebuah buku lusuh berjilid merah tua. Kata bapak, buku itu adalah warisan satu-satunya dari kakek. Kakekku adalah seorang bekas kepala sekolah SR, namun kehidupannya tak jauh beda dengan bapakku. Tak punya apa-apa, selain rumah sederhana, bahkan gubuk, yang kami punya.
Saat menerima warisan dari bapak itu, aku sangat heran. Untuk apa bapak mewariskanku buku tua dengan jilid belakang yang tinggal separuh habis dimakan rayap. Hanya mewariskan buku tua dengan ejaan baku zaman dahulu, pikirku, dijual saja harganya tidak cukup untuk membeli sekilo beras. Namun dengan bangganya sebelum bapak meninggal, bapak berpesan bahwa buku itu warisan yang tak ternilai, sangat berharga. “Jika kau menemukan rahasianya di dalam buku itu, kelak buku itu akan mengantarkanmu kepada kesuksesan,” begitu kata bapak.
Kata bapak lagi, “Sesuai amanat kakek, buku itu tidak akan diberikan kepada sembarang orang. Buku itu juga tidak akan diwariskan di sembarang waktu, tunggu saat yang tepat.” Saat yang tepat, apalagi kalau bukan saat mejelang kematian bapak. Seperti pusaka saja, mesti diturunkan kepada orang yang terpilih dan pada waktu yang tepat. Ada-ada saja. Bagi keluarga kami, mungkin hanya itulah yang kami punya dan bisa kami banggakan.
Selain mewariskan sebuah buku tua, bapak juga banyak mewariskan kami dengan segudang amanat, yang mungkin sulit kuhafalkan. Kata bapak, “Meskipun sekolah kalian tidak setinggi mereka, namun kalian jangan mau kalah dari mereka, kalian mesti terus belajar dan belajar tak melulu harus di sekolah, bla bla bla.”
Sebagian nasehat bapak, aku sudah lupa. Hanya dua yang tak bisa kulupakan. Pertama, jangan pernah berhenti membaca. Dan, kedua, cintailah buku. Ada-ada saja bapak, aku kira bapak mengamanatkan aku, “Nak, jika kau ingin dapat pekerjaan yang layak, tuh temui si anu. Atau, jika kau sangat membutuhkan pertolongan, tuh kepada si anu.”
Ada lagi amanat bapak yang, kira-kira, agak lucu. Kata bapak, “Nak, jika kau punya uang berlebih dan hendak piknik, jangan lupa piknik ke Palasari.” Aku pikir, apakah Palasari tempat keramat, tempat yang banyak dituju orang biar gampang dapat uang. Sebelum aku tahu Palasari itu tempat seperti apa, aku mengamini saja perkataan bapak.
Dengan warisan dan amanat-amanatnya, yang cukup aneh, aku pikir bapak punya selera humor juga. Maklum, bapak tipikal orang yang seriusan, sangat jarang sekali tersenyum atau bercanda. Terakhir aku ingat bapak tertawa manakala kami berlibur ke Kebun Binatang Bandung, itupun ketika ibu masih ada. Mungkin, pahitnya kehidupan yang bapak jalani membuatnya lupa bagaimana caranya untuk tertawa. Atau barangkali, akibat bapak banyak melahap tulisan-tulisan yang serius, dengan tema politik, hukum dan sosial. Tak pernah sekalipun aku menjumpai bapak membaca komik atau tulisan-tulisan anekdot. Bahkan ketika membaca Majalah Mangle pun, bapak selalu melewatkan membaca cerita humornya. Mungkin bagi bapak, pamali untuk menyelipkan tawa diantara pahit kehidupan yang dihadapinya.
***
Awalnya aku tidak terlalu ngeh dengan apa yang diwariskan bapak. Namun, pikirku, tak ada salahnya jika aku menerima dan menjaga semua warisan bapak. Selepas adikku lulus, aku langsung beranjak ke Kota Bandung dengan bekal beberapa uang dari menjual rumah peninggalan bapak, satu-satunya yang kami miliki. Awalnya terlalu sulit untuk memutuskan menjual rumah tua nan reyot itu. Bangunannya memang tidak berharga sama sekali, paling banter berguna buat kayu bakar, tapi tanahnya lumayan ada harganya.
Amanat kakek dan bapak juga yang awalnya menghalangi kami untuk menjual rumah itu. Tapi bukan itu saja, terlalu banyak kenangan yang kami lewatkan dari sana, terutama kebanyakannya kenangan pahit. Tapi justeru karena pertimbangan banyaknya kenangan pahit yang kami lalui di rumah itu, aku dan adikku memutuskan untuk menjualnya.
Apa yang dahulu bapak berikan, aku jadikan pegangan hidupku. Pikirku, selain kejujuran dan tekad yang keras aku tidak punya apa-apa, yang dapat kujadikan modal dan kebanggaan. Buku warisan bapak, benar-benar aku baca dan telaah. Aku ingat ucapan bapak agar menemukan rahasia yang ada di buku itu. Setelah benar-benar aku mendapati apa dibalik buku yang bapak wariskan dengan penuh bangganya, kuralat lagi anggapanku yang dulu. Ternyata kebanggaan bapak terhadap buku ini benar-benar menyentuh tekad dan semangatku dalam menghadapi hari-hari kerasku.
Buku berjilid merah tua yang diterbitkan penerbit Tjaringin, Bandung, tahun 1969 itu berisi pepatah-pepatah lama, bagi orang lain memang tidak terlalu istimewa. Toh sangat banyak buku-buku berisi pepatah-pepatah dengan kemasan dan isi yang lebih bagus dan lebih kekini-kinian. Tapi bagiku buku tua ini istimewa. Buku merah tua itu, bagiku, senantiasa menjelma menjadi sosok ibu dengan senyumnya yang terus mengingatkanku untuk dapat menggantikan peran ibu bagi adikku. Buku itu juga menjelma menjadi sosok bapak yang bagaikan jam weker tak henti-hentinya mengingatkanku dengan rupa-rupa wejangannya. Bahkan, buku itu seperti buku strategi perangnya Sun Tzu.
Namun, yang paling aku ingat, adalah amanat bapak untuk terus membaca dan jangan berhenti mencintai buku. Amanat bapak itu kujadikan mantra yang selalu aku lafalkan menjelang tidur dan acapkali bangun tidur. Hingga amanat dari bapak itu merasuk ke dalam darahku. Tiap menit yang tersisa dari hidupku aku habiskan untuk melahap lembar demi lembar buku apapun. Dan aku benar-benar mewarisi darah dan sifat bapak, kertas koran bungkus bala-bala pun tak mau kulewatkan. Perpustakaan benar-benar menjadi tempat paling favoritku bertirakat.
Padahal, ketika pertama kali menjejakkan kaki di Kota Kembang ini, sebenarnya aku tidak menentukan cita-citaku akan menjadi apa nantinya. Sebelumnya akupun tidak terlalu memikirkan untuk bekerja di bidang apa. Yang aku bawa dan menjadi pegangan, selain bekal dari menjual rumah tua kami, hanyalah buku berjilid merah tua itu beserta amanat-amanat bapak. Bekalku, karena hanya tamatan SMP dan juga tidak mempunyai kemampuan apapun, hanya berbekal tekad yang keras untuk bisa menaklukan Parijs van Java.
Kali ini aku tak berani menvonis apakah Tuhan adil atau tidak padaku. Tak pernah terpikirkan kalau aku akan terjerumus dalam profesi bertitel penulis. Bertahun -tahun aku mengecap manis dan pahitnya karya, jerih payahku, ditolak berbagai penerbit dan media massa. Yang aku jadikan pegangan hanyalah warisan dari bapak. Dan wejangan-wejangan bapak untuk tidak gampang menyerah melawan kerasnya kehidupan yang kami jalani. Bersyukur, semua warisan bapak ternyata sangat bertuah. Aku boleh berbangga sekarang, aku menjadi sedikit orang yang sukses menghasilkan banyak uang dari menulis, dengan latar belakang hanya tamatan SMP. Kini, hampir semua buku-buku karyaku yang diterbitkan menjadi best seller di pasaran. Novel-novelku yang diterbitkan dapat menggilas Supernovanya Dee' Lestari. Cita-citaku kini, aku ingin memecahkan rekor, menjadi editor handal berlatar belakang lulusan SMP, bahkan mampu mensejajarkan diri dengan Bambang Trim.***
Pagi yang seperti biasanya. Kusibak selimut biru peninggalan ibu yang menutupi sebagian tubuhku. Aku belum segera melangkahkan kaki dari dipan tua tak berkasur. Aku masih duduk termenung. Rasanya malas untuk menjejakkan kaki di atas lantai tanah yang masih lembab terkena embun. Selintas aku teringat wanita separuh baya dengan cerlang senyum yang tak henti menghiasi hari-hari. Walau susah atau senang, senyumnya ranum bermekaran tak mengenal musim. Dialah ibu. Biasanya, ibulah yang pertama kali bangun. Dan hingga saat ini, entahlah, setiap kali aku bangun, wajah ibulah yang pertama melintas diingatanku.
“Nak, kau harus bisa menjadi pengganti ibu,” begitulah kata-kata ibu yang selalu terngiang di telingaku. Kata-kata itulah yang selalu menjadi suluh, menjadi alasan mengapa setiap hari aku terbiasa bangun shubuh.
Aku biarkan diriku dipermak oleh keadaan. Memang tubuhku seorang lelaki, namun hati dan otakku seorang wanita yang lembut dan penuh tanggungjawab. Jujur saja, aku merasa agak risih melakukan banyak pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh seorang wanita. Mencuci, memasak, bahkan melayani semua keperluan bapak dan adikku. Aku hanya bisa menyerah dengan kata terpaksa, lantaran tak ada wanita di rumah ini. Dan aku tak tahu, mengapa sampai saat ini bapak memilih tak mencari ibu baru bagi aku dan adikku. Mungkin bapak terlalu cinta sama ibu, atau bapak takut tidak bisa memberikan kebahagiaan baik pada ibu maupun pada kami anak-anaknya.
Setelah puas aku mengenang ibu, aku langsung menimba air, memenuhi bak dan semua ember untuk keperluan kami semua hari ini. Adzan belum lagi tiba menyapa telinga. Namun, sudah terbiasa, bunyi kerekan timba air di sumur belakang rumah kami yang pertama kali memecah sunyi. Setelah adzan tiba, aku bergegas ke mushola menunaikan sholat shubuh. Sehabis itu, seperti biasa, bercengkerama dengan tungku perapian, apalagi kalau bukan memasak. Aku, bapak dan adikku, seperti biasanya, terpaksa melakoni drama hidup berjudul 'keprihatinan'.
***
Agak miris jika aku bercerita keadaan diriku. Hampir sudah dua tahun ibu meninggal. Harta yang kami miliki hanyalah sebuah gubuk kecil untuk berlindung dari hujan dan terik mentari. Sedangkan bapak, hanyalah seorang kuli dan kerjaannya serabutan. Adikku masih kecil, sekarang duduk di kelas lima SD. Sebenarnya aku ingin melanjutkan sekolah ke SMA, namun terlalu berat bagi bapak membiayainya. Akhirnya aku hanya bisa menamatkan sekolah sampai SMP. Itupun ijazahku belum ditebus, dan kini masih disita sekolah karena belum membayar tunggakan SPP dan uang ujian. Untuk membantu biaya sekolah dan keperluan sehari-hari, aku juga menjadi kuli angkut di pasar, kadang menyemir sepatu, walau penghasilannya acapkali tidak sebanding dengan tenaga yang kukeluarkan. Kesimpulannya, aku hidup serba kekurangan.
Walau bapak seorang kuli, tapi aku bangga dengannya. Bapak hanya tamatan SD, namun semangat belajarnya tak kalah dengan mahasiswa. Selain sholat, membaca adalah kegiatan bapak yang tak pernah terlewatkan setiap harinya. Bahkan bukan hanya buku atau majalah-majalah lusuh yang dibacanya, malah koran bekas bungkus kacangpun tak dilewatkannya untuk dibaca. Bapak orangnya tak pernah mau diam. Selalu ada saja yang dikerjakannya.
Yang tak bisa kulupakan dari bapak, setiap malam sehabis pulang bekerja, hampir tak pernah dilewatkannya untuk membaca. Duduk bersandar di kursi goyang tua, disinari temaram lampu lima watt, bapak tak tergoyahkan. Ditemani segelas seduhan air asam kandis dan sedikit gula Jawa. Kata bapak, air itu dapat membantu meningkatkan konsentrasi. Bagaikan seorang resi yang sedang bertapa, tak satupun diantara kami yang berani mengganggunya. Bahkan manakala aku terjaga dari tidurku, bapak masih asyik membaca. Saking asyiknya membaca bahkan lewat tengah malam bapak baru beranjak.
Selalu saja ada buku atau majalah walaupun terbitan lima tahun lalu yang bapak bawa untuk dibaca dirumah. Kebanyakan buku yang bapak bawa ke rumah didapatnya dari pak Halim, seorang mantri desa yang tak pernah keberatan buku-bukunya dipinjam bapak. Selain buku-buku umum, juga buku-buku kedokteran pun tak segan dipinjamkan pak Halim kepada bapak. Bahkan bagi pak Halim, bapak menjadi teman yang enak untuk berdiskusi.
***
Lagi-lagi aku merasa ini tak adil bagiku. Setelah dua minggu lamanya bapak terbaring sakit, akhirnya bapak meninggalkan kami selamanya. Seharusnya bapak dirawat di rumah sakit, tapi mau bagaimana lagi, untuk makan dan biaya sekolah adikku saja sudah sulit, apalagi biaya berobat ke rumah sakit. Sebenarnya, saat itu aku menyesal, kami membiarkan Tuhan menentukan takdir bapak. Usahaku, hanya mampu membelikan bapak obat warung dan membuatkannya jamu.
Nasib adikku, sama denganku, hanya sampai tamat SMP. Dibanding diriku, adikku lebih beruntung, ijazahnya tak disita sekolah, karena kepala sekolah berbaik hati membebaskan semua tunggakan. Sebagai keluarga miskin, tentu saja bapak tak mewariskan apa apa, hanya sebuah buku lusuh berjilid merah tua. Kata bapak, buku itu adalah warisan satu-satunya dari kakek. Kakekku adalah seorang bekas kepala sekolah SR, namun kehidupannya tak jauh beda dengan bapakku. Tak punya apa-apa, selain rumah sederhana, bahkan gubuk, yang kami punya.
Saat menerima warisan dari bapak itu, aku sangat heran. Untuk apa bapak mewariskanku buku tua dengan jilid belakang yang tinggal separuh habis dimakan rayap. Hanya mewariskan buku tua dengan ejaan baku zaman dahulu, pikirku, dijual saja harganya tidak cukup untuk membeli sekilo beras. Namun dengan bangganya sebelum bapak meninggal, bapak berpesan bahwa buku itu warisan yang tak ternilai, sangat berharga. “Jika kau menemukan rahasianya di dalam buku itu, kelak buku itu akan mengantarkanmu kepada kesuksesan,” begitu kata bapak.
Kata bapak lagi, “Sesuai amanat kakek, buku itu tidak akan diberikan kepada sembarang orang. Buku itu juga tidak akan diwariskan di sembarang waktu, tunggu saat yang tepat.” Saat yang tepat, apalagi kalau bukan saat mejelang kematian bapak. Seperti pusaka saja, mesti diturunkan kepada orang yang terpilih dan pada waktu yang tepat. Ada-ada saja. Bagi keluarga kami, mungkin hanya itulah yang kami punya dan bisa kami banggakan.
Selain mewariskan sebuah buku tua, bapak juga banyak mewariskan kami dengan segudang amanat, yang mungkin sulit kuhafalkan. Kata bapak, “Meskipun sekolah kalian tidak setinggi mereka, namun kalian jangan mau kalah dari mereka, kalian mesti terus belajar dan belajar tak melulu harus di sekolah, bla bla bla.”
Sebagian nasehat bapak, aku sudah lupa. Hanya dua yang tak bisa kulupakan. Pertama, jangan pernah berhenti membaca. Dan, kedua, cintailah buku. Ada-ada saja bapak, aku kira bapak mengamanatkan aku, “Nak, jika kau ingin dapat pekerjaan yang layak, tuh temui si anu. Atau, jika kau sangat membutuhkan pertolongan, tuh kepada si anu.”
Ada lagi amanat bapak yang, kira-kira, agak lucu. Kata bapak, “Nak, jika kau punya uang berlebih dan hendak piknik, jangan lupa piknik ke Palasari.” Aku pikir, apakah Palasari tempat keramat, tempat yang banyak dituju orang biar gampang dapat uang. Sebelum aku tahu Palasari itu tempat seperti apa, aku mengamini saja perkataan bapak.
Dengan warisan dan amanat-amanatnya, yang cukup aneh, aku pikir bapak punya selera humor juga. Maklum, bapak tipikal orang yang seriusan, sangat jarang sekali tersenyum atau bercanda. Terakhir aku ingat bapak tertawa manakala kami berlibur ke Kebun Binatang Bandung, itupun ketika ibu masih ada. Mungkin, pahitnya kehidupan yang bapak jalani membuatnya lupa bagaimana caranya untuk tertawa. Atau barangkali, akibat bapak banyak melahap tulisan-tulisan yang serius, dengan tema politik, hukum dan sosial. Tak pernah sekalipun aku menjumpai bapak membaca komik atau tulisan-tulisan anekdot. Bahkan ketika membaca Majalah Mangle pun, bapak selalu melewatkan membaca cerita humornya. Mungkin bagi bapak, pamali untuk menyelipkan tawa diantara pahit kehidupan yang dihadapinya.
***
Awalnya aku tidak terlalu ngeh dengan apa yang diwariskan bapak. Namun, pikirku, tak ada salahnya jika aku menerima dan menjaga semua warisan bapak. Selepas adikku lulus, aku langsung beranjak ke Kota Bandung dengan bekal beberapa uang dari menjual rumah peninggalan bapak, satu-satunya yang kami miliki. Awalnya terlalu sulit untuk memutuskan menjual rumah tua nan reyot itu. Bangunannya memang tidak berharga sama sekali, paling banter berguna buat kayu bakar, tapi tanahnya lumayan ada harganya.
Amanat kakek dan bapak juga yang awalnya menghalangi kami untuk menjual rumah itu. Tapi bukan itu saja, terlalu banyak kenangan yang kami lewatkan dari sana, terutama kebanyakannya kenangan pahit. Tapi justeru karena pertimbangan banyaknya kenangan pahit yang kami lalui di rumah itu, aku dan adikku memutuskan untuk menjualnya.
Apa yang dahulu bapak berikan, aku jadikan pegangan hidupku. Pikirku, selain kejujuran dan tekad yang keras aku tidak punya apa-apa, yang dapat kujadikan modal dan kebanggaan. Buku warisan bapak, benar-benar aku baca dan telaah. Aku ingat ucapan bapak agar menemukan rahasia yang ada di buku itu. Setelah benar-benar aku mendapati apa dibalik buku yang bapak wariskan dengan penuh bangganya, kuralat lagi anggapanku yang dulu. Ternyata kebanggaan bapak terhadap buku ini benar-benar menyentuh tekad dan semangatku dalam menghadapi hari-hari kerasku.
Buku berjilid merah tua yang diterbitkan penerbit Tjaringin, Bandung, tahun 1969 itu berisi pepatah-pepatah lama, bagi orang lain memang tidak terlalu istimewa. Toh sangat banyak buku-buku berisi pepatah-pepatah dengan kemasan dan isi yang lebih bagus dan lebih kekini-kinian. Tapi bagiku buku tua ini istimewa. Buku merah tua itu, bagiku, senantiasa menjelma menjadi sosok ibu dengan senyumnya yang terus mengingatkanku untuk dapat menggantikan peran ibu bagi adikku. Buku itu juga menjelma menjadi sosok bapak yang bagaikan jam weker tak henti-hentinya mengingatkanku dengan rupa-rupa wejangannya. Bahkan, buku itu seperti buku strategi perangnya Sun Tzu.
Namun, yang paling aku ingat, adalah amanat bapak untuk terus membaca dan jangan berhenti mencintai buku. Amanat bapak itu kujadikan mantra yang selalu aku lafalkan menjelang tidur dan acapkali bangun tidur. Hingga amanat dari bapak itu merasuk ke dalam darahku. Tiap menit yang tersisa dari hidupku aku habiskan untuk melahap lembar demi lembar buku apapun. Dan aku benar-benar mewarisi darah dan sifat bapak, kertas koran bungkus bala-bala pun tak mau kulewatkan. Perpustakaan benar-benar menjadi tempat paling favoritku bertirakat.
Padahal, ketika pertama kali menjejakkan kaki di Kota Kembang ini, sebenarnya aku tidak menentukan cita-citaku akan menjadi apa nantinya. Sebelumnya akupun tidak terlalu memikirkan untuk bekerja di bidang apa. Yang aku bawa dan menjadi pegangan, selain bekal dari menjual rumah tua kami, hanyalah buku berjilid merah tua itu beserta amanat-amanat bapak. Bekalku, karena hanya tamatan SMP dan juga tidak mempunyai kemampuan apapun, hanya berbekal tekad yang keras untuk bisa menaklukan Parijs van Java.
Kali ini aku tak berani menvonis apakah Tuhan adil atau tidak padaku. Tak pernah terpikirkan kalau aku akan terjerumus dalam profesi bertitel penulis. Bertahun -tahun aku mengecap manis dan pahitnya karya, jerih payahku, ditolak berbagai penerbit dan media massa. Yang aku jadikan pegangan hanyalah warisan dari bapak. Dan wejangan-wejangan bapak untuk tidak gampang menyerah melawan kerasnya kehidupan yang kami jalani. Bersyukur, semua warisan bapak ternyata sangat bertuah. Aku boleh berbangga sekarang, aku menjadi sedikit orang yang sukses menghasilkan banyak uang dari menulis, dengan latar belakang hanya tamatan SMP. Kini, hampir semua buku-buku karyaku yang diterbitkan menjadi best seller di pasaran. Novel-novelku yang diterbitkan dapat menggilas Supernovanya Dee' Lestari. Cita-citaku kini, aku ingin memecahkan rekor, menjadi editor handal berlatar belakang lulusan SMP, bahkan mampu mensejajarkan diri dengan Bambang Trim.***
Langganan:
Postingan (Atom)